Tolak Komodifikasi Vaksin Covid-19, Jadikan Posyandu Sebagai POD

Sudah sejak sebulan lalu, PT Kimia Farma, salah satu BUMN di bawah PT Bio Farma (Holding BUMN Farmasi) menyatakan antusias menjadi distributor vaksin Covid-19 yang diproduksi PT Bio Farma. Pernyataan pihak Kimia Farma bahkan mengesankan akan ada monopoli pemasaran vaksin oleh dua BUMN anak usaha PT Bio Farma: Kimia Farma (KAEF) dan Indofarma (INAF).

“Selama ini vaksin Bio Farma distribusinya melalui INAF dan KAEF,” kata Direktur Utama Indofarma Arief Pramuhanto.[1]

Mengikuti jejak Kimia Farma, PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) juga menyatakan kesiapan menjadi distributor vaksin Covid-19. PPI adalah BUMN yang bergerak di bidang perdagangan umum nasional dan internasional.

Rupanya orang-orang berduit sudah lama pasang kuda-kuda menyambut peluang untung besar dari pendistribusian vaksin Covid-19. Saham Indofarma (INAF) yang pada 20 Juli seharga Rp 1.200, melonjak naik 2 kali lipat, menjadi 2.600 pada 24 Juli, dan 3 kali lipat, menjadi Rp 3.300, pada 19 Agustus.

Demikian pula Kimia Farma. Pada 17 Juli, saham berkode emiten KAEF ini masih seharga Rp 1.280. Pada 19 Agustus harganya telah mencapai Rp 3.310.

Gara-gara aksi orang-orang berduit memborong saham KAEF, PT Bursa Efek Indonesia sempat melakukan suspend perdagangan saham KAEF dan INAF pada 7 Agustus 2020.[2]

Menurut Head of Equity Trading MNC Sekuritas Medan Frankie Wijoyo Prasetio, lonjakan harga saham INAF dan KAEF menunjukkan respon antusias investor terhadap rencana distribusi vaksin Covid-19 oleh dua pedagang obat plat merah itu.

“Karena ini adalah pandemi global maka dengan menjadi distributor resmi vaksin Covid-19 akan berdampak positif terhadap laba perusahaan.”[3]

Itu penjelasan yang masuk akal. Hanya sehari setelah bakal vaksin Covid-19 dari Sinovac tiba (19 Juli), harga saham INAF dan KAEF lansung melonjak tajam.

Pergerakan harga saham Indofarma. Melonjak pada pekan terakhir Juli.

Lonjakan harga saham Kimia Farma setelah kiriman bahan vaksin dari Sinovac tiba.

Miris. Saat mayoritas rakyat berjibaku menahan kejatuhan tingkat kesejahteraan, mengais peluang pekerjaan apapun demi mempertahankan asap dapur, menghadapi risiko kematian tertular Covid-19 demi tetap bisa menafkahi keluarga; segelintir orang-orang beruntung justru memikirkan peluang untung besar-besaran.

Meskipun berstatus BUMN, Kimia Farma dan Indofarma adalah perusahaan yang listing di bursa efek. Sekitar 10 % saham Kimia Farma dikuasai masyarakat. Di Indofarma, penguasaan pemerintah (Bio Farma selaku Holding BUMN Farmasi) hanya 80,69 persen. Sisanya dikuasai PT Asabri (Persero) – Dapen TNI (13,91%) dan masyarakat (5,40%).

Itu berarti, andai vaksi Covid-19 didistribusikan lewat mekanisme perdagangan melalui jaringan apotek Kimia Farma dan jaringan distribusi Indofarma, keuntungan besar-besaran yang dihasilkan dua perusahaan ini sebagian akan mengalir ke kantong investor publik dan sebagai bonus kepada jajaran direktur dan komisarisnya.

Ironis. Komisaris dan direktur menikmati bonus dari kinerja palsu, kinerja yang hanya bisa terjadi karena monopoli yang disediakan pemerintah.

Mengapa Vaksin Covid-19 Jangan Dijadikan Komoditas

Hemat saya, penolakan komodifikasi vaksin Covid-19 bukan sebatas karena ketidaksukaan terhadap aji mumpung komisaris dan direktur serta orang-orang kaya pemegang saham perusahaan pedagang obat yang menempatkan bencana kesehatan sebagai durian runtuh. Alasan pokok penolakan komodifikasi vaksin Covid-19 adalah agar seluruh rakyat dapat mengaksesnya. Harga selalu merupakan barrier bagi sebagian orang untuk mengakses.

Sebenarnya bisa saja hanya sebagian rakyat yang mendapat vaksin. Jika penerima vaksin mencapai proporsi tertentu dari keseluruhan masyarakat, akan tercipta efek herd-protective tidak langsung sebab terjadi penurunan transmisi antar individu dan dengan demikian menurunkan pula risiko penularan terhadap masyarakat yang tidak mendapat vaksinasi.[4. Lihat Angelmar, Reinhard & Morgon, Pierre. (2012). Vaccine Marketing]

Akan tetapi pendekatan penciptaan herd-protective effect hanya cocok digunakan untuk preventive vaccines, yaitu pemberian vaksin terhadap penyakit yang belum menjadi wabah.

Distribusi preventive vaccine biasa dilakukan dengan metode open and pull. Vaksin disediakan di klinik-klinik kesehatan. Masyarakat yang membutuhkan harus membayar untuk mendapatkannya.

Vaksin Covid-19 bukan preventive vaccine melainkan therapeutic vaccines. Covid-19 sudah menjadi pandemi global dan tersebar merata pada semua kategori geografis, demografis, dan grup sosial. Distribusi vaksinnya tidak bisa lagi bersifat diskriminatif entah itu berdasarkan kemampuan membayar ataukah subsidi terhadap golongan masyarakat yang mandatory karena paling berisiko.

Jika mau dipaksakan juga metode distribusi yang mandatory hanya kepada sebagaian penduduk, mekanismenya akan sangat rumit. Hemat saya, penduduk harus diundi dengan metode cluster random sampling  sekaligus stratified random sampling di setiap klaster.

Mengingat Indonesia sangat lemah dalam administrasi kependudukan, cara di atas sangat sulit berhasil. Jalan paling masuk akal adalah seluruh penduduk harus divaksinasi.

Agar semua orang mendapatkannya, vaksin Covid-19 harus ditempatkan sebagai hak sekaligus kewajiban. Maka sistem distribusi yang paling pas adalah close and push.

Dalam sistem close-push, seluruh masyarakat diwajibkan ikut vaksinasi dan pemerintah secara aktif memobilisasi masyarakat untuk menerima vaksin di Points of dispensing (POD) yang ditempatkan di unit-unit komunitas sekecil mungkin.

Dalam sistem close-push yang menyeluruh — menjangkau seluruh lapisan masyarakat –, POD bukanlah klinik-klinik yang melayani siapapun yang datang. POD adalah pos-pos yang ditempatkan di komunitas-komunitas masyarakat, seperti di setiap Rukun Tetangga (di Kota) atau dusun (di pedesaan) dan tiap-tiap POD hanya melayani masyarakat di RT/dusunnya.

Gunakan Sistem Distribusi Murni, Posyandu sebagai POD

Indonesia sebenarnya memiliki struktur yang mumpuni — jika diberdayakan dan dikembangkan kapasitasnya — untuk menerapkan distribusi close and push vaksin Covid-19. Struktur tersebut adalah Pos Pelayanan Kesehatan Terpadu, Posyandu.

Posyandu adalah tentakel sistem layanan kesehatan dasar yang sudah kita miliki semenjak zaman Orde Baru dan masih berfungsi hingga kini. Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia 2018 [5], terdapat 173.750 Posyandu aktif dari total 283.370 Posyandu di seluruh Indonesia. Jika dibandingkan jumlah 83.931 wilayah administrasi setingkat desa, rata-rata terdapat 2,07 Posyandu aktif per desa. Jika seluruh Posyandu dapat diaktifkan kembali, rata-rata akan ada 3,38 unit Posyandu per desa/kelurahan.

Sumber Data: Pusat Data dan Informasi Kemenkes Ri, 2019

Selain Posyandu, pemerintah juga dapat menugaskan klinik pratama swasta untuk berperan sebagai POD. Pada 2019 terdapat 7.917 klinik pratama di Indonesia. Mengingat pandemi Covid-19 menyebabkan kondisi darurat Kesehatan masyarakat, pemerintah dapat menerbitkan peraturan yang mewajibkan fasilitas layanan Kesehatan swasta untuk turut terlibat melayani vaksinasi Covid1-19 tidak sebagai layanan komersil.

Demikian pula PT Kimia Farma dan Indofarma sebagai BUMN ritel farmasi dapat ditugaskan terlibat dalam distribusi dengan memanfaatkan fasilitas storage mereka, baik di gudang penyimpanan maupun kontainer pendingin ukuran besar di apotek-apotek. Saat ini Kimia Farma memiliki 1080 apotek di seluruh Indonesia.

Keterlibatan dua BUMN ini sebagai distributor tidak boleh bersifat bisnis. Pemerintah boleh saja mengganti seluruh biaya operasional berbasis real cost yang timbul dari pemanfaatan fasilitas dan sumber daya manusia Kimia Farma dan Indofarma dalam mendistribusikan vaksin Covid-19. Dengan kata lain, pergantian biaya bersifat cost recovery, bukan pembelian vaksin atau pembayaran jasa.

Di tingkat kecamatan, Puskesmas  difungsikan sebagai terminal penyimpanan dan simpul pendistribusian vaksin ke Posyandu dan klinik pratama. Saat ini terdapat 9.993 Puskesmas seluruh Indonesia, yang berarti rata-rata ada 1,4 Puskesmas di setiap kecamatan.

Sumber Data: Pusat Data dan Informasi Kemenkes Ri, 2019

Menjadikan Posyandu sebagai ujung tombak vaksinasi Covid-19 –sebagaimana selama ini beragam imunisasi untuk bayi dan balita– bukan cuma lebih menjamin pendistribusian efektif vaksin Covid-19 melainkan juga berdampak jangka panjang.

Kemudian, menghidupkan layanan kesehatan yang berorientasi partisipasi voluntary aktif masyarakat; menghidupkan kembali semangat gotong royong yang sejatinya diamanatkan proklamasi kemerdekaan sebagai ciri utama kehidupan sosial, politik, dan ekonomi bangsa Indonesia.

ilustrasi pribadi

Seharusnya karakter gotong royong dalam pembangunan inilah titik mendarat dari loncatan besar yang disampaikan Presiden Joko Widodo dalam pidato membajak krisis-nya tempo hari.***


The article was also published on Kompasiana.



You cannot copy content of this page.

If you need copy of the content, please contact me at gegehormat@gmail.com.