May Day Membesar-Meluas, Parpol Buruhnya Kapan?

Hari Buruh Internasional 1 Mei 2019 [Tribunnews.com]

May Day, Hari Buruh dari tahun ke tahun kian semarak saja. Jumlah massa, serikat, dan sebaran kota, meski fluktuatif, secara agregat bergerak dalam grafik menanjak. Serikat-serikat buruh kuning peninggalan Orde Baru yang dahulu menolak (memilih Harlah SPSI sebagai peringatan hari pekerja) kini sudah hampir semuanya menerima 1 Mei sebagai hari yang menyatukan buruh sedunia.

Mungkin karena sudah jadi even lumrah, sejumlah unsur birokrat, bahkan juga pemerintah berusaha membangun citra hari buruh sebagai perayaan. Dengan begitu, diharapkan massa buruh yang berbaris di koridor-koridor kota akan menjalaninya dengan semangat karnival, atau mengganti sama sekali aksi massa dengan lomba balap karung, aksi donor darah, dan gelaran pasar murah. Jangan sampai deh kesadaran palsu baru ini menghegemoni kepala buruh.

May Day adalah momentum berlawan. May Day adalah unjuk kekuatan. May Day adalah cara mengetes perkembangan persatuan. May day adalah politis!

Sebelum aliansi Komite Aksi Satu Mei terbentuk di Jakarta pada tahun-tahun awal 2000an—diinisiasi sejumlah serikat buruh progresif yang menjadikan LBH Jakarta tempat rapat rutin aliansi—penyelenggaraan aksi massa Hari Buruh Internasional bukan perkara mudah. Mempersiapkan aksi Satu Mei menuntut keberanian, tenaga, bahkan juga kesehatan.

Saya pernah terlibat mempersiapkan perayaan hari buruh di masa-masa sulit itu. Meski tentu tak seberat yang dialami aktivis-aktivis tua (kalau bilang renta, mereka marah gak ya?) di masa kejayaan Soeharto seperti yang dikisahkan dalam novel “Lelaki di Tengah Hujan.”

Di Jabar, saya pernah ditugaskan  di kawasan pabrik di Cimahi. Di Jakarta pernah di Pulo Gadung, lalu di Cakung pada tahun lainnya.

Karena ini artikel blog, mungkin menarik saya sisipkan kisah subjektif itu.

Di Cimahi, saat itu satu-satunya sandaran memobilisasi massa adalah kawan-kawan aktivis buruh yang keren dari SBI Bandung. Mereka baru saja merintis organisasi perjuangan baru, Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) yang dipimpin Ketua PPBI, Dita Indah Sari.

Ketika itu Eti yang dijuluki media massa sebagai Srikandi Buruh Jawa Barat mendatangi kampus di samping kebon binatang. Ia minta ada penugasan mahasiswa malas belajar ke basis buruh untuk mempersiapkan may day. Istilahnya deploy nonpermanent. Sialnya permintaan itu pakai menyebut nama, close list, dan saya–mungkin karena dianggap malas belajar–diminta ke Cimahi. Hiks.

Saat itu FNPBI hanya punya satu basis buruh, di PT Matahari. Sementara target kami adalah memobilisasi sebesar-besarnya, jika perlu seluruh isi pabrik-pabrik di Cimahi.

Untuk mempopulerkan kembali 1 Mei sebagai hari buruh, diskusi dengan buruh dilakukan secara bergerilya di kontrakan kontak-kontak buruh. Hari ini bertemu beberapa orang kontak, mengajak mereka berdiskusi. Setelah mereka paham dan setuju, minta mereka mengumpulkan kawan-kawannya pekan depan. Acara rujakan dijadikan kamuflase.

Selebaran tak mudah dibagikan. Jika buruh tak awas pantauan sekuriti, selebaran akan dirampas dari mereka, orang-orang yang menyebarkannya dicari tahu dan diintimidasi. Maka untuk menggaungkan rencana aksi 1 Mei, pada malam hingga subuh, kami menempelkan poster-poster gelap di tembok-tembok pagar pabrik. 

Demi menghindari aparat polisi dan preman kawasan pabrik, aksi penempelan poster dilakukan pukul 12 malam dan baru berakhir sekitar pukul 3 subuh. Baru pada jam begitu saya bisa kembali ke kos di Taman Sari, beristirahat sebentar, masuk kuliah jika ada mata kuliah sulit, lalu kembali ke Cimahi.

Kami juga harus mempelajari geografis kawasan; mengidentifikasi pabrik-pabrik berjumlah buruh besar yang terletak di kawasan strategis; membangun kontak dengan massa buruh mereka. Jika buruh dari pabrik-pabrik itu tak diizinkan majikan terlibat dalam unjuk rasa, aksi penggedoran pabrik akan dilakukan. Tujuannya untuk memberanikan diri buruh-buruh menuntut dibolehkan bergabung bersama massa yang telah menunggu di luar.

Jika buruh dari pabrik-pabrik besar sudah berhasil dibawa keluar, akan lebih mudah lagi mengajak buruh dari pabrik-pabrik lain sepanjang koridor yang dilewati massa aksi.

Aksi gedoran bukan perkara mudah. Apalagi gedoran pertama di pagi hari, ketika jumlah penggedor hanya belasan orang. Risiko direpresi aparat sangat besar. Jika terciduk semua, bisa gagal mobilisasi massa dari kawasan itu.

Hari H pengalaman gedor pabrik 1 Mei di Cimahi kala itu itu tak bisa saya nikmati gara-gara terkena diare. Mungkin karena lelah, mungkin karena kebanyakan makan rujak dalam kamuflase acara diskusi dengan buruh-buruh. Beberapa bulan kemudian saya kena thypus.

Dahulu, meski sudah mempersiapkan dengan susah payah, massa yang terlibat tidak seberapa. Ada lima ribuan saja yang turun ke jalan, hati kami sudah sangat senang.

Kini penyelenggaraan 1 Mei sudah jamak dan mudah. Tantangan dari aparat dan majikan—meski ya, satu dua tindakan represif dari apparat dan majikan masih terjadi—sudah jauh berkurang. Respon negatif justru lebih banyak datang dari warganet, orang-orang yang menyimpan nalar dan nuraninya di pangkal tungkai kaki.

Sayangnya, di tengah banyak kemajuan dalam gerakan buruh, ada satu pekerjaan rumah yang tak kunjung mampu mereka selesaikan: membangun partai politik buruh (yang bersatu dengan kelompok sosial terpinggirkan lainnya).

Aksi satu Mei dari tahun ke tahun harusnya merupakan sekolah yang paling terang benderang mengajarkan buruh bahwa mereka memiliki kepentingan-kepentingan yang hanya bisa terpenuhi jika kekuasaan berpihak kepada mereka.

Kekuasaan hanya akan sungguh berpihak jika mereka adalah bagian penting, kekuatan signifikan di dalamnya, bukan kelompok yang berteriak-teriak di luar, atau mengemis kebaikan elit politik, menukarnya dengan vote massa buruh dalam pemilu.

Apa gunanya setiap satu Mei massa buruh bergerak ke istana negara jika hingga kini mereka belum juga sadar hubungan erat antara kondisi hidup mereka dengan kekuasaan?

Apakah sungguh bebal kepala buruh?

Saya kira tidak. Lebih masuk akal untuk menuding para pimpinan serikat buruh sebagai biangnya.

Pimpinan serikat buruh yang hanya menjadikan buruh batu loncatan menuju kursi menteri tentu akan menolak gagasan persatuan politik buruh yang independen dari kekuatan-kekuatan politik borjuasi. Pimpinan serikat buruh yang demikian lebih suka menjadikan serikatnya dan massa buruh yang dipimpinnya cukup jadi pendukung salah satu faksi borjuasi yang berkompetisi.

Pimpinan serikat buruh yang demikian lebih suka konfederasinya eksklusif menyelenggarakan aksi 1 mei sendiri. Ia, di atas panggung berpeluk-pelukan dan ber-hahahi dengan capres sambil membayangkan dirinya kelak dalam balutan jas menteri. Pemimpin serikat buruh yang demikian akan rela berkorban, mengubah tradisi aksi massa 1 Mei menjadi panggung joget dangdut, acara donor darah, pasar murah, dan lomba balap karung.

Pemimpin serikat buruh seperti inilah yang menghambat persatuan buruh, yang mengisolasi anggotanya dalam sektarianisme sektoral. Cek saja. Serikat-serikat buruh seperti inilah yang dalam sejarah paling getol mengangkat tuntutan upah sektoral. Cek juga, serikat-serikat buruh seperti ini yang para pengurusnya paling banyak bergabung dalam parpol pengusung sentimen identitas. Oportunis!

Jadi Ahmad, jika dirimu buruh dan presiden konfederasimu berciri seperti paragraf di atas, ajak kawan-kawanmu keluar dari serikat itu. Bergabunglah dengan serikat-serikat yang sungguh menjadi alat perjuangan buruh. Bangun kesadaran di kepala kawan-kawan sepabrikmu, tanpa persatuan politik buruh, tanpa partai politik sendiri, kalian selamanya hanya jadi alat tawar bos-bos serikat yang bermimpi jadi menteri.

Untuk menjadikan kekuasaan negara adil kepada kepentingan buruh, tidak cukup dengan menempatkan satu dua orang perwakilan buruh dalam pemerintahan. Dahulu Menaker Yakob Nuwa Wea itu buruh. Tak banyak perubahan regulasi perburuhan. Hanief Dhakiri itu aktivis buruh era Orde Baru, tak banyak pula yang bisa ia hasilkan. Bahkan ketika staf ahlinya seorang Dita Indah Sari, dedengkot aktivis buruh.

Hidup buruh hanya bisa berubah jika kalian punya parpol sendiri, yang menguasai puluhan kursi di parlemen. Saat itulah kalian bisa mendesakkan banyak kebijakan negeri ini lebih adil terhadap buruh.

Apa kalian tak malu, Mad, dengan Grace dan Tsamara, emak-emak semerbak yang kalian anggap boneka borjuasi itu? Mereka bisa bikin parpol sendiri yang mendapat dukungan 3 juta rakyat pemilih. Apa kalian tak malu, parpol yang kalian tuding borjuasi itu justru yang menuntut adanya layanan penitipan anak di kantor-kantor, di pabrik-pabrik? Bukankah seharusnya kalian yang meneriakkan itu? Bukankah itu yang diserukan dalam Rabotnitsa dan Pravda sejak 1900an awal?

Jadi kapan partai buruhnya jadi, Ahmad?



You cannot copy content of this page.

If you need copy of the content, please contact me at gegehormat@gmail.com.