Sebagai bukan pendukung, tidak nyaman mengakui ada hal baik datang dari Anies Baswedan. Tetapi soal PSBB Masa Transisi ini saya harus jujur katakan, “Ini, lho, yang begini ini yang pas.” Setidaknya untuk 3 hal berikut.
Beberapa hari lalu Kompas.com (05/06/2020) memberitakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memperpanjang pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jakarta hingga akhir Juni.
Apakah Gubernur Anies Baswedan menentang kehendak Presiden Joko Widodo agar DKI segera masuk masa new normal?
Tidak. Keputusan Pak Anies Baswedan sejalan dengan kehendak Pak Jokowi, DKI sedang menuju masa pemberlakuan normal baru.
Hanya saja … bukan Anies Baswedan jika tanpa nuansa perbedaan dengan pemerintahan pusat. Bukannya latah menggunakan istilah new normal yang dikritik banyak orang itu, Anies malah pakai istilah PSBB Masa Transisi.
Orang-orang tentu mencurigai pembedaan istilah ini sebagai taktik memunculkan diferensiasi, hal penting dalam investasi politik menuju pilpres 2020. Entahlah. Bagi saya, terlepas dari apapun motifnya, penggunaan istilah PSBB Masa Transisi dan protokol yang diterbitkan Anies Baswedan mengandung sejumlah kebaikan.
Kebaikan pertama adalah pada nama atau istilah yang dipakai.
Istilah PSBB Masa Transisi bermanfaat mendidik masyarakat, memperbaiki salah kaprah oleh penggunaan istilah new normal yang tidak proper.
PSBB Masa Transisi bukan nama lain new normal. Jadi tidak seperti yang dikatakan orang-orang PDIP bahwa kedua istilah bermakna serupa.[1] PSBB Masa Transisi justru meluruskan istilah new normal, yaitu bahwa masa sekarang ini belumlah normal baru, melainkan masa menuju ke sana.
New normal itu sendiri adalah masa ketika kita tetap produktif hidup di tengah keberadaan virus corona baru. Atau dalam istilah Anies Baswedan, seperti juga dalam istilah Jokowi: masa hidup aman, sehat, dan produktif.
“Transisi itu sebetulnya untuk mengirimkan pesan bahwa ini bukan fase akhir. Ini transit. Terminalnya mana? Terminalnya adalah aman, sehat, produktif. Itu terminal tuh. Terminal itu ya ujungnya itu. Kalau ini masa transit, karena itu kita menyebutnya transisi,” tutur Anies.[2]
Produktif artinya kita tetap bekerja, tetap mencari nafkah. Pabrik-pabrik, toko-toko, kantor-kantor kembali buka. Tetapi semua itu dilakukan dengan menjalani sejumlah protokol kesehatan agar covid-19 -yang saat itu endemik- tidak kembali menjadi epidemi.
Nah, yang Anies Baswedan lakukan dengan istilah PSBB Masa Transisi menjelaskan hal sebenarnya dari wacana new normal. Yaitu bahwa Jakarta belum masuk, melainkan sedang menuju normal baru, yaitu kondisi hidup sehat, aman, dan produktif, dengan virus corona membaur, memunculkan 1-2 kasus secara konsisten tetapi tidak tiba-tiba meledak.
Dalam rangka menuju hidup sehat, aman, produktif itu atau ‘berdamai dengan corona’ itu sejumlah pelarangan pada masa PSBB dilonggarkan, bukan ditiadakan. Artinya masih ada pembatasan-pembatasan tetapi tidak seketat sebelumnya.
Pembatasan-pembatasan selama masa transisi ini dan penegakan terhadapnya bertujuan untuk mendidik masyarakat, mengakrabkan masyarakat dengan kebiasaan-kebiasaan baru.
Kelak, di masa normal baru, kebiasaan-kebisaan ini sudah jadi langgam hidup, dilaksanakan tanpa perlu aparat berjaga-jaga mengingatkan atau memberi sanksi.
“Periode ini juga adalah periode edukasi, periode pembiasaan terhadap pola hidup sehat, pola hidup yang aman, pola hidup yang produktif sesuai dengan protokol Covid-19,” ujar Anies.[3]
Apa yang disampaikan Anies Baswedan membuat jelas maksud Presiden Joko Widodo.
Kedua, kejelasan pembatasan di tempat kerja
Dalam rangka menuju kehidupan normal baru, Menteri Kesehatan Terawan telah menerbitkan Keputusan Menkes tentang “Panduan Pencegahan dan Pengelian Covid-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri dalam Rangka Menundukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi”.
Panduan tersebut berisi ketentuan-ketentuan yang harus dilaksanakan di tempat kerja selama PSBB dan pasca-PSBB.
Sebenarnya ketentuan-ketentuan dalam Keputusan Menkes sudah cukup rinci. Tetapi harus diakui, masih ada sejumlah poin mengambang, belum tegas diatur.
Misalnya, sudah diatur bahwa jarak antara pekerja minimal 1 meter, dan (untuk itu) ada pengaturan jumlah pekerja yang masuk agar memudahkan penerapan physical distancing. Tetapi tidak diatur detil berapa banyak pekerja yang masuk dalam satu shift agar physical distancing benar-benar bisa terjaga.
Kita tentu tahu bagaimana lingkungan kerja di banyak –artinya bukan semua– kantor dan pabrik di Indonesia. Sungguh tidak nyaman. Buruh duduk berhimpitan dalam ruang yang panas dan pengap. Dalam kondisi demikian, ketika buruh aktif dalam kapasitas maksimum, sulit menciptakan jarak aman 1 meter antar buruh.
Dalam protokol masa transisi yang diterbitkan Anies Baswedan -Pergub DKI 51/2020 Tentang Pelaksanaan PSBB pada Masa Transisi Menuju Masyarakat Sehat, Aman, dan Produktif- ketentuan dalam Keputusan Menkes diatur lebih konkrit, yaitu “menerapkan batasan kapasitas jumlah orang paling banyak 50% yang berada dalam tempat kerja dalam waktu yang bersamaan” dan konsekuensinya “melakukan pengaturan hari kerja, jam kerja, shift kerja dan sistem kerja.”
Pembatasan 50 persen kapasitas buruh yang dipekerjaan dalam waktu bersamaan membuat physical distancing masuk akal dan mudah diawasi. Jika pemerintah hendak mengecek kepatuhan perusahaan terhadap physical distancing, tinggal cek saja penerapan pembatasan 50% kapasitas.
Hal baik lain, dalam Pergub 51/2020 juga ada larangan memberhentikan pekerja yang harus menjalani isolasi Mandiri atau Karantina Mandiri.
Ketiga, kejelasan sanksi yang beradab.
Pergub 51/2020 mengatur, setiap orang yang tidak melaksanakan kewajiban menggunakan masker pada saat beraktivitas di luar rumah dikenakan sanksi berupa kerja sosial membersihkan sarana fasilitas umum dengan mengenakan rompi; atau denda administratif sebesar Rp 250.000.
Pengenaan sanksi kerja sosial dilaksanakan oleh Satpol PP dan dapat didampingi oleh unsur Kepolisian dan atau TNI.
Kejelasan jenis sanksi ini penting untuk menghindari praktik pelanggaran HAM saat aparat menegakkan protokol.
Dalam artikel “New Normal, Cemasi TNI, Malah Satpol PP yang Bikin Ulah” saya ceritakan maraknya pemberian sanksi push-up di Nusa Tenggara Timur, bahkan terjadi tindak kekerasan pemukulan terhadap orang-orang yang tidak mengenakan masker.
Saya sampaikan pula bahwa indikator militerisme dalam penegakan protokol bukan pada pelibatan aparatur TNI melainkan pada bentuk-bentuk sanksi yang diterapkan, apakah mengacu pada hukum sipil (sipil berpadanan dengan beradab) atau bentuk-bentuk sanksi kedisiplinan yang berlaku di kalangan militer.
Kejelasan bentuk sanksi yang diberikan (kerja sosial atau denda), menghindarkan aparat dan masyarakat dari melakukan atau menjadi korban pelanggaran HAM.
Saya kira itu tiga hal positif dari Peraturan Masa Transisi menuju Normal Baru yang dikeluarkan Gubernur Anies Baswedan. Tentu masih banyak hal positif lain, dan ada pula kekurangan-kekurangannya..