“And one morning everything was burning/ . . . /and ever since then fire,/ gunpowder ever since,/and ever since then blood/ Bandits with airplanes and with Moors,/ bandits with finger-rings and duchesses,/ bandits with black friars making blessings,/ … kept coming from the sky to kill children,/and through the streets the blood of the children/ran simply, like children’s blood.”
Begitu penggalan puisi Pablo Neruda, “I Explain Some Things.” Seperti puisi inilah buku Timor Timur: Sebuah Memoar dibuka. Simaklah:
“Sekelompok malaikat bersayap putih terbang melayang di angkasa. … sayap-sayap itu menguncup, menjadi parasut-parasut yang mendarat di tanah … orang-orang berseragam khaki muncul dari bawahnya. … mereka mulai menembak orang-orang yang ditemui seakan-akan binatang tak berguna. … Tubuh-tubuh mengambang di permukaan air. Pesawat jet yang entah dari mana asalnya terbang rendah dan memberondong peluru ke daerah pinggiran kota. Seperti virus, kelompok berseragam itu dengan cepat menyebar ke seluruh negeri.”
Timor Timur: Sebuah Memoar adalah kisah perjuangan Naldo Rei, remaja anggota kunci gerakan klandestin Timor Leste semasa pendudukan Indonesia.
Sebagaimana judul, buku ini sebuah memoar. Tetapi berbeda lazimnya memoar, tak sedetik kantuk terbit selama membacanya. Om-Tante akan mengalun alir semenjak halaman pertama, lupa waktu hingga tiba-tiba sudah tiba di halaman 307, tempat titik terakhir diketukkan. Entah sudah berapa kali “orgasme” haru muncrat sepanjang pembacaan.
Mungkin karena kisah perjuangan klandestin memang mendebarkan sekaligus undang haru.
Mendebarkan! Sekalipun tanpa penggambaran baku tembak–sebab klandestin sejatinya perjuangan bawah tanah di perkotaan yang berfungsi sebagai terminal komunikasi dan aliran logistik bagi para pejuang bersenjata yang bergerilya di desa-desa, hutan-hutan, gunung dan perbukitan–kita bisa ikut merasakan ngeri dan mendebarkannya perjalanan hidup remaja Naldo Rei semasa pendudukan Indonesia di Timor Leste.
Mengharukan! Bagaimana tidak? Remaja belasan tahun terpaksa bertaruh nyawa dalam perjuangan klandestin semenjak ayah dan paman-pamannya ditembak mati serdadu pendudukan. Penyiksaan demi penyiksaan dan kehilangan sahabat seperjuangan memenuhi halaman demi halaman. Semuanya dirajut dengan benang keteguhan seorang remaja yang keras tekadnya menyumbang tenaga, usia, dan masa depan bagi kemerdekaan negerinya. Tentu saja kelak bagi kejayaan bangsanya.
Mungkin pula kisah ini apik indah mengalun sebab penerjemahnya Linda Christanty—mantan revolusioner dan penulis aktif yang namanya sudah jadi trade mark karya-karya berkualitas.
Timor Timur: Sebuah Memoar sejatinya ditulis dalam Bahasa Inggris, dengan judul asli Resistance, A Childhood Fighting for East Timor, diterbitkan pertama kali pada 2007 oleh University of Queensland Press. Terjemahan dan suntingan Linda diterbitkan Penerbit Circa di Yogya pada 2017 lalu.
Buku ini sepatutnya monumen pengingat, pernah suatu ketika negeri kita bertindak serupa Belanda dan Jepang, negeri asing yang pernah menjajah kita. Buku ini bisa juga jadi prasasti tentang kisah kemerdekaan dan hak-hak suatu bangsa yang hanya mungkin tegak oleh pengorbanan pemuda dan rakyat. Menoleh sejenak pada prasasti itu membantu kita sadar untuk tidak menyia-nyiakan kemerdekaan dan kemajuan yang telah diwariskan; tidak membantingnya hancur tinggal puing hanya karena hasrat berkuasa tak terbendung.
Namun jika ada pula pihak yang oleh tak terbendung berahinya kepada kekuasaan akan tetap saja mempertaruhkan bangsa ini, saya kira Timor Timur: Sebuah Memoar patut jadi bahan belajar bagaimana melancarkan perjuangan klandestin dengan benar. Siapa tahu ada pihak kalah pemilu atau pilpres yang sedang berpikir ke sana.
Tentu saja kunci sukses perang gerilya dan perjuangan klandestin itu di mana-mana serupa. Bukan rimbun hutan dan terjal tebing pegunungan benteng perlindungan terkokoh, melainkan dukungan rakyat.
Jika tak salah ingat, Che Guavara pun pernah menulis tentang itu. Ia bertanya, apa beda bandit dan gerilyawan? Keduanya sama-sama memahami medan fisik gerilya. Mengapa kawanan bandit lebih mudah ditumpas? Jawabannya: bandit tidak menguasai hati rakyat, gerilyawan memperoleh restu dan cinta rakyat.
Ini pula sebabnya mengapa strategi Nasution kemudian jadi favorit pemberantasan pemberontakan rakyat. Counter-Insurgency: rebut hati rakyat di kantong-kantong perlawanan, maka telanjanglah benteng pertahanan para pemberontak.