Tentang Jihad Gedangan dalam Surat Kartini untuk Rosa Manuela

Keboan Pasar, Gedangan, Sidoarjo. Bulan Mei 1904. Hari itu selepas magrib, tanggal 27.

Para lelaki berani dan separuh putus asa, mencabut keris, menarikan jurus-jurus silat sambil berucap La ilaha ilallah. Tiga ratus orang jumlahnya. Di hadapan mereka, berbaris serdadu kompeni, siaga dengan bedil siap menyalak.

Tiga ratus lelaki menerjang maju, memekik. Peluru-peluru menyongsong mereka.

Tubuh-tubuh roboh. Darah tumpah membasahi pertiwi. Tiga puluh orang pergi hari itu juga.. selamanya. Kusuma bangsa gugur sudah. Tiga puluhan lainnya terluka. Bangsa ini mencatat pengorbanan mereka dalam memori kolektif yang tak lekang waktu.

Demikianlah kiranya pemberontakan petani di Gedangan, Sidoarjo, memuncak pada 27 Mei 1904. Itu pula saat perlawanan tani di bawah pimpinan Kyai Kiai Hasan Mukmin ini harus padam. 

Tetapi spirit perlawanan mereka, hasrat bebas dari ketertindasan terus menyala, menjadi inspirasi bagi perlawanan rakyat Nusantara di hari-hari depan.

Sepeti kata Kartini, “Sekarang Gedangan dan itu tak punya akhir”.

Zaman Anomali, 1900-1910

Tiada masa yang lebih aneh, penuh kontradiksi, dibandingkan dengan dekade pertama abad ke-20 di Indonesia. Ini adalah era baru di ujung masa liberal kolonialisme Belanda.

Tiga puluh tahun sudah (semenjak kaum liberal menguasai parlemen Belanda) tanam paksa berakhir. Di Jawa, para kapitalis pemilik perkebunan tebu dan pabrik gula membangun kontak langsung dengan para petani dan buruh, mengikat diri dalam relasi pengupahan.

Pada 17 September 1901, Ratu baru Belanda, Wilhelmina mencanangkan kebijakan politik etis, menjadikan gagasan Conrad Theodore van Deventer, si liberal pengagum Kartini itu, sah sebagai kebijakan negeri Belanda untuk rakyat tanah jajahan.

Sekolah-sekolah berdiri, dibuka bagi anak-anak ninggrat, para pejabat komprador kolonial, hingga rakyat jelata.

Banyak perlawanan akbar sudah dipadamkan, tinggal sisa bara yang sebentar lagi redup. Tetapi saat yang bersamaan pemberontakan baru meletup di mana-mana.

Belanda yang di satu sisi berusaha menjadi lebih humanis, di sisi lain lebih bertangan besi. Ekspedisi militer di kirim ke Bali, Flores, Kalimantan, Maluku, dan Sulawesi; memastikan pulau-pulau di Nusantara tunduk pada satu kesatuan administratif pemerintahan kolonial.

Di era ini pula, banyak surat kabar berdiri, demikian pula organisasi-organisasi moderen bersemangat kebangsaan yang mencita-citakan kemerdekaan Hindia Belanda.

Mungkin merupakan dampak pemulihan ekonomi dari resesi di akhir 1890an, Hindia Belanda yang beranjak moderen dan merengkuh lebih erat kapitalisme pada awal 1900an justru kian pahit bagi rakyat. Kelaparan dan wabah penyakit sama kejamnya seperti masa tanam paksa.

Di Jawa, termasuk Sidoarjo, upaya pemerintah kolonial memulihkan diri dari resesi ekonomi mewujud dalam penghisapan yang lebih kencang. Mungkin seperti saat ini, ketika resesi disiasati dengan kebijakan kelenturan pasar tenaga kerja yang diatur dalam RUU Cipta Kerja.

Rakyat tani dipaksa menanam jagung dan ubi kayu. Kapitalis perkebunan gula menentukan sepihak harga sewa tanah untuk kebun-kebun tebu. Kapitalis pemilik pabrik gula memaksa petani menjadi buruh giling tebu. Di sisi lain, pembangunan irigasi sebagai salah satu janji politik etis jauh panggang dari api.

Dalam konteks inilah keresahan, amarah bercampur putus asa menjalari hati dan pikiran para petani di Sidoarjo.

Mereka mendiskusikan keresahan itu usai hajatan rutin pengajian-pengajian yang digelar tarekat  Qadiriyah-Naqsyabandia, di bawah kepemimpinan Kiai Hasan Mukmin.

Seiring proses, diskusi-diskusi membahas problem-problem tani meloncat secara kualitas, berubah menjadi rapat merencanakan pemberontakan. Tanggal 27 Mei 1904 dipilih sebagai hari melakukan perlawanan terbuka, bersenjata seadanya.

Setelah salat magrib, ratusan petani anggota Qadiriyah-Naqsyabandia dari Samentara, Taman dan Damarsi berkumpul di persawahan di Keboan Pasar. Bendera putih-biru-putih simbol kepahitan hidup rakyat tani negeri jajahan dikibarkan.

Itulah hari ketika orang-orang, seperti kata Kartini, “bertingkah gila-gilaan.” Hari ketika pekik pemberontakan membahana dan lagi-lagi tumpas, tetapi semangat perlawanan menderu maju “tak punya akhir”, berubah wujud ke bentuk-bentuk yang baru. Era kebangkitan nasional pun bermula lah.***

__________

Kisah pemberontakan di Gedangan bersumber pada buku JEJAK SIDOARJO: dari Jenggala ke Suriname yang diterbitkan Ikatan Alumni Pamong Praja Sidoarjo, Maret 2006.



You cannot copy content of this page.

If you need copy of the content, please contact me at gegehormat@gmail.com.