Ancaman Maraknya Outsourcing dan Buruh Kontrak dalam UU Cipta Kerja

Massa buruh melakukan aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta Pusat, Rabu (12/2/2020). Tuntutan mereka meminta RUU Omnibus Law dibatalkan jika merugikan kelompok buruh mereka pun kecewa karena buruh tidak dilibatkan dalam pembahasan draftnya. (Foto: Tribunnews/Jeprima)

Akhirnya, menjadi tergenapilah kecemasan tersebut setelah draft terakhir UU Cilaka diserahkan pemerintahkan ke DPR. Tentu saja pada setiap rancangan UU dan UU sah berlaku pula pepatah tak ada gading yang tak retak. Setiap UU selalu berdampak menguntungkan kelompok masyarakat tertentu dan merugikan yang lainya. 

Setiap UU selalu memiliki bagian yang menguntungkan dan bagian-bagian yang merugikan suatu kelompok masyarakat. Demikian pula dengan rangkaian ketentuan dalam UU Cilaka.

Draft UU Cilaka ini mengandung di dalamnya empat karakter fleksibilitas pasar tenaga kerja: waktu, upah, kontrak, dan tempat. 

Terdapat pasal-pasal yang bersifat regulatif, memberikan proteksi terhadap para pekerja  non-standard employment (NSE) tetapi juga sebaliknya deregulatif, menanggalkan perlindungan terhadap umumnya kelas pekerja Indonesia dengan membuka peluang bagi peralihan bentuk-bentuk hubungan kerja standar menjadi non-standard.

Soal mengapa buruh mencemasi NSE sudah saya ulas dalam artikel “Omnibus Law “Cilaka” Ubah Cara Kita Kenalan.” 

Sementara fleksibilitas upah yang pengaturannya dalam UU Cilaka akan sangat memelaratkan buruh usaha mikro dan kecil serta sektor padat karya sudah saya ulas sedikit dalam “Omnibus Law, Upah Buruh Usaha Kecil Cuma Separuh UMP?

Dalam konteks fleksibilitas kontrak, dua ancaman paling membahayakan dari draf UU Cilaka adalah deregulasi buruh kontrak dan outsourcing. Dalam perundang-undangan Indonesia, buruh kontrak (temporary job) disebut buruh dengan perjanjian waktu kerja tertentu. Sementara buruh outsourcing disebut buruh alih daya.

Ancaman bakal maraknya perubahan status hubungan kerja menjadi temporary job nyata dalam draft UU Cilaka dengan dihapuskannya pasal 59 dalam UU 13/2003 Tentang Ketenagakerjaan.

“Ketentuan Pasal 59 dihapus.” Demikian ringkas bunyi butir ke-12  pada Bab IV Bagian Kedua draft terakhir UU Cipta Kerja yang mengatur soal ketenagakerjaan.

Rumusan ringkas penghapusan pasal sejumlah UU marak dalam draft terakhir UU Cilaka. Sering penghapusan pasal tersebut tidak menghilangkan ketentuan, melainkan hanya memindahkannya ke pasal lain. Misalnya dalam pengaturan tenaga kerja asing, beberapa ketentuan yang dihapus sebenarnya digabungkan ke pasal lain.

Tetapi Pasal 59 UU 13/2003 benar-benar dihilangkan. Bukan cuma redaksionalnya. Ketentuan yang membatasi atau mengatur syarat-syarat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu memang ditiadakan.

Pasal 59 UU 13/2003 berperan membatasi keberadaan buruh kontrak. Ayat (1) pasal ini berbunyi:

Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:

a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau  
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

Dengan dihapuskannya pasal ini–dan sama sekali tidak diatur dalam pasal lain–, draft UU Cilaka membuka ruang bagi pengusaha bisa mempekerjakan buruh kontrak untuk semua jenis pekerjaan. 

Jadi kalau dahulu para penjahit di pabrik garmen wajib berstatus buruh permanen (standar employment), maka jika penghapusan Pasal 59 UU 13/2003 dalam draft UU Cilaka diterima DPR, para penjahit yang merupakan pekerjaan pokok–bukan pekerjaan sekali selesai–dalam pabrik garmen bisa berstatus buruh kontrak selamanya.

Sebagian catatan, ada pula hal positif yang diperkenalkan dalam draft UU Cilaka–perlu diakui juga aspek progresifnya– yaitu ketentuan tentang adanya uang kompensasi terhadap buruh kontrak yang berakhir masa kontraknya.

Dahulu ketentuan kompensasi seperti ini tidak ada. Buruh yang berakhir kontraknya, pergi begitu saja. Pemberian kompensasi bergantung kepada kebijakan subjektif perusahaan. 

Padahal buruh membutuhkan jaring pengaman ketika kontrak kerjanya berakhir. Kini, adanya ketentuan tentang kompensasi berakhirnya kontrak melindungi buruh NSE dari income insecurity. Hanya saja tidak diatur tegas berapa nilai kompensasi tersebut (setara berapa bulan upah).

Kembali ke isi merugikan, acaman lain yang tidak kalah membahayakannya bagi jaminan pekerjaan adalah perubahan Pasal 66 UU 13/2003. Hal ini senapas dengan penghapusan Pasal 59.

Pasal 66 ayat (1) UU 13/2003 mengatur: “Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.”

Dalam draft UU Cilaka, butir 18, pasal 66 ayat (1) diubah menjadi :Hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerjaburuh yang dipekerjakannya didadasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu.”

Ketentuan ini menambah-nambah kesialan buruh. Kalau sebelumnya UU 13/2003 melarang pekerjaan pokok berstatus outsourcing (Pasal 66) dan buruh kontrak (Pasal 59), maka kini dua hal tersebut dibolehkan dalam draft UU Cilaka. 

Itu artinya, penjahit pada perusahaan garment, wartawan di perusahaan media massa, guru di sekolah, akuntan di perusahaan akuntan publik, perawat di rumah sakit, dan lain-lain bentuk-bentuk pekerjaan pokok boleh berstatus kontrak dan outsourcing seumur hidup.

Demikianlah, selain sejumlah maslahat yang dikandungnya, draft UU Cilaka ini memang berpotensi bikin buruh cilaka.

Pada artikel ke depan, kita akan membahas bagaimana tiga ketentuan, yaitu penghapusan pasal 59, perubahan pasal 66, serta ketentuan upah minimum diskriminatif bagi UMK dan sektor padat karya secara bersama-sama akan berdampak pada menjamurnya sweatshop. 

Artinya, UU Cilaka melegalisasi sweatshop, praktik perburuhan yang dalam 2 hingga 1 dekade lalu menjadi musuh besar serikat dan lembaga-lembaga perburuhan se-dunia.***


Published sebelumnya di Kompasiana.



You cannot copy content of this page.

If you need copy of the content, please contact me at gegehormat@gmail.com.