Keterwakilan Kita dan Pengrajin Kata, Catatan atas Ekaristi Mario Lawi

Disclaimer

Sastrawan kita Ragil Sukriwul sedang di lembah terdalam mood-nya ketika pada suatu siang –selepas mendiskusikan rencana gaya Iron Man pada kaosnya. Sungguh, ia konsumen saya yang paling cerewet dan demanding– meminta saya turut mengulas buku puisi terbaru Mario Lawi pada acara Baomong Buku dan Bahasa (Babasa) ke-10.

Saya adalah pilihan putus asa Ragil ketika mungkin orang-orang kompeten terlampau sibuk untuk diminta sedikit saja gratiskan waktu. Atau bisa jadi Ragil sedang sungguh kerehenpon dan motornya kehabisan napas, tak sanggup mengontak orang-orang hebat.

Saya bukan pengrajin puisi. Bahwa sesekali bikin puisi atau yang menurut saya itu puisi, adalah ya. Bukankah setiap orang berpuisi?

Saya bukan pula kritikus sastra, meskipun kehidupan tentunya membentuk setiap orang menjadi kritikus alamiah atas segala sesuatu. Tidakkah bentuk primitif dari klasifikasi –diajarkan sejak kita kanak-kanak merangkak–adalah pada suka tak suka, baik atau buruk, boleh atau jangan?

Saya juga bukan penikmat dan pemerhati sastra yang bersungguh-sungguh, apalagi pada tumbuhkembang dunia sastra NTT. Bahkan baru jauh-jauh hari kemudian saya tahu jika adik bungsu saya Filio mulai rajin menulis puisi pada surat kabar dan Santarang. Beliau sudah almarhum, berpulang ke rumah Bapa pada usia sangat belia tepat pada hari yang sudah ia perkirakan dalam puisinya.

Karena itu Saudara-saudara, komentar-komentar saya terhadap Ekaristi Sang Mario Lawi mewakili pendangan penikmat sastra amatiran. Basisnya sungguh subjektif, melekat erat pada cara pandang dan cita rasa pribadi.


Setiap kita punya cara pandang unik, berbeda satu dengan lainnya. Cara pandang itu–kalau mau keren bunyikan sebagai persepsi—seperti DNA. Bedanya jika DNA berperan biologis, dalam tubuh yang sunyi membentuk fisik yang unik, maka persepsi adalah bentukan dunia sosial yang ramai, yang membangun sikap mental –cara memaknai, berpikir, berperasaaan, hingga akhirnya bertindak—yang secara dialektis menanggap balik realita sosial.

Dunia sosial itu material sifatnya. Ia adalah orang-orang, buku-buku bacaan, dongeng terkisah, kotbah dan wejangan, informasi dan peristiwa, serta pengalaman-pengalaman konkrit yang menyentuh kita sejak dikandung ibu hingga detik terkini.

Tidak satupun manusia bebas persepsi subjektif. Karena syarat untuk bebas persepsi adalah berdiri di luar dunia material, melingkupinya dari segala sisi dimensi sehingga tak ada perisitwa dan entitas yang lolos pengamatan. Sayangnya, kita yakini hanya Tuhan yang bisa demikian.

Karena saya membedah Ekaristi Mario Lawi secara subjektif, Anda tak perlu takut komentar-komentar saya yang mungkin antagonis terhadap karya Mario akan mengecilkan jagoan Anda itu. Mario akan tetap luar biasa sebagai dirinya sendiri, tetap hebat di hadapan Anda dan banyak orang lain yang persepsi subjektifnya menyediakan ruang luas apresiasi terhadap genre karya Mario.

Membaca Ekaristi, Deja vu Tukang Kebun

Karena tidak memiliki disiplin ilmu dalam kritik sastra, yang saya lakukan adalah membaca rangkaian puisi dalam Ekaristi dan memeriksa kondisi batin saya selama proses itu. Yang terjadi, saya seperti mengalami deja vu pada suatu moment di Yogya, akhir 1998 atau awal 1999.

Saat itu Minggu siang sebubar perayaan misa, saya bertandang ke kontrakan para imam praja Katolik asal Flores yang sedang menempuh pendidikan lanjut di Yogya. Lokasinya di Mrican, tak berapa lama berjalan kaki dari gereja.

Kemudian… makan siang usai, piring-piring dibersihkan, coba mengusir bosan,saya meraih begitu saja buku yang tergeletak di meja. Tukang Kebun, karya Rabindranath Tagore. Sepertinya menjanjikan.

Kira-kira 30 menit berlalu, saya merasa kondisi batin yang kemudian terasa sama seperti ketika membaca Ekaristi saat ini. Kosong.

Adalah kebetulan, perjalanan Mario Lawi dari Memoria ke Ekaristi menyerupai perjalanan Tagore dari Tukang Kebun ke Gitanjali. Menurut mereka yang punya ilmu terkait, saya lupa membaca di mana, Tukang Kebun adalah karya berisi deklarasi cinta Tagore yang bercampur antara rindu-takjub pada Yang Ilahi dan berahi-mesra pada kekasih duniawi.

Sulit memastikan pada siapakah sebutan “Jelita Nakal” di sana diperuntukan, Tuhan yang Ukhrawi ataukah maitua duniawi. Tetapi pada Gitanjali yang datang kemudian, orang-orang berani menyimpulkan, adalah Tuhan semata yang dipanggil-panggil Tagore dengan rindu yang lebam.

Coba lihat Memoria Mario Lawi. Bukankah di sana bercampur ungkapan rindu yang profan dan yang sakral? Tetapi pada Ekaristi, setegas terjudul, kata-kata Mario memang diperuntukan pada Tuhan. Adalah kebetulan juga, Gitanjali (Nyanyian Persembahan) merupakan pelabelan kemasan yang tegas menelanjangi isi.

Tetapi bukan terkait hal di atas pengalaman saya bersama Ekaristi adalah dj vu Tukang Kebun. Sebagai penikmat amatir, ruang bermain saya pada pengalaman mental subjektif ketika membaca kedua karya. Membaca Ekaristi melahirkan suasana mental serupa mencerna Tukang Kebun. Setengah jam membaca Tukang Kebun, saya merasa kosong. Untaian kata indah Tagore tak menyinggahi hati.

Awalnya saya mengira ada yang salah dengan saya ketika hati dan nalar tak berahi pada karya besar seorang peraih Nobel. Getir rasanya. Mungkin saya kurang kapasitas mengapresiasi maha sastra. Mungkin format Tukang Kebun sebagai rangkaian puisi-puisi terlalu rumit untuk saya.

Tetapi jika begitu, mengapa prosa Pengakuan Pariyem dari Linus Suryadi , atau Durga Umayi milik Mangunwijaya yang berformat rumit toh bisa membekas kalbu meski sekali berjumpa? Jadinya, dengan gegabah telunjuk saya arahkan pada penerjemahan Hartojo Andangdjaja. “Ah, mungkin penerjemahannya yang gagal-konteks sehingga suasana batin Tagore luput tersirat. “

Akhirnya Terjawab

Pada 25 November 2010 di Taman Ismail Marzuki, sang Putu Oka Sukanta berorasi pada peluncuran Burung Burung Bersayap Air kumpulan puisi karya Dewi Nova.

Putu Oka bersabda,

“Hasil akhir sebuah puisi harus mampu mengedepankan objektivitas (relatif) atau esensi yang tersembunyikan di bawah sadar irama. Puisi pengungkapan mikro dan individual tetapi harus mampu mereprentasikan nilai-nilai makro yang universal dan berperspektif ke kemanusiaan. Sebab penyair dan pembaca adalah manusia, yang terjaring saling menghidupi dengan manusia lainnya dalam berbagai kondisi dan tujuan.

Puisi menurut saya tidak lengkap kalau hanya bisa dirasakan saja. Bahwa puisi pertama-tama menyentuh perasaan/emosi seperti halnya karya seni lainnya, itu benar. Tapi dari getar rasa yang dibangkitkan oleh makna kata dan irama, ia akan menjalar ke kesadaran rasio. Pembaca akan memperoleh kenikmatan dan pemahaman yang berakhir pada pencerahan.

Orang bisu yang cerdas dan cekatan tidak menjadikan kebisuannya sebagai hambatan untuk dipahami, bahkan orang bisu tersebut mampu memberikan pencerahan. Tetapi kalau puisi bisu, ia hanya dimengerti dan dinikmati oleh penulisnya (mungkin juga tidak) dan selebihnya ia memperdaya pembaca dengan kebisuannya untuk diposisikan sebagai puisi maha hebat, saking hebatnya sampai tidak ada orang yang bisa memahaminya. Puisi semacam ini saya sarankan untuk disimpan di dalam lacinya, sebab ini salah satu perangkap pembodohan.”

Tampaknya pidato Putu Oka Sukanta menyajikan setengah jawaban bagi problem saya.

Ya, setengah. Karena tentu tidak ada demarkasi yang tegas membelah mana puisi bisu mana yang berteriak nyaring.

Selalu ada daerah abu-abu, karena filter terletak pada persepsi subjektif penikmat. Sebuah puisi bisa jadi bisu bagi pribadi atau komunitas tertentu, tetapi nyaring bagi yang lainnya.

Misalnya jika sekarang saya menggubah kalimat, “Untukmu percik kusebar, menjadi kobar di setiap singgah.”

Bagi Saudara-saudara, mungkin kalimat ini bukan apa-apa. Tetapi ia bisa jadi sesuatu banget bagi 1) mereka yang pernah bersentuhan dengan spiritualitas Claretian di Matani sana, yang memaknai diri mereka sebagai “a man–mengikuti jejak Sang Bunda–on fire with love, who spreads its flames wherever he goes“; 2) para aktivis revolusioner akan menautkan maknanya dengan memori mereka pada slogan Iskra –majalah Rusia tempat Lenin pernah menjadi editornya— “From a spark a fire will flare up;” sedangkan 3) perawan kasmaran yang ditinggal merantau sang kekasih mendamba itu syair bisikan pujaan hati, terus menjaga api cinta mereka meski harus pindah dari satu perkebunan ke perkebunan lain.

Ketika Ragil Sukriwul menulis “Aku Seperti Ketakutan Seperti Ketakutanmu,” ia mungkin menulis tentang masa kecil dirinya atau orang lain di sekitarnya. Tetapi puisi itu nyaring berteriak kepada setiap pasangan kawin beranak yang sedang bertengkar hebat. Puisi itu tiba pada saya di tengah cekcok berat dengan istri. Di hadapan subjektif saya saat itu “Aku Seperti Ketakutan Seperti Ketakutanmu” berubah tangisan nyaring putra tercinta kami. Puisi Ragil mendorong pada tindakan, berdamai.

Bisu atau nyaringnya sebuah puisi tidak hanya bergantung massa, tetapi juga masa. Puisi, kalimat, pun frasa hebat boleh saja nyaring pada masa tertentu, bisa saja tak lebih dari untaian bunyi senyap pada masa sebelum atau sesudahnya.

Ketika 1918 BMas Marco Kartodikromo menulis “Sama Rata dan Sama Rasa” di Penjara Weltevreden (1917, dibukukan dalam Syair Rempah-rempah pada 1919) kata-kata itu sedemikian terkenal di masanya karena mewakili kehendak kuat rakyat Nusantara untuk lepas dari penjajahan kolonialis Belanda dan perhambaan feodalisme. Sama rata sama rasa juga menjadi frasa yang memudahkan dalam menjelaskan komunisme.

Tetapi bagi generasi yang lebih terpelajar di kemudian hari, sama rata sama rasa adalah penjelasan keliru atas prinsip keadilan di dalam komunisme. Karena di dalam komunisme keadilan masyarakat kepada individu warga itu setara cinta ibu pada anak-anaknya: setiap orang mendapat sesuai apa yang dibutuhkan dan berkontribusi sesuai apa yang sanggup.

Contoh lainnya adalah kalimat “Boeng, Ajo Boeng” yang disumbang Charil Anwar pada poster Afandi. Kata-kata yang akrab di kalangan pekerja seks berubah menjadi seruan ypembangkit semangat para pemuda dalam masa Revolusi kemerdekaan 1945. Kini kalimat itu kehilangan daya magisnya. Seolah kembali ke habitat, ia bisa saja diucapkan seorang rohaniwan saat mengajak kawan ke lokalisasi.

Itu pula yang terjadi dengan “Hasta la victoria siempre” (Bung Guevara), “Hanya satu kata, Lawan!” (Wiji Thukul), mungkin kalah zaman dibanding “We are the 99%” (Occupy Wall Street).

Mari Konkritkan Contoh

Agar konkrit pengalaman kita tentang bisu atau nyaringnya sebuah puisi, ada baiknya kita coba merasa perbandingkan karya Mario F. Lawi, AJ Susmana, dan Kahlil Gibran dalam puisi yang terinspirasi pengalaman atau tokoh Maria Magdalena.

Yang manakah yang lebih nyaring bicara pada masing-masing kita? Apakah 1) Mario F. Lawi, “Magdalena” dalam Ekaristi (Bisa dibaca pada halaman 34 Ekaristi) atau 2) Kahlil Gibran, “Mary Magdalen” dalam Jesus, The Son of Man, atau 3) A. J. Susmana, “Balada Cinta Lena” poesie lyrique (atau prosa lirik?), karya penutup dalam Kota Ini Ada di Tubuhmu.

Sila, Anda cari karya-karya itu dan rasakan pengalaman subjektif bersama tiap-tiapnya. Yang mana yang paling cocok dengan DNA jiwa Anda dan karenanya paling berjangkit getarnya?

Akhir Kata

Sepertinya, bagus tidaknya sebuah puisi, sebagaimana karya sastra atau seni lainnya, tidak semata-mata pada ketepatan pilihan diksi dan seni menjalinnya. Seperti berita media, puisi mungkin butuh prinsip proximity. Kata-Kata dan tema yang diwakili kata perlu mendekatkan diri dengan lokus, dengan realita di sekitar para penikmat. Semakin lekat sebuah karya dengan kenyataan sosial, semakin mampu ia mewakili kegelisahan dan harapan para penikmat, semakin besar karya itu.

Saya adalah penikmat sastra bergenre realisme sosial. Tentu latar belakang saya yang membentuk kecintaan itu.

Bagi saya, sastra memiliki salib sosial bukan saja sebagai pewarta penderitaan, harapan, dan kegembiraan rakyat banyak; ia harus lebih dari sekedar mampu mengobok-obok emosi pembaca agar simpati dan empati terhadap hal yang diwartakan, tetapi lebih dari itu sanggup mendorong pembaca pada tindakan membuat perubahan. Bagi saya, kata-kata di dalam sebuah karya harusnya lahir dari kenyataan sosial yang diindrai penulisnya, bukan dicomot begitu saja asalkan indah.

Tetapi sebagai penikmat tentulah tak sungguh penting melanjutkan perdebatan klasik seni untuk seni atau seni untuk pembebasan, seni untuk kemanusiaan.

Mungkin lebih berguna menuntut komunitas sastra NTT. Jika para sahabat intim Tuhan telah menemukan keterwakilannya pada Mario F. Lawi, tidakkah yang lain tergerak untuk dalam karya mewakili kami yang merindu untaian kata indah tentang harapan Pe’u si kuli bangunan, penderitaan Marta TKW, kemunafikan Yohanis rohaniwan, perselingkuhan Martin si tokoh masyarakat, korupsi Markus si birokrat hebat, atau suka duka rakyat berlawan di Guriola Sabu, Kolhua Kupang, dan Tumbak Manggarai Timur.

Kami butuh keterwakilan!

___



You cannot copy content of this page.

If you need copy of the content, please contact me at gegehormat@gmail.com.