“Coffee dan cafe; kopi dan kedai; kiranya aku dan kamu. Tanpa coffee, cafe sepi belaka. Tanpa cafe, coffee terasa hambar”
Starbucks mengumumkan rencana penutupan 400 cafe-nya selama 1,5 tahun. Saat buka kembali, cafe-cafe itu akan lebih mirip (fungsinya) ‘booth kopi di pojok mall’ dibandingkan sebuah kedai.
Mungkin saja, oleh sebab itu, pada salah satu Sabtu di Juni tahun depan, seorang pekerja pemula kerah putih, kelahiran tahun 2000an, yang tiada kenal wujud pohon kopi, dan tak pernah menggenggam biji-biji kopi, melahirkan untaian baris kalimat di atas.
Ia seolah-olah sedang menulis puisi rindu kepada kekasih, menyatakan betapa merana dirinya tanpa kehadiran si kekasih hati. Tetapi tak! Sesungguhnya si pemuda sedang pamer, atau tepatnya memanipulasi citra sosial dirinya kepada si kekasih. Ia mau tunjukkan keakraban dengan gaya hidup para seniornya di kantor.
Para senior kantornya, oleh lama masa kerja, berpendapatan sebulan yang cukup untuk dibelanjakan sedikit pada cangkir-cangkir kopi yang overpriced.
Para senior itu sudah mampu mengupah asisten rumah tangga, atau membeli mesin cuci dan robot pengepel lantai –seperti kepunyaan Marshanda, si ‘Lala kesayangan Ibu Peri’ yang kini single mom— sehingga tersisa cukup waktu dalam hidup mereka untuk dibelanjakan dengan kongkow-kongkow di cafe.
Sejatinya si pemuda tak sungguh suka kopi. Ia juga tak punya cukup uang untuk ngopi di cafe andai pembelanjaan upahnya diprioritaskan pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan, bukannya pada hasrat untuk dipandang sebagai bagian dari ‘kelas-para-senior’ di kantor.
Sejatinya pula si pemuda tidak punya cukup waktu luang. Ia pula kerja membawa setumpuk berkas yang diserahkan boss di ujung jam kerja. Ia harus memeriksa berkas-berkas itu, memperbaiki yang kurang agar esok pagi bisa mengembalikan kepada si boss dalam kondisi sudah beres.
Coffee dan Cafe, Penanda Semu Kelas Menengah Perkotaan
Yakinlah, masing-masing kita menemukan sosok pemuda seperti ini, setidaknya pada seorang di antara kenalan yang sering mampir atau mungkin cuma pernah sekelebat lewat dalam hidup kita. Atau bisa pula kitalah pemuda itu, entah kita yang sudah lampau, atau masih hingga kini.
Sebab demikianlah kenyataan masa kini yang pernah disimpulan Baudrillard pada masyarakat era 1960an. The Consumer society, masyarakat yang mementingkan perilaku konsumtif, ketimbang produktif.
Individu-individu warga consumer society mengonsumsi nilai tanda, bukan nilai guna produk. Mereka menikmati petanda sebagai asosiasi dari produk yang berfungsi sebagai penanda. Petanda yang diwakili tak berhubungan dengan manfaat, fungsi, atau guna sejati produk tersebut.
“In the logic of signs, as in that of symbols, objects are no longer linked in any sense to a definite function or need. Precisely because they are responding here to something quite different, which is either the social logic or the logic of desire, for which they function as a shifting and unconscious field of signification.”
-Jean Baudrillard- The Consumer Society: Myths and Structures. hal. 77
“Dalam logika tanda, seperti halnya simbol, objek tidak lagi terhubung dalam arti apa pun dengan fungsi atau kebutuhan tertentu. Justru karena mereka merespons sesuatu yang sangat berbeda di sini, yang bisa berupa logika sosial atau logika hasrat, yang berfungsi sebagai bidang penandaan yang bergeser dan tidak sadar.”
Si pemuda tidak menikmati kopi sebagai minuman berkafein pembangkit semangat. Ia tidak datang ke cafe karena butuh kawan ngobrol atau hendak menikmati kopi nikmat khas racikan barista di sana. Tidak!
Si pemuda tak sungguh butuh kopi dan kedai sebagai kopi dan kedai. Ia hanya berhasrat pada petanda, ‘signified‘ yang masyarakat (dan industri kebudayaan) lekatkan pada kopi dan kedai: gaya hidup kelas menengah urban. Ia ingin dianggap layak menjadi bagian itu.
Bukan saja kopi dan kedai dimanipulasi fungsinya sebagai penanda status sosial; status itu sendiri sebuah ilusi, sebuah citra yang dipalsukan.
Pemuda-pemuda masuk cafe, memesan kopi yang di sejumlah cafe tidak lagi sungguh-sungguh kopi, sebab telah bercampur banyak bahan tak lazim, yang oleh besar proporsi bahan-bahan itu, kopi menjadi pinggiran dalam campurannya.
Sebelum kopi yang overpriced itu dicicipi, si pemuda -demikian pula anggota kumpulannya, masing-masing bertindak serupa- mengambil smartphone berfitur andalan front camera berpixel besar; mengabadikan diri dan kumpulannya.
Kopi belum dicicipi, sebab yang utama adalah menyebarkan foto tadi -disertai caption, “rutinitas pulang kerja”- ke berbagai media sosial: instagram, twitter, dan facebook.
Lalu pemuda-pemuda itu menyeruput kopi … lalu kembali mengetik di smartphone masing-masing … lalu seruput lagi … lalu handphone lagi.
Tubuh-tubuh mereka ngopi bareng di kedai mahal itu, tetapi jiwa mereka sibuk cengkerama dengan kawan-kawan lain yang sebagian besar tidak mereka kenali, berada di antah berantah belahan dunia dan bersimpul di media sosial.
Apa arti semua ini?
Conspicuous consumption dengan pengorbanan pahit
Conspicuous consumption! Demikian istilah yang boleh kita pinjam dari Thorstein Veblen untuk menamakan ekspresi budaya masyarakat perkotaan tadi.
Veblen menggunakan Conspicuous consumption, ‘konsumsi yang mencolok’ untuk menunjukkan watak kelas atas yang gemar membeli barang-barang mahal atau mengonsumsi produk berkualitas tinggi, bukan demi kepuasan atas nilai guna (manfaat) dari barang dan jasa tersebut melainkan melainkan ajang pamer.
Sebenarnya conspicuous consumption bukanlah gagasan sentral dalam buku Veblen, The Theory of the Leisure Class (1899). Artinya bukan barang-barang mahal objek pameran utama. Barang-barang branded, langka, dan berkualitas nomor satu hanya turunan atau konsekuensi dari objek pokok pameran: waktu luang.
Waktu luang lah menjadi kemewahan utama dan objek pokok pameran sebab itulah yang paling mendasar membedakan elit dari mayoritas commoners.
Kelas elit teratas tak perlu bekerja dan tetap bisa hidup mewah. Orang-orang biasa menghabiskan sebagian besar waktu hidupnya untuk banting tulang, sebagian besar bahkan hanya demi mengganjal perut sehari saja.
“This direct, subjective value of leisure and of other evidences of wealth is no doubt in great part secondary and derivative. It is in part a reflex of the utility of leisure as a means of gaining the respect of others, and in part it is the result of a mental substitution. The performance of labour has been accepted as a conventional evidence of inferior force; therefore it comes itself, by a mental short-cut, to be regarded as intrinsically base”.
Thorstein Veblen- The Theory of The Leisure Class. Hal. 29-30
Leisure class dalam terminologi Veblen adalah seluruh saja grup sosial yang tidak harus bekerja namun bisa hidup berkelebihan. Grup-grup sosial ini ada dalam berbagai tahap perkembangan corak produksi atau sistem sosial. Menurut Veblen, leisure class telah terbentuk semenjak fase puncak masyarakat barbar.
Sekitar 15 tahun setelah buku Veblen, terbit pula buku berjudul nyaris serupa, ditulis salah seorang pemikir besar Bolshevik Rusia, Nikolai Bukharin Judulnya The Economic Theory of the Leisure Class.
Berbeda dengan Veblen, Bukharin menggunakan istilah leisure class untuk borjuasi yang menikmati kemewahan dari rente.
Bukharin meminjam penjelasan tentang kelahiran strata borjuasi rente dari buku (brosur) Alexander Parvus, Der Staat, die Industrie und der Sozialismus.
Saya tidak memilikinya, meski punya buku sejarah hidup Parvus -ia salah seorang pemikir besar revolusiner, memiliki pengaruh besar terhadap Trostky serta para intelektual Jerman dan Turki pra-1920an.
“The bourgeoisie is being transformed into rentiers who have about the same relation to the great financial institutions as they have to the State whose obligations they acquire; in both cases, they are paid their interest and have nothing else to worry about.”
Alexander Parvus- dikutip Bukharin, The Economic Theory of the Leisure Class .Hal 25.
Bukharin menilai strata borjuasi penikmat rente bersifat parasit dalam masyarakat. Mereka mengembangkan sifat-sifat psikologis serupa kaum bangsawan dan aristokrat pada masa silam (feodal).
Karakter borjuasi rente sebagai leisure class versi Bukharin serupa penggambaran Veblen. Perbedaanya Bukharin mengupas laisure class dari sudut pandang ekonomi politik, bukan dari sisi kultur seperti Veblen.
Menurut Bukharin, perbedaan utama borjuis penikmat rente dengan kelas pekerja dan tipe borjuasi lain adalah kelompok yang pertama tidak lagi terlibat dalam aktivitas ekonomi -maksud Bukharin adalah produksi dan perdagangan. Dengan kata lain, mereka tidak lagi bekerja produktif.
“Consumption is the basis of the entire life of the rentiers and the ‘psychology of pure consumption’ imparts to this life its specific style. The consuming rentier is concerned only with riding mounts, with expensive rugs, fragrant cigars, the wine of Tokay. A rentier, if he speaks of work at all means the “work” of picking flowers or calling for a ticket at the box office of the opera.! Production, the work necessary for the creation of material commodities, lies beyond his horizon and is therefore an accident in his life.”
Bukharin, hal 26.
Bukharin lebih jernih menjelaskan asal muasal watak anti-kerja–yang oleh Veblen menjadi dasar keutamaan leisure class–sebagai ekspresi kultur yang melekat pada relasi produksi.
Kelas sosial, oleh keunikan posisi dalam relasi produksi membentuk kebudayaan kelas yang khas pula. Beragam aktivitas memfoya-foyakan waktu –dengan menonton opera, menyaksikan fashion show, menyelenggarakan pesta, atau menjalani hobi mahal dan butuh ketelatenan– lahir dari ketiadaan kewajiban kerja.
Barulah kemudian, kebiasaan-kebiasaan itu, hobi-hobi itu berubah fungsi menjadi kode etik kelas; yang kemudian menjadi penanda status sosial yang eksklusif. Konsumsi waktu luang dan barang mewah secara menyolok hanyalah upaya penegasan status tersebut agar diterima komunitasnya dan demi mendapat penghormatan khalayak.
Bagaimana keutamaan the leisure class kini jadi keutamaan kelas pekerja pula?
Budaya nongkrong di cafe, memesan secangkir kopi overpriced untuk difoto dan disebarluaskan di media sosial adalah persis meniru mental leisure class di era Veblen: pamer kemewahan bisa menikmati waktu luang di tempat mahal (conspicuous leisure) untuk mengonsumsi barang mahal (conspicuous consumption).
Tetapi di era Veblen, adalah sungguh-sungguh leisure class, kalangan elit yang memang tidak perlu bekerja -dalam masyarakat kapitalis, mereka grup borjuasi penikmat rente- yang berperilaku demikian. Di masa kini, seperti contoh pemuda kita pada awal artikel, kelas pekerja turut pula berperilaku demikian.
Mengapa bisa demikian?
“Itulah the consumer society.” Jawaban mudah orang-orang.
Ok, baiklah. Tetapi bagaimana consumer society bisa eksis dan bertahan?
“Hegemoni, terutama lewat media massa yang memasarkan budaya konsumtif, lewat iklan-iklan.” Jawaban mudah lagi.
Tetapi bagaimana bisa iklan-iklan itu sedemikian mudah memengaruhi pikiran orang-orang? Apakah orang membeli starkbucks atau coca-cola atau McDonald karena iklan menyatakan itu barang enak?
Lalu beberapa orang mulai menyodorkan penjelasan yang dikutip seadanya dari teoretisasi hasrat dan kenikmatan a la Lacan.
Haish! Genit dan merumit-rumitkan pokok persoalan!
Padahal, gagasan tentang hegemoni dan komoditi sebagai penanda-petanda sudah cukup memadai dalam menjelaskan soal ini.
Ruling class -dalam masyarakat kapitalis adalah borjuasi- berkuasa bukan saja lewat dominasi (pelibatan aparatus represif) tetapi juga hegemoni.
Masyarakat ditertibkan melalui pemenangan nilai-nilai, prinsip, pandangan hidup, hingga mental dan karakter rulling class sehingga menjadi standar dan ideal universal, diterima -secara sadar semu- oleh kelas-kelas sosial lain.
Bagi Bukharin, kelas yang tidak bekerja tetapi hidup dari rente ini adalah parasit memuakkan. Veblen mengkritik sikap tak masuk akal mereka dalam konsumsi dan pemanfaatan waktu.
Leisure class itu sendiri pada dasarnya adalah umpatan, sindiran. Tetapi bagi kelas penguasa, menikmati waktu luang sebanyak-banyaknya dalam aktivitas dan seremoni remeh-temeh tetapi mahal sambil menikmati barang-barang berkualitas terbaik adalah keutamaan, adalah kemulian.
Oleh berabad-abad pengerahan instrumen hegemonik, masyarakat -bahkan kelas pekerja yang fitrahnya memuliakan kerja- turut mengamini ideal leisure class sebagai keutamaan, sebagai kemuliaan, sebagai hal yang patut dikejar. Para peraihnya, orang-orang yang bisa melakoni gaya hidup tersebut, patut dipuja-puji.
Iklan media massa tidak cuma membawa pesan bahwa suatu produk baik adanya, nomor satu untuk dikonsumsi. Di baliknya menyusup pula pesan tentang keutamaan-keutamaan hidup yang diyakini the rulling class.
Di permukaan, iklan bicara tentang nilai guna barang. “Minuman isotonik baik untuk tubuhmu.” Tetapi di baliknya menyusup pesan petanda “Orang modern itu aktif dan orang aktif minum isotonik.”
Maka KFC laris BUKAN karena iklan memasarkannya sebagai lebih enak dibandingkan ayam goreng racikan Bi Inem di dapur, tetapi karena di balik serangan gencar iklan-iklan terdapat pesan, “Inilah yang dikonsumsi orang-orang Amerika Serikat yang moderen itu. Dengan meniru mereka, kita pun orang moderen.”
Begitu pula dengan budaya ngopi di cafe yang dilakoni urban middle class. Sebagian besar di antara mereka tidak sungguh peduli rasa kopi. Sodori mereka kopi sachet dari warung, sajikan dalam cangkir di cafe-cafe mahal, mereka akan tetap memujinya enak.
Mereka juga tak butuh kawan ngobrol di cafe. Mereka hanya butuh citra: sebagai sosialita, sebagai anak gaul, sebagai orang-orang muda sukses yang punya banyak waktu luang dan punya cukup uang untuk duduk-duduk di kafe mahal sambil menikmati kopi yang overpriced.
Coffee dan cafe adalah dwi-tunggal produk yang jadi penanda bagi citra tersebut; menjadi simbol, pernyataan sikap, deklarasi, bahwa konsumennya adalah ideal kelas menengah perkotaan.
Ketika dwi-tunggal itu pecah, dipasarkan tidak sepaket, buyar pula petanda yang diwakili. Inilah yang akan terjadi sebagai dampak pandemi Covid-19. Setidaknya dimulai dari Starbucks, waralaba kedai kopi terbesar di dunia, simbol masyarakat modern-sibuk-dinamis perkotaan.
Akhirnya Biologi, bukan artificial intelligence biang disrupsi peradaban kita
Sebelum virus corona baru merebak di Wuhan lalu menjadi pandemi, dunia sedang menyambut revolusi industri 4.0 dan dampaknya yang disruptif terhadap kehidupan normal.
Orang-orang bicara tentang lingkungan kerja dan model pengupahan yang berubah. Orang-orang mulai kehilangan pekerjaan, digantikan kecerdasan buatan. Yang bertahan terpaksa menerima mode pengupahan baru: kerja yang fleksibel, yang bisa berhenti sewaktu-waktu, yang part-time, yang tiada jaminan masa depan, sekadar bertahan hari demi hari.
Kita bicara tentang model komunikasi yang kian men-sosialkan sekaligus mengasingkan manusia: ketika yang bercakap-cakap adalah gawai dengan gawai; ketika mendapat kawan dari belahan dunia antah berantah sedemikian mudahnya dan sebaliknya berkomunikasi dengan orang serumah jadi kemewahan.
Pemerintahan dunia mulai mendiskusikan lagi bentuk-bentuk jaring pengaman sosial yang cocok untuk menyambut kondisi itu, salah satunya dengan mempertimbangkan Universal Basic Income–Spanyol akhirnya menerapkan ini sejak bulan Mei. Bukan karena dampak revolusi industri 4.0 tetapi dampak pandemi Covid-19.
Lalu … pandemi. Hal-hal yang seharusnya diubah oleh kehadiran artificial intelligence, robot-robot yang menjadi kian manusiawi itu, justru dipercepat pewujudannya oleh virus, mahkluk setengah-hidup-setengah-mati yang tiada mampu kita kontrol.
“Kami mempercepat rencana transformasi toko untuk mengatasi situasi saat ini, sambil tetap memberikan pengalaman yang aman, akrab, dan nyaman bagi pelanggan kami,” kata CEO Starbucks Kevin Johnson [1]
Rupanya starbucks memang sudah punya rencana merombak konsep kedainya. Aslinya rencana itu akan dijalankan tiga hingga lima tahun ke depan. Tetapi pandemi Covid-19 memaksa mereka untuk bertindak sekarang.
Siapa yang bertindak cepat menyesuaikan bisnisnya dengan kondisi saat ini –yang sudah pasti menjadi new normal di masa mendatang– akan lebih cepat pula kembali terjun ke pasar dan bisa jadi pemimpin bisnis.
Karena itu starbucks menutup 400 kedainya selama 18 bulan ke depan untuk diubah konsepnya. Akan ada lebih besar dan lebih banyak ruang khusus layanan drive-thru dan konter terpisah yang melayani pemesan via aplikasi daring.
Perubahan itu bertujuan menciptakan ruang kerja dan pelayanan kepada pelanggan yang lebih aman dalam kondisi normal baru.
Itu berarti, meski masih akan ada pengunjung yang menikmati kopi di starbucks, akan lebih besar proporsi konsumen yang membeli untuk menikmatinya di tempat lain –mungkin dalam kesendirian menatap senja saat gerimis membasahi jendela.
Itu berarti pula, lebih banyak orang ‘terpaksa’ — demi selamat dari Covid-19 di masa new normal– menikmati kopi tanpa turut menikmati kedai.
Kalau ini jadi kecenderungan umum, banyak kedai akan menyepi, berubah menjadi cuma penjaja kopi. Kurang lebih seperti booth kopi instan di pelataran mall.
Perceraian coffee-cafe sama artinya dengan memudarnya salah satu simbol –tentu saja turut hilang pula maknanya, petandanya– gaya hidup dan status sosial kelas menengah perkotaan.
Maka grup sosial yang seolah-olah leisure ini, yang rela berutang dan kerja hingga larut hanya demi satu-dua jam bisa eksis di media sosial dalam foto sedang ngopi di cafe, harus mencari simbol baru, penanda baru yang merepresentasikan citranya: citra grup sosial yang merangkak menggapi mimpi naik kelas; mimpi yang mungkin tidak akan pernah digapai.***