Lonjakan Perceraian, Gaya Senggama Aman-Covid, dan Kebijakan Aneh Pemerintah

Artikel pertama berasal dari admin Kompasiana. “Ramai-ramai Minta Cerai,” judul tajuk Kompasiana.

“Ternyata tingginya angka pernikahan (dini) ketika pandemi berbanding lurus dengan angka kasus perceraian yang terjadi.” Demikian tertulis.

Olala, rupanya pandemi Covid-19 sungguh sebuah disrupsi peradaban. Kehadirannya bikin orang ingin cepat-cepat berumah tangga, lekas pula membubarkannya.

Saya tidak berniat mencari tahu lebih jauh soal angka pernikahan dini saat pandemi. Tetapi soal perceraian sudah banyak tersebar di media warta daring dan medsos.

Kompas.com (24/8/2020) memberitakan keterangan Ahmad Sadikin, seorang Panitera Muda Gugatan Pengadilan Agama Soreang. Ia katakan, gugatan perceraian di Kabupaten Bandung terus meningkat semenjak Maret. 

Di bulan Mei, banyaknya gugatan perceraian menyebabkan Pengadilan Agama Soreang menutup sementara pendaftaran gugatan cerai. Penutupan selama beberapa hari yang diikuti pemberlakuan kuota pelayanan berdampak  lonjakan drastis kasus perceraian saat PA Soreang kembali dibuka normal di bulan Juni. Dari biasanya 700-800 gugatan, naik menjadi 1012 gugatan.

Kata Ahmad Sadikin, gugatan cerai paling banyak diajukan istri (70%) dan berlatar belakang problem kondisi ekonomi rumah tangga. Alasan faktor ekonomi di balik kasus perceraian semasa pandemi juga disampaikan Humas Pengadilan Agama Jakarta Timur, Istiana.(Kompas.com, 3/9/2020)

Selain nikah dini dan cerai, ada pula warta dari sejumlah daerah tentang peningkatan jumlah kehamilan dan persalinan selama masa pandemi.

Beberapa bulan lalu, sebagai coping strategy menghadapi penurunan kesejahteraan, saya lakoni kerjaan enumerator sebuah riset kebijakan menghadapi pandemi. Tugas saya meng-kurasi berita-berita media lokal NTT yang berkaitan dengan kebijakan Pemda merespon pandemi Covid-19.

Saat itu ada dua berita yang sempat saya baca–tetapi tidak saya kurasi–terkait meningkatnya angka kehamilan dan persalinan selama pandemi, terjadi di dua kabupaten. 

Si wartawan tidak memuat pernyataan narasumber soal apakah peningkatan jumlah ibu hamil dan jumlah persalinan berkaitan dengan pandemi ataukah dua hal ini koinsidens semata. Artinya cuma kebetulan di bulan itu terjadi peningkatan jumlah kehamilan dan persalinan dibandingkan periode serupa tahun sebelumnya.

Meski demikian, saya rasa beralasan jika seseorang mengatakan, kehamilan-kehamilan itu memang gara-gara pandemi. Pandemi bikin pekerjaan-pekerjaan lenyap. Lelaki dan perempuan lebih sering berada di rumah.  Seperti kata karakter Bang Napi dalam sebuah tv show polisi-polisian, “Kejahatan terjadi bukan cuma karena ada niat, melainkan (bisa) juga karena ada kesempatan.”

Orang-orang itu sangat mungkin tidak berniat hamil dan menghamili. Siapakah yang dengan tahu dan mau menghadirkan anak ke tengah dunia yang sedang di puncak ketidakpastian dan mengancam ini?  Semua terjadi spontan saja, didorong oleh hasrat, naluri, dan tentu saja kesempatan. Tiga hal ini biasanya mengabaikan perencanaan dan kalkulasi panjang.

Bicara kalkulasi, tampaknya ini pula yang hilang dari keputusan lekas-lekas menikah dan lekas-lekas pula cerai semasa pandemi.

Pandemi menyebabkan ekonomi melesu dan berdampak pengurangan penghasilan. Sebaliknya pernikahan berkonsekuensi tambahan pengeluaran, setidaknya untuk membeli perabotan baru, terutama dipan.

Bagaimana bisa sebagian orang memutuskan menambah pengeluaran di bawah bayang-bayang pemangkasan pendapatan?

Demikian pula irasionalitas perceraian berlatar belakang kondisi ekonomi semasa pandemi. Perceraian berarti tambahan pengeluaran sebab banyak hal yang sebelumnya cuma dibutuhkan satu, kini harus ada dua. Rice cocker misalnya, atau water dispenser.

Apakah si istri berpikir resesi yg dipercepat dan diperparah pandemi–resesi tetap akan segera terjadi sekalipun tidak ada pandemi–hanya menimpa suaminya seorang? Apakah ia berharap bisa segera mendapat suami pengganti yang tidak terimbas kelesuan ekonomi? Ataukah ia pikir orang tuanya–tempat ia mungkin kembali setelah melajang–hidup di alam lain yang lolos dari  kondisi ini?

Mungkin penjelasan yang tepat dari trend perceraian ini adalah penurunan kesejahteraan menciptakan kondisi rentan konflik suami-istri. Dahulu gas selalu tersedia. Kini istri pusing mencari cara memasak hemat gas sebab jika habis belum tentu bisa segera membeli lagi. Dapur pun berubah menjadi ruang penyiksaan, penuh tekanan batin. Seseorang harus disalahkan untuk itu. Suami yang masih tertidur karena tak harus berangkat kerja adalah pihak yang paling mungkin jadi pelampiasan.

Tekanan dan potensi pertengkaran yang tidak dikelola dengan baik itulah yang mendorong istri-istri ringan kaki menuju Pengadilan Agama. Mungkin demikian.

Rumah tangga masyarakat bukanlah penguasa tunggal irasionalitas semasa pandemi dan resesi. Pemerintah pun tidak bebas dari itu. Lihat saja kebijakan bansos kepada buruh sektor formal berpendapatan di bawah 5 juta.

Di tengah kelesuan ekonomi, bansos punya dua wajah. Pertama wajah jaring pengaman sosial. Kedua wajah stimulus ekonomi. Dalam kebijakan bansos tunai Rp600.000 perbulan untuk buruh formal berupah kurang dari Rp5 juta, kedua wajah ini bermasker alias tidak bermanfaat, bahkan memicu problem baru.

Sebagai JPS, bansos berfungsi menjaga kemampuan pemenuhan kebutuhan dasar. Orang-orang yang perlu dijaga adalah buruh yang kehilangan pekerjaan dan pekerja sektor informal. Pandemi dan resesi menghilangkan atau minimal mengurangi pendapatan mereka, menggerus kemampuan memenuhi kebutuhan hidup.

Andai resesi ini disertai inflasi–stagflasi, stagnasi dan inflasi–bolehlah buruh yang masih bekerja dan berupah hampir Rp5 juta ditopang pula dengan bansos. Yang terjadi dalam resesi saat ini adalah deflasi. Normalnya memang begitu. Karena itu efective demand–permintaan yang disertai kemampuan membayar–buruh yang masih bekerja justru meningkat. Dengan kata lain, upah riil mereka naik.

Tampaknya pemerintah berharap kebijakannya berwajah stimulus ekonomi. Transfer uang Rp600 ribu perbulan mendorong buruh sektor formal berbelanja dan berdampak ekonomi terus berputar. Akan tetapi pemerintah lupa atau mungkin pura-pura tidak tahu pada kecenderungan animal spirit

Animal spirit adalah istilah yang mula-mula dikembangkan Keynes untuk menggambarkan tindakan pelaku ekonomi yang cenderung merespon siklus ekonomi seturut arah siklus. 

Jika ekonomi booming, orang-orang optimis, bergairah belanja dan berinvestasi, menyebabkan gelembung ekonomi membesar. Sebaliknya saat ekonomi kontraksi, orang-orang pesimis, menahan belanja dan investasi. Dampaknya ekonomi kian lesu.

Buruh formal berpendapatan hampir Rp5 juta cenderung menahan pengeluaran, menunggu kondisi ekonomi membaik. Bantuan Rp600 dari pemerintah sangat mungkin turut diendapkan dalam rekening mereka. Ujung-ujungnya tujuan stimulus ekonomi tidak tercapai.

Andai kebijakan ini dibuat untuk berjaga-jaga kondisi memburuk hingga terjadi gelombang PHK massal berkelanjutan dan semua orang, apapun status ekonominya bisa terdampak, seharusnya pemberian bansos tidak lagi bersifat diskriminatif, melainkan sebagai Universal Basis Income (UBI). Setiap kepala mendapat transfer dana untuk kebutuhan dasarnya, tanpa syarat, tanpa kecuali.

Setelah Spanyol, banyak negara lain mulai menerapkan UBI. Yang terkini adalah Jerman.

UBI inilah great leap forward dalam kebijakan jaring pengaman sosial dan pemenuhan kebutuhan dasar. Inilah bentuk konkrit membajak krisis itu, menjadikan krisis sebagai momentum banting setir, mengubah secara fundamental haluan kebijakan menjadi lebih berorientasi keadilan sosial.

[Tentang UBI bisa dibaca di artikel lawas, “Bikin Cemburu, Spanyol Terapkan UBI, Akankah Indonesia Juga?“]

Pemerintah Jerman dan Spayol membajak krisis ini, mempersiapkan kuda-kuda bagi great leap menuju masa depan baru. Pemimpin Spanyol dan Jerman melakukannya tanpa perlu melontarkan janji-janji kosong dalam pidato peringatan Hari Kemerdekaan. 

Di negeri-negeri itu, loncatan besar dan membajak krisis tidak berakhir sebagai gelembung sabun kata-kata.

Kabar pusingkan kepala yang kedua adalah artikel VOA Indonesia, 3/9/2020. Judulnya “Dokter Kanada Anjurkan Pakai Masker dan Tak Ciuman Saat Berhubungan Intim.”

Hah! Mana asyik? 

Di Amerika Serikat dan Inggris, rekomendasi cara berhubungan sex yang aman dari penularan Covid-19 rupanya sudah ramai dibicarakan sejak awal bulan lalu.

Seperti halnya pemerintah Kanada, Peneliti Universitas Harvard  juga menyarankan pemakaian masker dan tidak berciuman saat bersenggama agar terhindar dari penularan Covid-19.

Bukan  main-main, hanya untuk mengeluarkan rekomendasi ini, si ahli Havard melakukan riset dan menerbitkan laporannya di jurnal Annals of Internal Medicine. Hmmmm, saya jadi membayangkan bagaimana metode risetnya.

Sebenarnya pemakaian masker saat berhubungan sex bukanlah kewajiban. Ia conditional, sangat dianjurkan bagi orang-orang yang berhubungan sex bukan dengan orang serumah (bukan dengan pasangan hidup).

Selain kenakan masker, sex aman Covid-19 yang disarankan adalah gaya-gaya bercinta yang menciptakan jarak antara mulut pasangan. Misalnya gaya woman on top.

Namun yang paling disarankan adalah masturbasi dan cyber sex. (Forbes.com) Mungkin selain karena selalu terdapat peluang pasangan seatap ternyata OTG (asymptomatic carrier) juga karena masih terdapat perdebatan di antara para ahli, apakah virus Corona baru menyebar lewat sperma.

Sebuah artikel diterbitkan April 2020 di journal of Fertility and Sterility, menyatakan Covid-19 tidak menyebar lewat sperma. Tetapi banyak pula yg lebih setuju publikasi lebih mutakhir di jurnal JAMA Network Open yang menemukan kandungan virus Corona baru dalam cairan sperma.(Healthshots.com

Wah. Berat, meeen.


Published sebelumnya di Kompasiana.



You cannot copy content of this page.

If you need copy of the content, please contact me at gegehormat@gmail.com.