Agar bertambah besar penghasilannya, petani perlu didorong untuk melangkah lebih jauh dari sekadar chain actors dan chain partners. Petani perlu menjadi chain activity integrators.
Agar tidak berpanjang kata, saya akan langsung masuk ke contoh.
Contoh pertama berasal dari kasus petani vanili di Alor, Nusa Tenggara Timur.
Pada artikel bagian pertama, “4 Level Petani dalam Pengembangan Rantai Nilai [Bagian 1]” saya telah menyajikan contoh bagaimana cara meningkatkan pendapatan petani vanili di Alor hanya dengan meningkatkan kapasitas mereka sebagai chain actors, tanpa mendorong peningkatan posisi ke level selanjutnya dalam pengembangan rantai nilai.
Tetapi kita tidak berhenti sampai di situ saja, bukan? Kalau ada peluang peningkatan kesejahteraan lebih tinggi lagi dengan menaikkan level petani dalam rantai nilai, mengapa tidak dilakukan?
Sebagai chain actors, petani menjual vanili dalam bentuk whole pod basah, yaitu polong utuh tanpa curing.
Di Indonesia, harga cured vanilla pod berkisar 50-65 persen dari harga pasar dunia. Sementara harga vanili basah di tingkat petani adalah 5-14 persen dari harga cured whole pod di tingkat eksportir. Jadi saat harga vanili kering di pasar Rp 6 juta per kg, harga vanili basah di petani antara Rp 300.000 hingga Rp 850.000 per kg.
Di Alor, oleh kualitas vanilinya (kadar vanilin lebih tinggi dari vanili Madagaskar), harga vanili basah umumnya 65% harga kering jika dibeli langsung oleh perusahan eksportir (ada dua eksportir yang membeli langsung vanili ke petani di Alor), yaitu PT ASI yang berpusat di Klaten dan PT MIO di Jawa Barat. Kedua perusahaan ini memiliki etik fair trade dan karenya membeli vanili dari petani dengan harga yang pantas.
Tetapi jika petani kepepet dan terpaksa menjual ke pedagang vanili ‘hit and run‘ —yang terjun ke perdagangan vanili berdasarkan spekulasi harga, hanya berdagang saat mengetahui harga vanili naik– harga yang diperoleh rendah saja, hanya berkisar 5%. Demikian pula jika petani terpaksa menjual kepada para ijon yang membeli saat vanili belum mencapai usia panen.
Para pedagang India menawar dengan harga moderat, lebih tinggi dari harga pedagang spekulan tetapi lebih rendah dari harga yang ditawarkan PT ASI dan PT MIO.
Seorang petani vanili dengan produksi cukup besar, Bapak Asamau di Bukapating menceritakan kepada saya, ia pernah melakukan pengeringan 38 kg vanili basah dan menghasilkan 8 kg vanili kering. Jika mengacu pada informasi Pak Asamau berarti dari setiap kilogram vanili basah dapat dihasilkan 21% cured vanilla pod.
Ini berarti saat harga vanili kering Rp 6 juta per kg, harga vanili basah seharusnya Rp 1.260.000. Bahwa harga vanili basah petani dihargai Rp 800.000 per kg menunjukkan nilai tambah yang dihasilkan dari aktivitas curing sebesar Rp 460.000 per kilogram.
Nah, selama ini nilai tambah dari penanganan pascapanen vanili (curing dan grading) dinikmati eksportir atau pedagang besar yang melakukan curing.
Pendapatan petani akan meningkat Rp 460ribu per kg jika mereka mengambil alih aktivitas curing vanili. Ketika petani melakukannya, level mereka di pengembangan rantai nilai naik menjadi chain activity integrators, sebab mereka mengintegrasikan aktivitas pada mata rantai lebih hilir (handling: curing dan grading) menjadi aktivitas mereka, bukan lagi di tangan pedagang.
Integrators juga bermakna petani melakukannya sebagai kolektif, bukan aktivitas individual.
Hal ini karena aktivitas di mata rantai lebih hilir umumnya membutuhkan volume produk lebih besar (yang tidak tercukupi jika bersumber dari hasil panen seorang petani saja) agar bisa mengimbangi investasi peralatan dan sumber daya. Hal ini berkaitan dengan komposisi kombinasi sumber daya yang optimal.
Contoh sederhananya begini. Alokasi waktu seorang petani untuk curing 50 kg vanili basah menjadi vanili 10 kg vanili kering adalah 4 jam per hari selama 12 hari. Itu artinya nilai tambah sebesar Rp 4 juta harus dibagi biaya kerja 48 jam. Padahal jika waktu kerja yang diberikan petani bisa ditekan—dan ia bisa mengerjakan hal lain–, maka keuntungannya menjadi kian besar.
Cara untuk meningkatkan keuntungan dari curing adalah dengan mengorganisasikan diri, melakukannya sebagai kolektif.
Jika 10 petani bergabung, curing 500 kg vanili hanya butuh jumlah tenaga kerja (artinya jumlah orang dan jam kerja) yang sama dengan curing 50 kg, yaitu seorang petani selama 4 jam per hari selama 12 hari. Jika menggunakan sistem piket kerja, seorang petani hanya mengalokasikan 4,8 jam untuk aktivitas pascapanen. Ia dapat menggunakan waktu untuk pekerjaan lain di kebun.
Contoh lain adalah ketika petani harus membeli oven sebagai pengganti pengeringan oleh panas matahari. Jika oven hanya untuk mengeringkan hasil panen sendiri, investasi tersebut akan mahal dan oven lebih sering tidak terpakai. Dengan berhimpun dalam kelompok, pembelian oven menjadi ekonomis.
Pembangunan asosiasi petani dalam konteks ini juga berfungsi untuk meningkatkan posisi tawar di hadapan pedagang. Jika hanya 1-2 orang petani melakukan curing, sementara mayoritas petani masih menjual vanili basah, pedagang memilih membeli vanili basah sebab mereka bisa mendapatkan lebih banyak keuntungan.
Chain activity integrators untuk konteks percabangan komoditi, yaitu ketika dari satu komoditi asal, petani melakukan aktivitas handling dan processing untuk menghasilkan sejumlah komoditi turunan.
Kita akan mengambil contoh kasus petani kemiri di Alor. Meskipun bukan komoditas ekspor, kemiri adalah komoditas perkebunan strategis di Indonesia jika ditinjau dari jumlah rumah tangga petani yang mengusahakannya. Dari 40 jenis tanaman perkebunan yang disurvei BPS, kemiri berada di peringkat 10.
Ada 370.918 rumah tangga petani Indonesia yang menjadikan kemiri salah satu sumber pendapatan [Agustini and Anugrah Adi, Analisis Rumah Tangga Usaha Perkebunan Di Indonesia. 2015].
Sekitar 97 persen lahan kemiri ada di 11 Provinsi. Nusa Tenggara Timur adalah provinsi dengan luas lahan kemiri terbesar, berkontribusi 51 persen terhadap total lahan kemiri nasional. Kabupaten Alor termasuk 3 besar kabupaten penghasil kemiri di provinsi ini.
Ada satu kenyataan menarik soal kemiri Alor. Di antara para pedagang di Jawa, kemiri di Alor disebut berbuah sepanjang musim.
Yang sebenarnya bukan demikian. Pasokan kemiri dari Alor selalu ada karena orang Alor mengumpulkan kemiri hanya di saat butuh uang tunai. Kapan mereka butuh uang tunai, saat itulah mereka ke “gunung” untuk mengumpulkan kemiri.
Petani di Alor menyatakan kemiri adalah sumber penghasilan mereka. Tetapi hal ini bertolak belakang dengan kenyataan. Selain nyatanya petani hanya mengumpulkan kemiri saat butuh uang tunai—di NTT hasil hutan menjadi semacam bantal pengaman ketika musim kering, gagal panen, atau kebutuhan uang tunai mendesak—uang yang dihasilkan dari tanaman kemiri relatif kecil.
Dalam hitung-hitungan saya pada 2018—sebuah survei pasar yang tidak dipublikasi–petani hanya menghasilkan Rp 2,7 juta dari dari rata-rata per hektar lahan tanaman kemiri.
Nilai ini sangat rendah dibandingkan tanaman lain jika diproyeksikan ke dalam luas tanam 1 hektar, seperti vanili (Rp 240an juta), cengkeh (Rp 13 juta), kopi (Rp 6,7 juta), jambu mente (Rp 6,5 juta ), dan pinang (3,4 juta).
Asumsi harga (per kg) yang dipakai adalah harga dalam format (tahap olahan) yang berlaku di tingkat petani (farmer gate) di Alor.
Dengah hasil yang kecil, jangan heran jika pada 2018 luas tanam baru (angka luas tanaman yang belum berproduksi) tanaman kemiri hanya 5.41% dari luas tanam yang telah berproduksi.
Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan luas tanam baru komoditas lain, seperti mente (30,48%), kelapa, (40,33%), vanili (17,76%), kopi (25,31%), dan cengkeh (68,28%).
Dengan kata lain, kemiri di Alor—sekalipun masyarakat mengklaimnya sebagai sumber pendapatan utama—sudah masuk senja kala. Tanpa peningkatan pendapatan, tanaman ini kelak bisa saja ditebang, yang berarti kehilangan fungsi konservasi lingkungannya.
Bukan harga jual rendah yang menyebabkan kemiri tidak memberikan penghasilan yang cukup bagi petani di Alor. Harga vanili di NTT tergolong tinggi, selalu lebih tinggi dibandingkan rata-rata harga nasional.
Harga rata-rata kemiri kupas—dari data harga 10 provinsi penghasil utama kemiri—pada 2017 adalah Rp 16.941 per kg (tertinggi di Sumut, Rp 22.254; dan terendah di Sulut, Rp 12,730). Sementara harga di NTT Rp 17.696 per kg (Diolah dari data Subdirektorat Statistik Harga Pedesaan, 2017).
Yang jadi sebab rendahnya pendapatan petani Alor dari menjual kemiri adalah mayoritas petani menjual kemiri dalam bentuk masih disertai cangkang (kemiri batu/gelondongan), yang harganya 5,000 per kg.
Andai petani menjual dalam bentuk kemiri kupas, mereka akan memperoleh harga Rp 30.000 per kg untuk kemiri kupas utuh dan Rp 15.000 per kg untuk kemiri kupas pecah.
Petani memilih menjual kemiri batu selain karena menganggap pengupasan cangkang merepotkan, juga karena ketiadaan teknologi dan teknik yang proper menyebabkan tingkat pecah tinggi.
Dengan harga kemiri pecah yang cuma separuh harga kemiri kupas utuh, petani merasa keuntungan yang diperoleh dari pengupasan cangkang tidak sebanding dengan kerepotan atau tambahan biaya untuk membayar pekerja.
Padahal, dengan proporsi kemiri kupas utuh 40% saja, dengan rendemen daging biji 37%, pendapatan petani bisa meningkat dari Rp 2,7 juta per ha lahan menjadi 4,3 juta.
Peningkatan pendapatan akan lebih tinggi lagi jika pengolahan (handling) kemiri batu menjadi kemiri kupas menggunakan teknologi yang proper. Penggunaan oven memungkinkan pengontrolan suhu dan waktu pengeringan sehingga dapat meningkatkan proporsi kemiri kupas utuh hingga 60-80%.
Penggunaan oven tidak bisa dilakukan jika petani bekerja sendiri-sendiri sebab biaya depresiasi oven tidak tertutupi oleh peningkatan penghasilan dari volume yang terbatas.
Karena itu petani perlu didorong untuk berasosiasi dalam kelompok produsen. Pembelian oven dan handling yang dilakukan secara kolektif membuat biaya investasi peralatan menjadi lebih murah sebab dapat diimbangi volume produk.
Pembangunan asosiasi petani produsen kemiri juga memungkinkan petani berinvestasi pada pengadaan alat pengolahan cangkang kemiri (yang selama ini diangap limbah) menjadi produk bernilai ekonomis tinggi, bahkan lebih tinggi dibandingkan harga biji kemiri sebagai produk utama.
Cangkang kemiri mengandung holoselulosa 49,22% dan lignin 54,46 yang memberikan tekstur kaku dan keras pada tempurung kemiri,serta menghasilkan nilai kalor tinggi, cocok digunakan sebagai bahan baku arang dan briket arang.
Berdasarkan percobaan Permatasari dan Utami (2015), dari massa kemiri bercangkang dapat dihasilkan 73 persen bobot briket arang.
Di pasar, harga briket arang tempurung pada konsumen akhir Rp 25 ribu hingga Rp 50ribu per kg. Jika diasumsikan di tingkat produsen di Alor harga grosir briket arang Rp 10.000 per kg saja, petani di Alor bisa memperoleh tambahan penghasilan Rp 2,5 juta per ha lahan hanya dari pengolahan cangkang kemiri menjadi briket arang.
Pendapatan petani akan lebih besar lagi jika mereka melakukan pengolahan lanjut arang kemiri menjadi karbon aktif. Pada 2018, harga arang aktif kualitas non-ekspor berkisar Rp 30.000 per kg.
Dalam simulasi yang saya buat, jika petani bisa didorong menjadi chain activity integrators yang mengolah pula cangkang kemiri hingga menjadi arang aktif, pendapatan petani kemiri per hektar lahan meningkat dari Rp 2,7 juta (jika hanya menjual kemiri gelondongan) menjadi Rp 17.590.000. Ini merupakan peningkatan pendapatan yang sangat besar.
Hal-hal di atas dimungkinkan jika petani berasosiasi. Tetapi oleh keterbatasan pengetahuannya, sulit berharap petani punya inisiatif mandiri untuk ini. Peran lembaga-lembaga seperti BUMN sebagai mitra dan pendamping sangat dibutuhkan.***