Persiapkan Sistem Distribusi Vaksin agar Tidak Dibajak Pemburu Rente

Di negeri ini, apapun, bahkan bencana dan penderitaan rakyat, bisa dijadikan komoditi. Kekuasaan selalu dikelilingi pemburu rente. Seringkali mereka seperti hantu, tanpa terdeteksi memanfaatkan celah dalam sistem dan regulasi untuk memperkaya diri.

Jika tata niaga BBM dan pangan pokok saja sarat mafia, apalagi kelak vaksin Covid-19. Setiap individu warga negara butuh vaksin Covid-19 secara mendesak sementara pada masa-masa awal ketersediaan vaksin masih terbatas. Dibutuhan bertahun-tahun agar setiap penduduk Indonesia mendapatkannya.

Kondisi ini merupakan insentif besar bagi perilaku nakal pemburu rente untuk memperdagangkan vaksin (menggelapkannya dari persediaan pemerintah) dan menjualnya di pasar gelap dengan harga mahal.

Agar jangan sampai itu terjadi, ada dua hal yang harus diperhatikan. Yang pertama, vaksin Covid-19 harus diposisikan sebagai hak dan kewajiban warga Negara, bukan komoditi. Karena itu pendistribusian vaksin tidak boleh melalui mekanisme pasar.

Kedua, sebagai konsekuensinya, pemerintah hendaknya sudah sejak sekarang merancang sistem distribusi yang komprehensif, mumpuni, dan menjawab kondisi lapangan yang beragam. Jangan lagi terulang kejadian yang sudah-sudah, banyak langkah terlambat, salah, dan tidak konsisten.

Belajar dari Negara Lain

Saat ini percakapan publik terfokus pada produksi vaksin. Padahal jika menguti perkembangan pengembangan vaksin dan kontrak-kontrak bisnis antar-negara, tantangan terbesar bukan lagi pada ketersediaan vaksi bagi dunia melainkan mendistribusikannya kepada segenap rakyat.

Terkait itu, saya kira penting untuk melirik persiapan distribusi vaksin Covid-19 di negara lain.

Saya tidak akan menjadikan negara-negara sosialis sebagai contoh sekalipun best practice paling banyak ditunjukkan negara-negara tersebut. Saya khawatir, menggunakan negara-negara itu sebagai contoh hanya akan melahirkan resistensi para pembaca yang cara berpikirnya serupa Gatot Nurmantyo dan para tokoh KAMI.

Menyimak pemberitaan media, Gatot sangat alergi terhadap segala yang berbau sistem sosialis sekalipun untuk aspek-aspek yang terbukti lebih unggul dibandingkan pendekatan negara-negara bersistem pasar bebas.

Yah, mau bagaimana lagi. Sudah demikian realita cara berpikir gaya ‘pokoknya’ di Republik +62. Segala sesuatu dinilai seturut label, kemasan, bukan hakikat atau isi dalamnya.

Karena itu saya hadirkan contoh model pendistribusian vaksin yang tampaknya akan ditempuh Amerika Serikat.

Saya membaca dokumen momerandum National Governors Association (NGA) yang ditujukan kepada gubernur se-Amerika Serikat. Momerandum bertanggal 3 Agustus 2020 itu berperihal “Preparing for the COVID-19 Vaccine and Considerations for Mass Distribution.”

NGA serupa Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI). Bedanya, NGA merupakan organisasi yang lebih berdaya guna dan produktif sebagai corong aspirasi 55 kepala Negara bagian, teritori, dan persemakmuran di AS, bukan sekadar forum gala dinner temu kangen gubernur-gubernur.

Momerantum dibuka dengan penjelasan latar belakang, yaitu tantangan pengembangan dan pendistribusian vaksin yang layak bagi rakyat Amerika Serikat. Asosiasi Gubernur AS menyadari, bukan saja pengembangan vaksin, pendistribusiannya pun merupakan tantangan yang belum pernah mereka hadapi sebelumnya. Memastikan distribusi vaksin sampai ke tiap individu rakyat AS bukan perkara mudah.

Pada 15 Mei, pemerintahan Donald Trump mengumumkan Operation Warp Speed (OWS) yang bertujuan memberikan 300 juta dosis vaksin Covid-19 yang aman dan efektif kepada rakyatnya mulai Januari 2021.

Melalui OWS, pemerintah pusat AS kemungkinan besar akan membeli semua vaksin yang diproduksi perusahaan farmasi negaranya dan perusahaan luar negeri yang telah terikat kontrak lalu mendistribusikannya ke pemerintah Negara bagian.

Jadi, bahkan Amerika Serikat sebagai negara ekonomi pasar kapitalis pun akan bertanggungjawab untuk memastikan vaksin terdistribusi kepada setiap penduduk negara tersebut, bukan dengan menyerahkannya kepada mekanisme pasar.

Diatur dalam OWS, tiga lembaga Negara/pemerintahan yang terlibat sebagai agen kunci pendistribusian vaksin adalah Kementerian Kesehatan (HHS) sebagai coordinator; Kementerian Pertahanan (DOD) sebagai pendukung pendistribusian; dan Badan Logistik Pertahanan (DLA) yang berperan melakukan kontrak, menyediakan logistik, dan dukungan administratif.

Di muara distribusi, ada layanan kesehatan milik pemerintah dan swasta yang bertindak sebagai Points of dispensing (POD).

POD adalah layanan pemberian vaksin — dan obat-obatan lain untuk pencegahan wabah– di tingkat komunitas. Agency POD di Amerika Serikat bisa berupa layanan public, bisa pula klinik-klinik swasta, termasuk klinik sekolah-sekolah.

Arahan National Governors Association untuk para gubernur di AS

Untuk memastikan sistem distribusi vaksin Covid-19 efektif menjangkau rakyat, ANG menyerukan para gubenur jauh-jauh hari mengambil sejumlah langkah persiapan. Baik dan berguna pula jika pembesar negeri ini turut mempertimbangkan seruan itu.

Dalam konteks Indonesia, pembelajaran dari momerandum ANG ini bukan cuma untuk para kepala daerah, melainkan untuk pemerintah pusat hingga daerah.

Langkah pertama adalah mengumpulkan para mitra — dinas-dinas, lembaga masyarakat, dan sektor swasta—untuk melakukan perencanaan merancang strategi awal distribusi, meninjau sejumlah skenario yang mungkin, mendesain sistem operasi, dan mengembangkan inovasi solusi-solusi pendistribusian.

Dalam konteks Indonesia, pemerintah pusat hendaknya sudah mulai mempersiapkan desain strategi distribusi dengan melibatkan seluas-luasnya pihak. Bukan cuma instansi pemerintah pusat dan daerah, para pakar (akademisi dan atau praktisi) terkait program vaksinasi, logistik, dan kebudayaan juga wajib dilibatkan.

Demikian pula tokoh-tokoh agama, budaya, dan organisasi kemasyarakatan. Jangan lagi ada kesan, pemerintah menutup diri dari masukan pihak luar.

Pelibatan seluas mungkin para pihak dalam merancang sistem distribusi akan menyediakan seluas-luasnya informasi tentang kondisi lapangan serta mengumpulkan sebanyak mungkin praktik-praktik baik sistem logistik yang memperkaya rancangan.

Kedua, mengadvokasi petunjuk teknis  yang komprehensif dari pemerintah pusat.

Sebagaimana di Indonesia, di Amerika Serikat pun petunjuk teknis dari pemerintah pusat sering terlambat, tidak komprehensif dan bahkan berpotensi menimbulkan masalah baru.

Rancangan sistem yang baik harus jelas dan lengkap tergambarkan dalam petunjuk teknis pelaksanaannya kelak. Jika sistem dikembangkan melalui serangkaian simulasi ujicoba lapangan di situs yang berbeda-beda, maka petunjuk teknis yang dihasilkan diharapkan mencakup pula solusi-solusi atas problem praktis yang mungkin timbul di lapangan di kemudan hari.

Ketiga, mempersiapkan kapasitas sumber daya manusia.

Distribusi vaksin di ranah hilir menuntut mobilisasi sumber daya manusia besar-besaran. Ada juru vaksin, ada petugas pendata, ada pengawal logistik, dan individu-individu dalam rantai komando. Bahkan dibutuhkan pula petugas yang akan door to door memobilisasi warga saat hari H pelaksanaan vaksinasi.

Untuk memenuhi kebutuhan sumber daya manusia sebesar ini, pendataan kesiapan tenaga harus disiapkan sejak sekarang. Jika terdapat defisit sumber daya, perekrutan dan pelatihan dapat segera dilakukan.

Keempat, menilai kesiapan logistik.

Kesiapan logistik pendistribusian adalah factor kunci vaksinasi seluruh rakyat. Banyak jenis logistic yang dibutuhkan, mulai dari fasilitas points of dispensing (POD) — seperti pos-pos pelayanan sementara, posyandu, klinik-klinik di tingkat komunitas—; gudang induk dan gudang terminal penyimpanan vaksin yang proper; berbagai moda transportasi pengangkutan vaksin; hingga container penyimpanan dan pengakuntannya.

Kebutuhan-kebutuhan seperti ini harus sudah mulai dipetakan dan dihitung kebutuhan anggarannya.

Ini bukan pekerjaan mudah. Vaksin adalah barang mudah rusak. Bisa saja karakter vaksin Covid-19 akan mudah rusak jika lebih dari sekian jam tidak berada dalam suhu tertentu sehingga durasi pengangutan dari gudang penyimpanan ke pos vaksinasi mempengaruhi keselamatan vaksin.

Untuk itu pemerintah perlu menghitung durasi waktu pengangkutan secara spesifik ke tiap-tiap lokasi pemberian vaksin. Perlu dipertimbangkan pula skenario mobilisasi penduduk dari daerah terpencil ke tempat keberdaan POD. Hal seperti ini jika tidak dhitiung sejak awal dan dipersiapkan anggarannya agar berdampak kegagalan.

Kelima, mempertimbangkan penyusunan prioritas penerima vaksin.

 Pada masa-masa awal, ketersediaan vaksin masih terbatas. Untuk itu dibutuhan penyusunan prioritas, kategori masyarakat mana yang terlebih dahulu mendapatkan vaksin. Apakah berdaarkan geografis saja, atau diperlukan pula pemrioritasan berdasarkan kelompok umur dan jenis pekerjaan atau perilaku berisiko.

Keenam, merancang strategi komunikasi.

Yang terakhir, tak kalah pentingnya, adalah strategi komunikasi. Harus dipastikan strategi komunikasi pemerintah menjawab pertanyaan, keraguan, dan resistensi masyarakat serta memastikan setiap rumah tangga mendapat informasi yang benar tentang tempat dan waktu pelaksanaan vaksinasi, termasuk informasi tentang saluran pengaduan jika tidak atau belum terdata sebagai calon penerima vaksin.

Waktu enam bulan tidak lama, bahkan tergolong sangat singkat untuk mempesiapkan sistem distribusi vaksin yang mumpuni. Karena itu kita berharap pemerintah segera mulai bertindak, jangan kehilangan sedetik pun.


The article was also published on Kompasiana.



You cannot copy content of this page.

If you need copy of the content, please contact me at gegehormat@gmail.com.