Soal Influencer, Jubir Presiden Gagal Pahami Demokrasi

Hal cinta pada kelas menengah dan overestimasi terhadap peran mereka dalam demokrasi bukan barang baru bagi Bung Fadjroel.  Setahu saya, sudah semenjak aktivis mahasiswa demikianlah garis pikiran atau teori perjuangan yang Bung Fadroel yakini, diwarisinya dari Sjahrir, salah satu tokoh sentral pergerakan kemerdekaan dahulu.

Itu sebabnya, dalam riwayat perjuangan Bung Fadjroel, kita tidak akan menjumpai rekam jejak keterlibatannya dalam pengorganisiran rakyat buruh, tani, atau kaum miskin kota. Dunia perjuangan Bung Fadjroel adalah dunia kongkow-kongkow kelas menengah, dunia aktivis mahasiswa, dunia creative minority.

Oh iya, saya menyebutnya Bung untuk menghormati masa lalunya. Di masa lampau, Bung Fadjroel adalah salah satu simbol keberanian dan daya kritis melawan penguasa. 

Ia satu dari enam  aktivis mahasiswa ITB yang divonis 3 tahun penjara dan dikirim ke Nusakambangan gara-gara aksi penolakan kedatangan Rudini ke kampus itu—dikenal sebagai peristiwa Sabtu Kelabu, 5 Agustus 1989. 

Lima nama lainnya adalah alm. Arnold Purba, Jumhur Hidayat, Bambang Sugianto, Ammarsyah, dan Enin Supriyanto. Selain lima nama ini, masih ada belasan nama lain yang sempat meringkuk dalam penjara selama beberapa hari.

Saya ingat, sekitar tahun 2001, Veritas, study club intrakampus, jelmaan Satgas KM ITB menggelar diskusi tentang problem kebangsaan. Bung Fadjroel jadi pembicara. 

Saya terlibat perdebatan cukup alot dengannya. Seorang peserta, jika tak salah ingat Hokky Situngkir, anak elektro yang kelak terkenal dangan Fisika Batiknya berbisik, “Kayaknya Ini perdebatan internal, ya Bung?”

Saya katakan bukan. Yang pertama karena beda generasi. Bung Fadjroel dedengkot aktivis, saya cuma anak bau kencur. Kedua, saya mewakili golongan yang tidak percaya kelas menengah bisa memimpin perubahan fundamental negeri ini, sebaliknya peran istimewa kelas menengah justru kredo pokok pemikiran dan garis perjuangan Bung Fadjroel.”

Bung Fadjroel tentu punya alasan sendiri, serangkaian argumentasi penyokong pendiriannya tentang peran kelas menengah, entah yang genuine ia kembangkan sendiri, pun yang diwarisinya dari para pendahulu, yang bahkan bisa ditarik hingga Eropa awal 1900an atau tahun-tahun yang lebih lampau lagi. Saya tidak sedang memperdebatkan itu.

Yang bikin saya terkejut adalah perubahan cara pandang Bung Fadjroel terhadap peran kelas menengah. Ada dua hal tampaknya sudah jungkir balik 180 derajat.

Simak pernyataan Bung Fadjroel.

“Perkembangan masyarakat digital dengan peranan para aktor digital (salah satunya influencer) umumnya adalah kelas menengah adalah keniscayaan dari transformasi digital. …  para aktor digital menjadi pemain penting perubahan paradigma dari top-down strategy ke participative strategy, di mana publik berpartisipasi aktif dalam komunikasi kebijakan.”[Tirto.id

Sebagian pernyataan tersebut masih menunjukkan Bung Fadjroel yang dulu, yang begitu puritan imannya terhadap kepeloporan kelas menengah. Tetapi bagian lain sudah 180 derajat berkebalikan.

Dahulu Bung Fadjroel percaya peran kelas menengah sebagai oposisi kritis. Kritik atau kritisme adalah benang merah yang Bung Fadjroel jadikan pengikat demokrasi-kelas menengah-kekuasaan negara. 

Cek saja kumpulan gagasan Fadjroel dalam bukunya—kumpulan kredo masa lampau yang sudah ia campakkan sendiri itu—Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat.

Bagaimana kini Bung Fadjroel memandang posisi kelas menengah? Sebagai instrumen baru hegemoni penguasa! Dahulu kelas menengah itu identik dengan kritisisme, kini kelas menengh menjadi bala penumpas kritik. 

Di mata Bung Fadjroel kini, kelas menengah sebagai “aktor digital” berperan sebagai penyambung lidah pemerintah “berpartisipasi aktif dalam komunikasi kebijakan.” Inilah banting setir pertama gagasan Bung Fadjroel.

Yang kedua, Bung Fadjroel berupaya mengaburkan, bahkan menghapus sama sekali demarkasi tegas antara partisipasi dengan mobilisasi.

Saya kira pemikiran yang waras tentang partisipasi adalah sebagai keterlibatan berbasis kesadaran dan voluntarisme. Dengan kesadaran, individu terlibat dalam perdebatan politik, menyuarakan kepentingannya, kaumnya, atau –seperti peran kenabian kelas menengah yang Bung Fadjroel yakini—menyuarakan keresahan dan kepentingan rakyat.

Mobilisasi jelas berbeda dengan partisipasi. Dalam partisipasi, pelaku adalah subjek  otonom. Dalam mobilisasi, pelaku cuma objek penyerta yang digerakkan subjek lain, termasuk dengan insentif finansial seperti yang selama ini dikritik banyak orang. 

Bung Fadjroel mengubah kasus kelas menengah, dari nominativus menjadi ablativus, sekadar alat elit untuk menjangkau rakyat, meraih ketundukan rakyat.

Saya kira Bung Fadjroel tidak akan terlalu jauh melakukan denial kenyataan adanya pengakuan sejumlah influencer — Aditya Fadila, Gofar Hilman–bahwa mereka dikontrak sebagai influencer, tetapi tanpa dibicarakan dengan jelas terlebih dahulu, diminta pula membuat konten propaganda RUU Cipta Kerja.[CNBCIndonesia.com]

Gofar Hilman dan Adiya Fadila tidak terlibat dalam perdebatan kekuasaan—pro-kontra RUU Cipta Kerja—sebagai bentuk partisipasi melainkan dimobilisasi melalui kontrak. Mereka dibayar untuk itu. Pelibatan mereka sama sekali bertentangan dengan prinsip demokrasi: partisipasi.

Bahkan, karena mobilisasi menjadikan influencer kanal baru hegemoni, praktik itu dengan sendirinya bertentangan vis-a-vis demokrasi.

Rupanya tidak butuh satu dekade dalam kekuasaan untuk mengubah klaim iman Fadjroel, dari seorang yang menepuk dada sebagai representasi kaum demokrat sejati menjadi pembela praktik-praktik baru anti-demokrasi. Ah, sudahlah. Soska memang tidak pernah bisa diharapkan.***


Published sebelumnya di Kompasiana.



You cannot copy content of this page.

If you need copy of the content, please contact me at gegehormat@gmail.com.