RUU Omnibus Law Cipta Kerja Pro-Kapitalis Serabutan, Bukan Industrialis

Pengalaman Subjektif Berkenalan dengan Industrialis

Saya punya kenalan, seorang kapitalis, sungguh-sungguh kapitalis, atau tepatnya seorang industrialis. Pak SA inisialnya.

Ia punya 4 pabrik, satu di Lampung, satu di Medan, dan 2 di Jakarta (sepertinya yang 1 lebih pas masuk Tangerang sebab dekat Bandara), dan kini 1 lagi di Kupang. Memang bukan pabrik yang besar-besar sebab hanya memproduksi aneka kontainer plastik hingga toren air.

“Para pemilik toko bangunan di Kupang ini, Pak, nggak susah duit kalau mau bikin pabrik toren seperti punya kita. Nggak besar biayanya,” katanya ketika saya temani survei pasar toren.

Saya berkenalan dengan Pak SA ketika bekerja untuk proyek berpendekatan Making Market Work for the Poor (M4P). Kami harus libatkan pengusaha ke dalam model bisnis yang berdampak meningkatkan pendapatan petani. Lembaga tempat saya bekerja untuk proyek ini memenangkan bidding untuk subsektor pascapanen jagung.

Tugas kami adalah mendorong perusahaan plastik sebagai primary service provider menciptakan wadah plastik kedap udara untuk penyimpanan jagung skala rumah tangga. Kami menamakannya Portable Silo.

Barang ini dibutuhkan untuk menekan tingkat kerusakan jagung oleh Sitophilus zeamais di Timor yang mencapai lebih dari 20% untuk jagung komposit introdusir–yang disalahsangkai sebagai jagung lokal sebab sudah puluhan tahun dikembangbiakkan–dan minimal 50% untuk benih-benih introdusir baru.

Dari sekian perusahaan produsen kontainer plastik yang kami jumpai, cuma 2 yang akhirnya lolos hingga tahap peninjauan pabrik. Satu di Surabaya, sebuah pabrik modern dan besar; dan satu lagi milik Pak SA di Jakarta. 

Pak SA terpilih sebagai mitra karena ia lah yang paling antusias, bersedia invest molding bagi Portable Silo (satu molding baru biayanya 400-an juta); melakukan travelling ke seluruh daratan Timor Barat, situs proyek kami; membiayai peningkatan kapasitas petani berupa pelatihan teknik pascapanen yang proper; serta mengangkat staf lokal sebagai representasi perusahaan.

Beberapa kali mengunjungi Timor, Pak SA melihat peluang lain, mendirikan pabrik toren air. Timor kering, masyarakat butuh wadah penyimpanan air.

Ketika proyek kemitraan kami berakhir—lebih karena para petinggi yang jadi badan pengurus lembaga memutuskan membubarkan lembaga karena sudah capek mengurusnya—mulailah Pak SA berjalan dengan pabrik torennya.

Saya dan staf lokal Pak SA—saya pula yang ia minta merekomendasikan orang ini dahulu—diminta untuk menjadi mitranya, ikut menanam modal.

Saya akhirnya cabut karena sedang butuh duit untuk hal lain (nggak punya cukup duit untuk jadi kapitalis). Sementara si kawan yang jadi staf lokal ditanggung Pak SA pernyertaan modalnya hingga kelak setelah perusahaan break even point, bisa ia cicil pengembaliannya. Hanya butuh setahun bagi perusahaan untuk balik modal.

Ada dua hal menarik saat survei kelayakan pabrik toren. Yang pertama, di Kupang saat itu sudah ada 3 pabrik toren. Ketika survei, tampaklah bahwa kualitas toren yang ada tergolong kelas 3 dan 4.

“Oh, kita buat yang kelas dua, kita jual setara harga mereka,” kata Pak SA. Toren kelas 2 itu setara kualitas sebuah merek pabrikan Surabaya, sementara kelas satu adalah produksi sebuah pabrik di Jakarta.

Nggak rugi tuh, Pak?”

NggakNgambil untung jangan besar-besar. Saya asalkan mesin hidup, buruh bisa makan. Jadi yang penting permintaannya bisa sesuai kapasitas mesin, jangan kurang. Mesin mati, uang tidak masuk, buruh tidak digaji, bisa dimarahi keluarga saya.”

“Oh, jadi yang penting buruh bisa tetap digaji ya, Pak?”

“Kan saya yang ajak mereka kerja, tanggung jawab saya pastikan mereka dapat gaji.”

Saya pernah penasaran bertanya, “Sikap Bapak terhadap kenaikkan UMP DKI yang lumayan tinggi bagaimana?” Waktu itu Ahok masih Gubernur DKI.

“Nggak masalah, Pak. Kalau UMP kan kita sudah tahu, setiap tahun naik, sudah bisa kita antisipasi di perubahan biaya.

Yang paling ditakuti Pak SA memang bukan UMP yang sudah bisa diprediksi pertahunnya itu. Yang paling ia takuti adalah kerja sama dengan pemerintah.

“Tetapi jangan sampai nanti mereka mau ke mana-mana telepon kita minta uang tiket, Pak? Biar mintanya kecil-kecil, tetapi itu kan tidak kita siapkan, tidak bisa diantisipasi.”

Ini yang membuat ia selalu ragu untuk diajak mendorong dinas-dinas pemerintah bikin program pengadaan penampung air. Ia takut biaya tak terduganya.

Hal menarik lain, Pak SA tidak pernah mau diajak keluar dari bisnis intinya: konteiner plastik. Ayahnya dulu dirikan pabrik kontainer plastik di medan. Ia bikin pabrik kontainer plastik di Jakarta dan Lampung, serta kini di Kupang. Adik perempuannya bikin pabrik perabot rumah tangga berbahan plastik di Tangerang.

Segala urusan to adoptto adapt, dan scalling up harus seputar kontainer plastik.

Yang paling dibutuhkan Pak SA bukan fleksibilitas pasar tenaga kerja seperti yang diatur dalam UU Cilaka. Yang paling Pak SA butuhkan adalah sewa tempat murah; jaminan listrik dan air; dan jaminan pasokan gas.

Ya, ngapain ia butuh fleksibilitas pasar tenaga kerja jika niatnya memang tanam kakiinvestasi jangka panjang? Begitulah karakter kapitalis yang industrialis itu.

Karena itu, jika pemerintah benar-benar hendak menciptakan lapangan kerja jangka panjang, yang secure, yang menjamin buruh punya pekerjaan dan pendapatan tahan lama, pastikan ketersediaan air dan energi di kota-kota non-industri lama, dan sewa tempat yang masuk akal–jangan seperti harga sewa di kawasan industri Bolok di Kupang, yang jika tak salah ingat, sudah nyaris 1 M harus sekali ambil sewa 2 tahun pula.

Yang Pro-Fleksibilitas adalah Kapitalis Serabutan.

Kapitalisme melahirkan dua anak haram. Pertama adalah lumpen proletariat. Gampangnya ini adalah kelas sosial orang-orang yang terlempar dari proses produksi, menjadi jelata yang hidup dari meminta-minta dan dunia hitam.

Seiring perkembangan kapitalisme yang kian matang, lahir anak haram kedua: golongan kapitalis serabutan, kapitalis aji mumpung. 

Sejatinya globalisasi yang berdampak kian ketatnya persaingan bukan penyebab paling hulu perkembangan fleksibilitas pasar tenaga kerja. Kromosom pembentuk wajah kapitalisme kini terletak jauh di relung hati kapitalisme itu sendiri: kepentingan menjaga rate of profit

Konsep rate of profit bisa kita jumpai mulai dari Marx di kiri hingga Keynes di kanan—meski Keynes kemudian lebih tertarik ke soal mikro dan permukaan yang melahirkan konsep animal spirit.

_______

Baca Juga:

_______

Baik Marx, Keynes, pun para ekonom di kaliber lebih kecil mengakui bahwa secara agregrat rate of profit dalam kapitalisme bergerak turun. Segala macam inovasi kelembagaan dan teknologi—Fordisme hingga AI—digerakkan oleh motif menjaga rate of profit tidak jatuh tajam.

Globalisasi itu sendiri hasil dari kepentingan menjaga rate of profit. Demikian pula perubahan moda pengupahan berupa bentuk-bentuk non-standard employment digerakkan oleh kepentingan mempertahankan rate of profit..

Tetapi dialektika untuk menjaga rate of profit melalui perubahan moda pengupahan melahirkan pula kelas kapitalis baru; kelas yang karakternya dekaden; kelas yang lebih tinggi opportunisme dan kelicikannya dibandingkan mental berani ambil risiko.

Subkelas baru ini, anak haram ini, memanfaatkan kondisi yang ada dengan menjadi kapitalis serabutan.

Pada diri mereka tidak ada kebanggaan berada tetap dalam jangka panjang di suatu sektor. Mereka lebih senang berpindah-pindah jenis usaha. Hari ini bikin pabrik panci, pekan depan sudah mereka jual dan beralih invest di perdagangan kopra.

Pokoknya bagi mereka yang penting adalah membukukan keuntungan setiap saat. Boleh jadi, mereka adalah metamorfosa para spekulan pasar saham, valas, bursa komoditi dan beragam derivasi yang coba terjun ke sektor riil.

Dalam kondisi sekarang, keuntungan yang setiap saat ini, keuntungan yang seperti aksi ambil untung membaca pola candlestick para spekulan, hanya bisa diraih maksimal jika terbuka luas ruang gerak mereka untuk memindahkan investasi dari satu sektor yang sedang swing up dan booming dan segera meloncat pergi sebelum swing down. Mereka seperti belalang.

Melalui regulasi perburuhan UU Cipta Kerja, para kapitalis seperti inilah, para pencari untung serabutan, bukannya para industrialis, yang akan diteteki oleh pemerintah, disuapi, dibelai penuh kasih sayang. Merekalah para penumpang gelap yang ambil untung dari niat awal mendorong pertumbuhan usaha kecil dan menengah.

Merekalah para penumpang gelap yang Presiden Jokowi cemaskan tetapi tetap saja dibukakan pintu gerbong agar berloncatan masuk. Bahkan, coba cek karakter bisnis inti para pengusaha di lingkaran kekuasaan, apakah mereka industrialis atau mereka kelas kapitalis belalang, para kapitalis serabutan.

Periksalah dengan saksama. Jangan-jangan kita akan kaget menemukan kenyataan yang pahit, kita sedang dirampok para belalang. Semoga saja tidak.***


Published sebelumnya di Kompasiana.



You cannot copy content of this page.

If you need copy of the content, please contact me at gegehormat@gmail.com.