Titik Lemah Jokowi dan Prabowo dalam Debat Keempat Pilpres 2019

Titik lemah Jokowi dan Prabowo di debat capres keempat [diolah dari CNNIndonesia.com]

Debat capres keempat akan dilangsungkan pada 30 Maret 2019. Tema dalam debat capres ini adalah ideologi, pemerintahan, pertahanan keamanan, dan hubungan internasional. Masing-masing kubu rupanya telah mempersiapkan diri, baik gagasan-gagasan yang akan disampaikan; penjelasan dan pembelaan diri saat diserang pernyataan dan pertanyaan lawan debat; juga pertanyaan dan pernyataan yang akan menyudutkan lawan.

Titik Lemah Jokowi

Kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, sebagaimana diutarakan juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Andrew Rosiade (Detik.com, 28/03/2019) rupanya akan menjadikan rencana kebijakan Jokowi mengakomodir perwira TNI aktif dalam jabatan sipil sebagai titik serang.

Ini akan jadi senjata mematikan Prabowo Subianto dalam debat ini. Pertama karena isu itu menghantam titik terkuat Joko Widodo. Sering kali titik terkuat adalah juga titik terlemah.

Joko Widodo terpilih dalam Pilpres 2014 lebih karena faktor sentimen demokratis pemilih. Para pendukung Jokowi umumnya orang-orang yang menempatkan prinsip demokrasi sebagai pertimbangan utama dalam memilih.

Wacana kebijakan menempatkan perwira TNI aktif dalam jabatan sipil bertentangan dengan semangat demokrasi yang diteriakkan rakyat dan pemuda dalam reformasi 1998.

Sebaliknya dengan menjanjikan komitmen tidak akan menempatkan militer kembali ke jabatan-jabatan sipil, Prabowo Subianto justru memperbaiki titik lemahnya, yaitu persoalan demokrasi itu juga.

Sosok Prabowo yang mantan perwira TNI dan bekas lingkaran inti Keluarga Cendana membuat sebagian besar pemilih takut jika kemenangannya akan menghadirkan kembali era otoritarianisme Orde Baru yang salah satu tulang punggungnya adalah keterlibatan militer dalam politik dan bisnis.

Memang Menhan Ryamizad telah menjelaskan bahwa yang akan menduduki jabatan sipil itu bukanlah TNI aktif–bertentangan dengan usulan Panglima TNI yang menginginkan hingga pangkat Kolonel aktif boleh masuk ke jabatan sipil– melainkan para perwira yang pensiun atau mengundurkan diri dari TNI.

Meski demikian, Presiden Jokowi dan tim-nya tetap harus memikirkan penjelasan komprehensif, masuk akal, dan memuaskan, mengapa surplus perwira–saya duga demikian–di tubuh TNI diselesaikan dengan skema pensiun diri berkompensasi jabatan sipil?

Titik Lemah Prabowo

Ada dua titik lemah Prabowo Subianto dalam debat kali ini. Yang pertama soal ideologi, dan yang kedua tentang hubungan internasional.

Dalam soal ideologi, Prabowo lemah sebab tidak bisa ia pungkiri dukungan tokoh dan sebagian massa ormas-ormas Islam politik garis keras kepadanya. Dukungan ini sangat tampak di masa-masa awal ketika Prabowo belum menemukan cawapres pasangannya. Forum itjima ulama yang digagas FPI banyak dihadiri oleh pentolan ormas-ormas Islam politik garis keras, termasuk para petinggi Hizbut Tahir Indonesia (HTI) saat itu.

Tentu akan merepotkan bagi Prabowo menghadapi pertanyaan di bidang ideologi, yaitu ketika ia harus memaparkan bagaimana langkah menegakkan Pancasila dan sebaliknya memberangus paham politik identitas garis keras sementara banyak di antara tokoh-tokoh pendukungnya berasal dari kalangan itu.

Prabowo mungkin akan main aman dengan mengalihkan soal ini ke masalah-masalah ekonomi. Ia akan katakan bahwa kelompok-kelompok politik pengusung ideologi sentimen identitas bisa membesar karena banyak orang miskin yang butuh jawaban atas persoalan hidupnya.

Jawaban seperti ini tidak akan memuaskan sebab kenyataannya para penggerak kelompok-kelompok ini adalah kalangan masyarakat yang secara ekonomi tak bisa disebut miskin.

Sebaliknya Jokowi tentu akan mantap menjawab dan menguraikan gagasan-gagasannya di bidang ini. Kita tahu, salah satu prestasi pemerintahan Jokowi adalah memukul mundur perkembangan ideologi dan ormas radikal, termasuk terorisme di Indonesia.

Isu kedua yang jadi titik lemah Prabowo adalah sikapnya terhadap kemerdekaan Palestina. Sepertinya soal Palestina adalah bahasan wajib dalam percakapan tentang politik luar negeri Indonesia. Itu wajar sebab demikianlah tugas sejarah bangsa ini ditegaskan para pendiri bangsa dalam preambule konstitusi.

Jokowi terkenal dengan komitmennya mendukung hak bangsa Palestina sebagai negara berdaulat. Sebaliknya Prabowo pernah kepleset ketika mengomentari sikap pemerintah Australia yang hendak memindahkan kedutaan besarnya ke Yerusalem.

Ketika pemerintah Australia menyatakan akan mengikuti jejak Amerika Serikat memindahkan kedutaanya ke Yerusalem, Presiden Jokowi langsung menelepon Perdana Menteri Australia, sementara Menlu Retno mengirim nota protes dan memanggil Dubes Australia di Indonesia untuk minta penjelasan.

Sebaliknya Prabowo, ketika dimintai komentar, justru menjawab urusan itu sebagai urusan dalam negeri Australia. Ini tentu saja bukan jawaban seseorang calon pemimpin bangsa yang paham tugas-tugas internasional bangsa ini, sekaligus menunjukkan bahwa kemerdekaan Palestina tidak menjadi perhatian Prabowo.

Nah, kira-kira bagaimana siasat Prabowo berkelit dari hal ini? ***

Sumber:

1. Detik.com (28/03/2019) “BPN Bicara Janji Prabowo Naikkan Anggaran Pertahanan Hingga Bela Palestina”

2. Tirto.id (24/11/2018) “Pangkal Ucapan Prabowo Soal Kedubes Australia yang Keliru di Media.”

3. CNNIndonesia.com (27/07/2018) “Ingin 2019 Ganti Presiden, Jubir HTI Hadiri Ijtima Ulama.”



You cannot copy content of this page.

If you need copy of the content, please contact me at gegehormat@gmail.com.