3 Sebab Pilkada Serentak Desember 2020 Wajib Batal

Mendagri Tito Karnavian [ANTARA FOTO Dhemas Reviyanto via Kompas.com]

Idealnya, pergantian kekuasaan itu menguntungkan rakyat. Penguasa lama yang tidak becus diganti yang baru, yang menjanjikan perubahan. Kenyatannya sering tidak begitu. Muka pejabat publik boleh berganti, kebijakan dan karakternya copy paste pendahulu, bahkan boleh jadi lebih buruk lagi.

Rabu (27/05) kemarin, Mendagri Tito Karnavian, Ketua KPU Arief Budiman, dan Komisi II DPR berembuk virtual soal pelaksanaan pilkada serentak. Lucu, dari tiga opsi-Desember 2020, Maret 2021, dan September 2021—mereka sepakati waktu yang paling dekat, Desember 2020.[1]

Bagi saya, keputusan Pemerintah-DPR-KPU ini mengkhianati akal sehat dan nurani. Rakyat sedang menderita oleh pandemi: sakit, meninggal, ditinggal mati keluarga dan kerabat, kehilangan pekerjaan, kehilangan daya beli. Negara harus memangkas banyak program pembangunan dan mengurangi kualitas pelayanan publik sebab anggaran difokuskan untuk penanganan pandemi. Tetapi Tito Karnavian, Arief Budiman, dan Komisi II DPR lebih peduli pada urusan demokrasi prosedural yang dalam konteks saat ini sedang tidak penting-penting amat.

Ada tiga alasan mengapa kesepakatan Pak Tito, Pak Arief, dan anggota Komisi II DPR RI harus dianulir. Ketiga alasan ini berkaitan dengan prediksi seturut angka-angka kasus dan pola penangananan pemeriintah saat ini, bahwa pada Desember 2020 nanti Indonesia masih berkutat dengan pandemi Covid 19.

Pertama.

Seperti disinggung dalam paragraf lead, momentum elektroral dalam demokrasi prosedural di Indonesia kenyataannya tidak lebih dari mekanisme daur ulang kekuasaan. Muka-muka pemain dan pemenang boleh berganti, tetapi golongan mereka dan yang mereka representasikan itu-itu juga.

Demokrasi Indonesia bukanlah ruang pluralis yang welcome semua grup sosial dan haluan filsafat politik-ekonomi. Demokrasi prosedural di Indonesia intoleran terhadap kekuatan politik rakyat. Partisipasi sejati rakyat untuk berkontenstasi dibunuh sebelum mekar; baik oleh represi maupun oleh syarat administratif ketat yang memunculkan politik berbiaya tinggi. Rakyat hanya dilibatkan secara pasif untuk memilih. Seaktif-aktifnya rakyat ya sebagai tenaga upahan dalam tim pemenangan.

Pilkada, pun pemilu, berperan serupa hubungan seksual panas pereda pertengkaran suami-istri. Pemilu dan pilkada jadi tidak lebih dari mekanisme pereda dan penyelesaian ketegangan dalam persaingan elit berebut akses sumber daya ekonomi (rente) melalui peran dominan dalam medan kekuasaan.

Untuk hajatan demokrasi yang ujung-ujungnya kocok ulang aktor utama di antara para elit, daur ulang kekuasaan grup sosial yang sama, rasanya terlalu mahal jika harus dibayar dengan peningkatan jumlah kasus Covid-19.

Pilkada sudah pasti kerumunan; pilkada sudah pasti meningkatnya intensitas pertemuan-pertemuan; dan sudah pasti berarti peningkatan risiko penularan virus Corona. Nyawa rakyat taruhannya.

Kedua.

Indonesia sedang butuh banyak anggaran pembiayaan program-program preventif dan kuratif pandemi Covid-19; sedang butuh banyak dana untuk perlindungan sosial ratusan juta rakyat yang jatuh miskin atau bertambah melarat; sedang butuh banyak dana untuk membangkitkan perekonomian yang sekarat.

Baca pula: “New Normal Jokowi vs Amien Rais

Di tengah kondisi seperti ini, bukankah pengeluaran-pengeluaran yang tidak mendesak sebaiknya ditangguhkan?

Apalagi, sudah terang ada gelagat permintaan penambahan dana penyelenggaraan Pilkada serentak Desember 2020. Alasannya, menyesuaikan dengan protokol cegah penularan virus corona.

Menurut Ketua KPU Arief Budiman, lembaganya butuh tambahan Rp 535 miliar untuk pengadaan masker, sabun cuci tangan, dan penyanitasi tangan bagi pemilih dan penyelenggara ad hoc saat Pilkada serentak Desember 2020 nanti.[2]

Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia menjanjikan akan memfasilitasi pembicaraan antara pemerintah dan KPU soal penambahan ratusan miliar bagi proyek politik  tersebut.

Sementara Mendagri Tito Karnavian berkomentar, “Saya sudah bertemu Ibu Menkeu langsung agar pemotongan untuk KPU dan Bawaslu, mohon untuk direvisi kembali, karena itu sangat diperlukan KPU, Bawaslu dalam Pilkada 9 Desember, bahkan kami sudah menulis surat resmi, termasuk tambahan untuk DKPP”[3]

Ngeri! Banyak program mendesak dan lebih bermanfaat bagi rakyat ditangguhkan, eh pilkada yang hasilnya akan begitu-begitu saja mau diutamakan.

Ketiga.

Saat ini banyak pos anggaran di APBN dan APBD sudah dipangkas untuk dialokasikan (refocusing) ke tiga blok anggaran penanganan pandemi (Alat, fasilitas, dan layanan kesehatan; jaring penganan sosial; dan insentif usaha).

Saya kira 1-2 tahun ke depan pun APBN-APBD masih akan difokuskan untuk pembiayaan program-program yang berkaitan dengan pencegahan dan penyembuhan Covid-19 serta pemulihan ekonomi. Karena itu tidak akan tersedia cukup anggaran bagi program-program pembangunan baru sebagai realisasi janji-janji kampanye dalam pilkada Desember 2020.

Di luar urusan terkait Covid-19 program-program yang akan berjalan ke depan adalah pelayanan publik yang normatif, dan sejumlah program strategis yang berkelanjutan dari pemerintah sebelumnya.

Kalau seperti itu, apa pentingnya memilih orang baru? Bukankah memilih orang baru sejatinya—dan harusnya memang—memilih haluan baru, platform baru, pendekatan-pendekatan baru?

Nah, oleh tiga hal ini, sebaiknya rakyat bersatu menyadarkan dan memaksa pemerintah dan DPR untuk membatalkan penyia-nyiaan anggaran untuk pilkada serentak Desember 2020. ***



You cannot copy content of this page.

If you need copy of the content, please contact me at gegehormat@gmail.com.