Rizal Ramli aka Gus Romli, Nama dan Ramalan Jayabaya

Ekonom dan politisi Rizal Ramli – cuitan di twitter.

What’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet,” tulis William Shakespeare, sebagai ungkapan Romeo kepada Juliet. Banyak yang menafsirkan, Shakespeare mengecilkan arti sebuah nama.

Hemat saya bukan demikian. Shakespere sedang bicara nama dalam konteks -memimjam Hobbes- ‘naming‘ benda yang disebut mawar (sebagai benda yang dinamai demikian), bukan signifying gagasan tentang mawar (sebagai the thing signified).

Jika saya tak salah memahami, Thomas Hobbes dalam sejumlah bukunya, terutama Elements of Law dan Leviathan, menyatakan nama memiliki dua lapis fungsi, sebagai mark dan sebagai sign.

Ketika mawar cuma nama yang jadi mark bagi kuntum bunga yang bernama demikian, fisik bunga mawar dengan sejumlah kualitas yang diwakilinya terpisah. Menggantinya dengan nama lain tidak akan mengubah hakikat mawar.

Tidak demikian jika nama mawar adalah sign bagi gagasan tentang mawar. Menggantinya, misalnya dengan melati, akan meruntuhkan gagasan mawar.

Dalam sejumlah masyarakat, misalnya Romawi kuno dan kemudian diadopsi Eropa, mawar merah adalah sign bagi gagasan tentang cinta dan passion; mawar putih simbol cinta abadi dan ketulusan.

Sebagai mark, nama hanya mengacu pada eksitensi telanjang subjek yang diacu.

Rizal Ramli adalah mark bagi diri Rizal secara fisik dan sejumlah predikat yang melekat pada dirinya. Predikat-predikat itu misalnya ekonom, politisi, mantan menteri pemerintahan Gus Dur dan Jokowi, juga komisaris sejumlah perusahaan.

Sebagai politisi yang sudah lama bercita-cita menjadi Presiden Republik Indonesia, kita boleh menduga Rizal Ramli mau namanya bukan sekadar mark. Ia berharap kata atau bunyi Rizal Ramli berlaku sebagai sign.

Rizal ingin penyebutan namanya menjadi signification gagasan tentang tokoh alternatif yang patut jadi Presiden Indonesia berikutnya, tokoh yang paham problem fundamental ekonomi Indonesia, mengetahui persis jalan keluarnya, serta punya kapasitas dan kredibilitas untuk memimpin bangsa keluar dari problem-problem kronis.

Sebenarnya label Rizal Ramli sudah punya modal dasar untuk menjadi sign dari gagasan tersebut. Rizal sudah aktivis semenjak masih mahasiswa ITB, menjadi ekonom kritis setelah banting setir kuliah ekonomi, menjadi orang kepercayaan Gus Dur, dan hingga kini konsisten kritis terhadap setiap pemerintahan, semenjak Soeharto hingga Joko Widodo.

Kemandirian nasional adalah benang merah tebal yang bisa ditarik siapapun yang menilai objektif pemikiran dan sepak terjang Rizal Ramli.

Akan tetapi rupanya bunyi Rizal Ramli tidak bisa serta merta jadi sign kepemimpinan alternatif. Ia butuh tambah daya. Karenanya, para pendukung Rizal di Tebu Ireng merasa perlu menggelarinya Gus Romli.

Gus merupakan julukan untuk kyai muda atau sapaan kehormatan yang akrab di kalangan masyarakat Nahdatul Ulama.[1] Dengan menggelarkan sapaan Gus, penggemar Rizal Ramli di Pesantren Tebu Ireng ingin mendekatkan tokohnya dengan masyarakat NU.

Romli merupakan pergeseran bunyi Ramli. Seperti yang Rizal cuitkan, pembunyian Ramli sebagai Romli berlatar belakang keyakinan ratu adil atau satrio piningit yang hidup di tengah-tengah masyarakat Jawa.

Masih cukup besar orang Jawa yang percaya dan menantikan pemenuhan ramalan, disebut Jangka Jayabaya, tentang era kemakmuran dan keadilan bangsa Nusantara di bawah pemerintahan serangkaian raja-raja yang namanya memiliki kandungan bunyi No-To-Ne-Go-Ro.

Jayabaya adalah raja Kediri (1116 M) yang terkenal adil dan sanggup membawa kemakmuran dan kedamaian bagi rakyatnya. Oleh kearifan Jayabaya memimpin, Mpu Sedah dan Mpu Panuluh -dalam kakawin Bharatayudha- menjulukinya titisan Wisnu.

Sebenarnya bukan Jayabaya yang menulis Jangka Jayabaya. Para sejarahwan -misalnya Gusti Sasmita, Hermanu Soebagio, dan Sariyatun (2018)- menyimpulkan, Jangka Jayabaya adalah produk sastra abad 18 (1700an), lahir sebagai respon para pujangga terhadap kondisi ketertindasan rakyat oleh feodalisme dan kolonialisme mula-mula.

Aslinya Jangka Jayabaya ditulis Pangeran Wijil I, bangsawan dan pujangga istana pada 1749 M. Wijil menyusun Jangka Jayabaya dengan memadukan sumber yang diperoleh dari kakawin Bratayudha karya Mpu Sedah dan Panuluh (tentang masa pemerintahan Jayabaya) dan Kitab Asrar (Musarar) gubahan Sunan Giri Perapan (Sunan Giri ke-3) pada 1618 M.

Musasar Sunan Giri ke-3 berisi wasiat Sultan Agung berupa harapan dan ramalannya tentang masa depan Jawa di masa pemerintahan raja-raja jauh kemudian hari setelah masanya.

Didorong oleh semangat zaman -ketertindasan oleh feodalisme raja-raja dan kolonialisme Belanda- Jangka Jayabaya kemudian beranak pinak menjadi bermacam-macam versi karya tertulis dan sastra lisan, hidup dan berkembang di tengah-tengah rakyat. Salah satu yang paling populer adalah versi ramalan Satria Piningit Notonegoro.

Penjulukan Rizal Ramli sebagai Gus Romli hendak memberi legitimasi kultural –keyakinan dan harapan ratu adil Notonegoro yang hidup di tengah masyarakat Jawa– terhadap gagasan bahwa Rizal Ramli adalah pemimpin masa depan yang sanggup memenuhi harapan rakyat, membawa kesejahteraan dan keadilan ke tengah-tengah masyarakat.

Apakah Rizal Ramli dan Pendukungnya salah jika memanfaatkan impian ratu adil masyarakat Jawa?

Saya tidak akan menjawab ya atau tidak. Tetapi saya mengajak kita berkaca pada pandangan Sukarno tentang impian ratu adil dalam Jangka Jayabaya.

Dalam Indonesia Menggugat, pledoi di depan persidangan dirinya (1930), Sukarno berkata,

“Haraplah pikirkan, Tuan-tuan hakim, apakah sebabnya rakyat senantiasa percaya dan menunggu-nunggu datangnya ‘Ratu Adil’, apakah sebabnya sabda Prabu Jayabaya sampai hari ini hari masih terus menyalakan harapan rakyat… Tak lain tak bukan ialah oleh karena hati rakyat yang menangis itu, tak berhenti-hentinya, tak habis-habisnya menungu-nunggu atau mengharap-harapkan datangnya pertolongan ….”

Bagi Sukarno, keyakinan masyarakat terhadap Jangka Jayabaya adalah cerminan kerinduan akan pembebasan dari ketertindasan, kemiskinan, dan kesengsaraan. Selama rakyat belum sejahtera, selama itu pula harapan — yang bertranformasi menjadi keyakinan akan ramalan — pembebasan selalu hidup.

Lalu apa yang Sukarno lakukan? Apakah ia mengeksploitasi kepercayaan kultural rakyat dengan mengklaim diri sebagai ratu adil atau satria piningit?

Tidak!

Sukarno menjelaskan posisi dirinya sebagai,

“pergerakan rakyat adalah bikinan kesengsaraan rakyat, pengaruh kami di atas rakyat adalah pula bikinan kesengsaraan rakyat! Kami hanyalah menunjukkan jalan; kami hanyalah mencarikan bagian-bagian yang rata dan datar untuk aliran-aliran yang makin lama makin membanjir itu … agar supaya banjir itu bisa dengan  sesempurna-sempurnanya mencapai Lautan Keselamatan dan Lautan Kebesaran adanya.”

Jalan apa yang Sukarno tunjukkan kepada rakyat?

Sukarno menunjukkan, jalan menuju kemerdekaan hanya bisa melalui “pembentukan tenaga  yang halal, dengan suatu modern georganiseerde machhtsvorming.”  

Maksudnya, rakyat diajak menghimpun diri dalam organisasi politik (saat itu PNI), lalu bersama-sama aktif berjuang mendorong berdirinya serikat-serikat perjuangan, menerbitkan bahan-bahan bacaan yang membangun kesadaran merdeka. Aksi-aksi kolektif massa rakyat itu akan bermuara kepada kian banyak rakyat sadar dan secara aktif memperjuangkan kemerdekaan.

Jadi, Sukarno tidak mengajak rakyat memilih dirinya sebagai ratu adil atau satria piningit. Sukarno mengajak rakyat untuk bersama-sama berhimpun dan berjuang merebut kekuasaan politik dari tangan pemerintahan kolonialis Belanda.

Pertanyaannya, apakah Rizal Ramli juga hendak mengajak rakyat aktif berhimpun dalam organisasi politik sebagai kumpulan rakyat yang sadar ataukah ia sekadar menanti tawaran pencalonan dari parpol dan minta rakyat mencoblos dirinya kelak?***


The article was also published on Kompasiana.



You cannot copy content of this page.

If you need copy of the content, please contact me at gegehormat@gmail.com.