Kisruh Tagihan PLN, Ketika Ruang Publik Daring Dikooptasi Kontraktor Opini

Kisruh tagihan listrik sedang jadi topik panas di media sosial, terutama di twitter dan facebook. Foto nominal tagihan disertai caption bertagar #PLNVangke –terkadang disertai meme pernyataan Jokowi tentang subsidi listrik korban pandemi– adu populer dengan tagar #TarifListrikTidakNaik #TarifListrikOkSaja dan #TerusTerangTarifAman.

Pihak PLN menjelaskan, lonjakan tagihan bukan disebabkan kenaikan tarif diam-diam, melainkan karena dua hal. Yang pertama, terjadi peningkatan pengunaan listrik (43 juta pelanggan) selama masa work from home di daerah PSBB dan selama ramadan. Yang kedua karena lonjakan biaya pemakaian yang tidak tertagih selama PSBB dibebankan pada bulan berjalan.[1]

Penjelasan PLN tidak membuat protes reda. Malah menjadi-jadi. Hemat saya, ada dua kemungkinan mengapa begitu.

Yang pertama, kasus salah hitung biaya pemakaian listrik sudah sering terjadi, sudah sejak lama sekali.

Saya masih ingat puluhan tahun lalu, emak saya suka ngomel-ngomel tentang tagihan tidak sesuai pemakaian. Biasanya jika bukan PLN, ya PDAM.

Sering kali –dahulu dan tampaknya masih terjadi untuk pengguna meteran pascabayar– penyebabnya adalah kesalahan pencatatan yang umumnya gara-gara petugas tidak datang memeriksa meteran tetapi mereka-reka pemakaian konsumen berdasarkan rata-rata pemakaian.

Nah, jadi problem ketika konsumen sedang tidak berada di rumah dalam waktu cukup lama. Pemakaian jelas berkurang. Tetapi karena perhitungan tarif bukan berbasis pencatatan melainkan proyeksi berdasarkan rata-rata penggunaan bulan-bulan sebelumnya, jadinya ya tidak sesuai. Hanya menyalakan lampu teras, tetapi jumlah tagihan seolah-olah seluruh alat eletronik digunakan.

Biasanya masalah akan selesai juga jika konsumen memprotesnya. PLN akan memindahkan kelebihan bayar itu ke tagihan bulan selanjutnya.

Namun sudah rahasia umum bahwa lembaga-lembaga di Indonesia sering kali rumit dan bertele-tele dalam penanganan keluhan konsumen. Coba saja, Anda yang pernah punya kasus kelebihan bayar pajak atau mengadu ke bank soal pembobolan kartu ATM tentu merasakan ribet dan lama prosesnya.

Bandingkan jika pembobolan kartu ATM terjadi di bank di luar negeri. Anda sudah berada di Indonesia. Malam ini Anda telepon ke bank yang berada di, misalnya Wellington, Selandia Baru. Besok dana Anda sudah kembali. Kami mengalami kemudahan seperti itu dan mengalami pula kesulitan dengan kasus di Indonesia.

Saya pernah punya kasus dengan layanan internet rumah yang disediakan sebuah perusahaan (ter)besar di bidang itu. Dua bulan berturut-turut saya minta penurunan kapasitas agar bisa lebih menghemat. Petugas menjawab paket lebih murah yang tertera dalam brosur tidak ada di kota kami.

Tetapi karena mendengar teman saya berlangganan paket itu, di kali ketiga saya katakan kepada customer service, “Mbak, saya videokan ya percakapan kita. Saya akan gunakan video ini untuk kepentingan lebih lanjut, siapa tahu saya harus komplain ke atasan Mbak.”

Eh, kali ini tidak sampai 5 menit, paket langganan saya sudah beralih ke versi lebih murah yang dalam permintaan dua bulan sebelumya dijawab tidak tersedia itu.

Nah, karena bertele-tele dan rumitnya penanganan, konsumen merasa diri selalu dicurangi jika berhadapan dengan korporasi. Kiranya seperti Daud melawan Goliat. Namun karena kemenangan Daud mengalahkan Goliat pakai batu itu untung-untungan, belum tentu terulang pada kita, cara yang paling mungkin ya keroyokan.

Maka konsumen mencari dukungan di ruang publik.

Masa kini, ruang publik paling efektif adalah media sosial. Dilemparkanlah keluhan ketidakberesan, seperti soal tarif tidak sesuai pemakaian yang sedang ramai ini.

FYI, sejumlah kenalan yang memang punya kebiasaan cukup ketat dalam mencatat pemakaian listrik, memang mengalami tagihan listrik lebih besar dibandingkan pemakaian versi hitungan mereka.

Ketika keluhan ini dilempar ke ruang publik tak bertepi, seperti media sosial, keluhan yang objektif ini bercampur dengan keluhan karena kurang paham (seperti karena kaget akibat pembebanan pemakaian berlebih bulan-bulan sebelumnya ke bulan berjalan).

Yang kedua, di sisi lain, partisipan ruang publik medsos berlatar motif rupa-rupa. Berbaur dengan individu-individu warganet, banyak pula akun-akun yang diorganisasikan oleh ‘perusahaan-perusahaan kontraktor opini’.

Para kontraktor ini berdagang jasa pembentukan opini publik di media sosial.

Keberadaan kontraktor-kontraktor opini publik sudah lama di Indonesia. Menjadi kian marak setelah pengalaman 2010, the Arab Spring Revolts yang berdampak penggulingan kekuasaan di Tunisia, Egypt, Libya, and Syria serta perubahan struktur kekuasaan di sejumlah negara lain di Timur Tengah.[2]

Arab Spring Revolts mengantarkan masyarakat politik dunia –bukan cuma Indonesia– kepada kesimpulan bahwa media sosial –pengondisian opini di sini– bisa menjadi alat memobilisasi massa di ranah luring, menggerakkan dunia politik konkrit.

Mulanya penggunaan media sosial sebagai pembentuk opini dan citra bersifat individual dan merupakan inisiatif kalangan bisnis. Mereka menggunakan figur-figur berpengaruh (influencer) di media sosial untuk menyampaikan iklan terselubung.

Berbeda dengan iklan konvensional di media massa, pelibatan figur populer media sosial membuat iklan sebuah produk tampil sebagai seolah-olah testimoni yang alamiah. Bahkan tanpa perlu testimoni.

Sekadar membiarkan sebuah produk tergeletak di atas meja saat si figur populer sedang bicara di depan kamera sudah menghasilkan pesan kuat bahwa produk tersebut unggulan sebab digunakan orang beken. Iklan memang lebih efektif disampaikan tidak sebagai iklan.

Dalam dunia media cetak, hal ini seperti menulis advertorial tanpa diberi border, sehingga seolah-olah menjadi sebuah artikel feature.

Nah, rupanya penggunaan social media influencer di dunia bisnis berkembang di dunia politik secara lebih masif, bukan lagi melibatkan 1-2 figur influencer tetapi keroyokan. Pengondisian opini dilakukan dengan melibatkan banyak akun—sering pula akun boot dan indentitas palsu yang disebut buzzer.

Di Amerika Serikat penggunaan buzzer politik sudah marak semenjak pilpres 2012. Saat itu dua dari lima orang AS menggunakan media sosial untuk tujuan politik; sementara sepertiga pengguna medsos menyatakan membaca promosi capres di media sosial.[3]

Di Indonesia, penggunaan buzzer politik sudah marak sejak Pilpres 2014, dan berlanjut pada pilkada DKI. Semua kubu yang bertarung menggunakannya. Jadi manupulatif jika sebutan BuzzeRP hanya dilekatkan pada kubu Jokowi. Bahkan kubu Jokowi sebenarnya hanya membalas teknik serupa yang terlebih dahulu digunakan lawan.

Pada pilpres 2019, penggunaan jasa kontraktor pembangunan opini ini sudah mencapai kondisi tidak bisa lagi dipukul mundur. [4]

Ketika pengaduan soal tarif listrik tak wajar –baik yang benar demikian atau karena kurang pemahaman– beredar di media sosial, akun-akun kontraktor opini politik mengambilalih, mengkapitalisasinya sebagai serangan politik ke kubu Joko Widodo.

Tentu saja tidak semua posting solidaritas terhadap ‘para korban’ di media sosial dilakukan akun-akun buzzer. Sebagian yang cukup besar merupakan warga yang tulus dan sadar bahwa kecurangan korporasi memang harus dilawan bersama-sama.

Percampuran antara niat tulus bersolidaritas terhadap dugaan kecurangan korporasi dengan mobilisasi akun-akun kontraktor opini menghasilkan taggar #PLNVangke yang berhias meme pernyataan Jokowi tentang kebijakan pemberian potongan tarif listrik kepada masyarakat terdampak pandemi Covid 19.

Bau-bau framing kisruh tarif PLN menjadi serangan terhadap Jokowi disadari oleh para pendukung Jokowi. Mereka lantas melawannya dengan cara serupa, menggerahkan akun-akun di bawah binaan kontraktor pembentukan opini di kubu mereka.

Tetapi seperti halnya pihak lawan, juga tidak semua akun yang tampak membela PLN adalah akun-akun kontraktor opini. Sebagian besar juga orang-orang tulus yang tidak ingin idola politik mereka dijadikan target dari pengembangan kisruh tarif.

Maka berkembang pula taggar #TarifListrikTidakNaik #TarifListrikOkSaja dan #TerusTerangTarifAman

Akhirnya tarif PLN berkembang jadi (lagi-lagi) proxy pertempuran dua kubu. Dampaknya rakyat yang berpersoalan mungkin tidak akan terbantu.

Ya. Saya kira inilah yang sedang terjadi di dunia publik daring kita. Ruang yang seharusnya milik warga; tempat seharusnya warga mengimbangi hegemoni korporasi dan kekuasaan melalui media-media mainstream ternyata sudah dikooptasi pula oleh pemain-pemain besar dan kontraktor bayaran mereka.

Akhirnya, mencari ketulusan dalam percakapan publik menjadi sesulit mencari uang receh di tengah pandemi. Kita perlu berpikir lebih keras dan berhati-hati mana informsi tulus, mana manipulasi yang dimobilisasi.

___

Bacaan:

[1] Widyastuti, Rr Ariyani Yakti. 2020. “PLN: Hanya 4,3 Juta Pelanggan Yang Tagihan Listriknya Naik.” Tempo. June 8, 2020.
[2] Baca misalnya Alhindi, Waheed & Talha, Muhammad & Sulong, Ghazali. (2012). The Role of Modern Technology in Arab Spring. Archives des sciences 1661-464X. 65. 1661-464.
[3] Garrett, R. Kelly. 27 Mar 19. “Social Media’s Contribution to Political Misperceptions in U.S. Presidential Elections.” PLOS ONE 14 (3): e0213500.
[4] Samantha Bradshaw & Philip N. Howard, “The Global Disinformation Order: 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation.” Working Paper 2019. Oxford, UK: Project on Computational Propaganda. comprop.oii.ox.ac.uk. 



You cannot copy content of this page.

If you need copy of the content, please contact me at gegehormat@gmail.com.