New Normal Jokowi Vs Amien Rais

Pak Amien itu seperti jam weker. Siapa yang suka bunyi weker? Barang itu mengganggu ketenangan tidur. Tetapi kita membutuhkannya agar bisa terjaga di saat tepat, agar terbebaskan dari kenyamanan lelap yang melenakan.

Seperti hubungan kita dengan weker, begitu pula sebaiknya kita dudukkan Pak Amien secara proporsional.

Weker berdering keras mengingatkan kita. Tetapi kita punya otonomi meresponnya. Kita bebas memilih apakah segera bangun menuju kamar mandi dan menjalani pagi dalam keterjagaan, atau menekan tombol mute atau tunda alarm kemudian tidur lagi.

Maka marilah menilai dengan hati dingin alarm yang dibunyikan Pak Amien dalam dering sumbang memekakkan ini.

Pak Amien Rais menolak keras penggunaan istilah new normal yang diserukan Presiden Joko Widodo. Kata Pak Amien, istilah new normal salah kaprah, membahayakan, mengilusi, dan menipu kita. Ia serukan masyarakat berhenti ikut-ikutan memakai istilah tersebut.

New Normal dan Hidup yang Dinamis

Hidup itu -dalam konteks individual pun segala bentuk sistem sosial- dinamis, selalu bergerak.

Jangan membayangkannya sebagai gerak mekanis yang ajek seperti pada pendulum Newton. Dalam pendulum Newton, kondisi normal adalah gerak konstan. 

Sebaliknya, dinamika kehidupan individual pun sosial lazim tak punya ritme. Ada masa panjang kita diam dalam kondisi normal. Titik equilibrium, zona nyaman, macam-macam istilahnya. Ada pula masa krisis yang tak terperkirakan.

Zona nyaman tidak berarti tanpa gerak. Keseimbangan bukan terjadi karena tiap-tiap unsur diam. Sebaliknya keseimbangan justru dihasilkan oleh gerak tiap unsur yang berdampak saling membatasi, saling mengunci. Inilah yang menciptakan kecenderungan insersia, lembam. Lembam adalah kondisi diam yang menyembunyikan gerak dalam dirinya.

Dalam ekonomi konvensional tentang harga, keseimbangan dihasilkan oleh pertentangan gerak permintaan dan penawaran yang saling mengunci, saling membatasi. 

Harga akan bergerak naik oleh meningkatnya permintaan. Kenaikan harga mendorong penawaran ikut naik. Naiknya penawaran mengerem kenaikan harga, bahkan mengembalikannya ke kondisi mula-mula.

Dalam dinamika Newtonian, sebuah sistem benda berada dalam keseimbangan: diam atau bergerak dalam kecepatan konstan justru karena gaya-gaya bertentangan bekerja pada benda itu dengan sama besarnya, menghasilkan resultan nol.

Keseimbangan bisa sejenak kacau oleh kehadiran unsur luar. Ikatan atom air akan merenggang ketika dipanasi. Zat padat mengalami deformasi oleh perubahan tegangan akibat tambahan gaya dari luar yang diberikan kepadanya.

Tetapi camkan, bukan gaya dari luar itu penyebab asali perubahan sistem. Adalah unsur-unsur dalam sistem itu sendiri yang menyesuaikan diri merespon perubahan kondisi lingkungan.

Artinya perubahan adalah sifat inheren setiap eksistensi. Perubahan adalah wujud dari kelentingan, dari kemampuan adaptatif setiap eksistensi terhadap gangguan dari luar yang disruptif. Adaptasi diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan sering dengan berpindah pada keseimbangan baru.

Kehidupan sosial itu tiada bedanya dengan sistem kebendaan, sejatinya elastis, sejatinya adaptatif.

Adaptasi adalah senjata utama setiap sistem kehidupan dan sistem kebendaan untuk mempertahankan keberadaan di tengah banyaknya intervensi disruptif lingkungan. Tanpa kemampuan adatatif, ia punah.

Penyesuaian diri umumnya berlaku sejenak saat krisis terjadi. Setelahnya ada pemulihan, kembali ke kondisi mula-mula. Tetapi sering kali tekanan gangguan itu kelewat besar sehingga gerak pemulihan tidak bisa mengembalikan kondisi ke sedia kala.

Perhatikan karet celana kita. Ia merenggang adaptatif seturut ukuran pinggul tetapi kembali ke kondisi normal saat tersusun manis dalam almari. Seiring waktu, karet itu molor juga. 

Ia telah berada dalam kondisi normal baru. Ini adalah cara karet celana mempertahankan keberadaan. Tanpa elastisitas, tanpa kemampuan adaptasi, ia cepat-cepat putus, yang berarti punah; eksistensinya hilang, berubah menjadi sampah.

New Normal dan Pandemi Covid-19

Pandemi Covid-19 adalah unsur asing yang mengoyak kehidupan normal kita. Kehadirannya menimbulkan kondisi krisis, seperti pinggul kita mengusik kenyamanan karet celana dalam almari.

Kita merespon kondisi krisis itu dengan pembatasan sosial. Sekolah-sekolah dan kantor-kantor diliburkan; kumpulan-kumpulan orang dilarang.

Tetapi orang-orang butuh makan, butuh memenuhi kebutuhan lain yang juga berkontribusi terhadap keberlangsungan hidup. Kebutuhan ini adalah gaya yang berusaha menarik kita kembali ke kehidupan normal: sekolah dan kantor-kantor kembali buka; aktivitas ekonomi hidup lagi. Kebutuhan ini seperti cengkraman karet tali celana pada pinggul.

Tetapi karena krisis itu belum berlalu, kita tidak bisa kembali ke normal yang lama. Diperlukan sejumlah penyesuaian. Aktivitas-aktivitas kembali berjalan tetapi dengan penyesuaian seperti protokol jaga jarak, penggunaan masker, dan praktik-praktik higienis.

“Artinya, sampai ditemukannya vaksin yang efektif, kita harus hidup berdamai dengan Covid-19 untuk beberapa waktu ke depan,” kata Presiden Jokowi [1]

Inilah kondisi new normal itu.

Pak Amien pada dasarnya memahami maksud sejati new normal versi Presiden Joko Widodo. Kritiknya bukan pada praktik new normal. Ia cuma membonceng frasa itu bagi pesan yang lain: soal utang dan kebijakan-kebijakan ekonomi, soal kesejahteraan rakyat.

Artinya, Pak Amien hanya meminjam hangat percakapan tentang new normal, menjadikannya panggung untuk membicarakan hal yang lain yang tentu saja tidak kalah pentingnya.

“Tetapi kalau kemudian pengangguran meluas itu new normal, kerusuhan desa dan kota karena perut lapar new normal, nambah utang terus new normal, semakin hancur negara kita ekonominya new normal, itu yang saya kira sudah kebablasan,” kata Amien Rais.[2]

Kita butuh orang-orang yang selalu mengajak kita waspada terhadap kondisi pengangguran, kelaparan, utang luar negeri, dan lain-lain, dan sebagainya. Kita butuh weker itu.

Jadi, tidak perlu membenci Amien Rais karena ia menentang penggunaan frasa new normal dan kita mengira ia ingin kita tetap hidup mengisolasi diri di rumah masing-masing. Seperti perlakuan kita terhadap weker, kita boleh mensenyapkan seruan Pak Amien. Bukan membantingnya hingga berkeping.

Berbeda dengan Pak Amien Rais, saya justru mempertanyakan ketepatan waktu dan kesiapan pemerintah dalam menghadapi new normal.

Karet celana akan kembali ke bentuk semula saat sudah ditanggalkan dari pinggul kita. Hanya saat distorsi oleh gaya dari luar berkurang, sebuah sistem bisa memulihkan diri.

Pertanyaannya, apakah tepat new normal kita tempuh saat grafik penularan virus corona masih menanjak, bahkan dengan gradien kurva yang menajam? Bukankah ini bertentangan dengan hukum adaptasi?

Kedua, tepatkah pembatasan sosial direlaksasi ketika pemerintah justru tidak sanggup menyediakan rapid tes gratis kepada rakyatnya?



You cannot copy content of this page.

If you need copy of the content, please contact me at gegehormat@gmail.com.