Pada BAGIAN PERTAMA telah dikenalkan sepintas apa itu pengembangan rantai nilai sebagai pendekatan peningkatan kesejahteraan petani, dan level pertama, petani sebagai chain actor, dari 4 tingkat posisi petani dalam pengembangan rantai nilai.
Telah pula diulas contoh peningkatan kesejahteraan petani sebagai chain actor tanpa up grade posisinya dalam rantai nilai. Kita menggunakan contoh kasus petani vanili di Alor.
Pada bagian kedua, artikel ini, kita membahas mengapa meningkatkan posisi petani dalam rantai nilai, menjadi chain partner itu penting, sekalipun dengan meningkatkan kapasitas sebagai chain actor saja pendapatan petani sudah bisa ditingkatkan.
Tujuan yang hendak dicapai dari mendorong petani sebagai chain partner adalah jaminan pasar, efisiensi, dan peningkataan posisi tawar terhadap harga.
![Ilustrasi [wn.com]](http://assets.kompasiana.com/items/album/2020/03/30/ilustrasi-wn-com-5e818d93d541df517e268902.png)
Jalan untuk mendorong posisi petani menjadi chain partner adalah melalui integrasi horizontal (pendirian asosiasi petani) pun integrasi vertikal melalui kemitraan dengan mata rantai yang lebih tinggi (pedagang besar) atau lebih rendah (penyedia input).
Kita akan menjelaskan hal ini melalui sejumlah contoh kasus.
Anda tahu apa yang mendorong lahirnya pedagang pengepul atau tengkulak?
Banyak yang menyangka tengkulak lahir karena orang-orang kurang moral dalam berbisnis, hendak mengambil untung dari petani miskin. Pandangan seperti lahir karena harga yang diberikan tengkulak lebih rendah daripada harga beli oleh pedagang besar di kota.
Selain itu, para tengkulak umumnya menerapkan pola ijon: membayar di muka, jauh sebelum panen, dengan harga lebih murah. Di saat seperti itu petani kepepet oleh kebutuhan biaya hidup.
Di sebagian kabupaten produsen jambu mente di NTT, misalnya. Seingat saya pada 2016 harga pembelian mente oleh pedagang antar-pulau di ibukota kabupaten atau di kapal milik perusahaan India yang bersandar di dermaga seperti Atapupu (Kabupaten Belu) sebesar Rp 18.000 per kg.
Tetapi sebelum masuk musim panen, para tengkulak keluar-masuk desa di Kabupaten TTU, menawarkan pembayaran mete Rp 6.000 – Rp 8.000 per kilogram.
Serupa pula dengan vanili di Alor. Pada bulan Januari 2018 pada pedagang sudah mulai keluar-masuk kampung menawarkan pembayaran vanili petani seharga Rp 300.000 per kg. Padahal harga vanili basah di musim panen (Maret-Mei) 2018 di Alor mencapai Rp 850.000 per kg.
Melihat sepintas kenyataan bahwa para pedagang lebih makmur dibandingkan petani, boleh jadi benar pandangan bahwa akar keberadaan tengkulak adalah rendahnya moral dalam berbisnis.
Tetapi marjin besar yang diambil para pedagang—terutama tengkulak—tidak selalu demi keuntungan. Sebagian dari marjin tersebut sebenarnya merupakan alokasi lindung nilai.
Sebagian alasan tengkulak membeli komoditas petani dengan sistem ijon adalah demi menjamin pasokan. Jika menunggu musim panen tiba, persaingan memperoleh komoditi di tingkat petani sudah panas.
Ada kemungkinan para tengkulak tidak bisa mengumpulkan komoditas dalam jumlah yang cukup. Membeli di depan—sebelum panen tiba—adalah cara mereka untuk melindungi pasokan.
Persoalannya, ketika membeli di depan, mereka belum tahu berapa harga di tingkat pedagang besar pada musim panen nanti. Begitu pula pedagang besar—yang umumnya pedagang antarpulau—belum tahu berapa harga beli oleh pedagang besar di Surabaya, tempat umumnya komoditas dari NTT dijual.
Karena inilah para tengkulak menawar rendah harga di tingkat petani. Jika kelak harga dari pedagang antarpulau lebih rendah dari prediksi mereka, marjin yang tersedia cukup untuk mencegah kerugian.
Selain itu, marjin yang ditetapkan tengkulak mencakup pula biaya modal. Ketika membayar di depan, dan baru memperoleh hasil petani dan menjual kembali 2-3 bulan kemudian, pedagang harus turut menghitung biaya modal (bunga) untuk 2-3 bulan tersebut.
Ini lazim dalam bisnis di alam kapitalisme, ketika modal berlaku pula sebagai komoditas yang didagangkan. Harga modal yang diperdagangkan adalah bunga.
Dengan memahami rasionalisasi tengkulak, jawaban bahwa kehadiran dan praktik bisnis mereka disebabkan oleh rendahnya moral bisnis boleh kita kesampingkan. Adalah lebih tepat menjawab tengkulak lahir dari kondisi inefisiensi rantai nilai–ini berlaku saat kita menilai sistem dari kacamata kapitalisme.
Keberadaan tengkulak itu sendiri merupakan indikator rantai nilai inefisien sebab ada alokasi nilai untuk mata rantai yang tidak memproduksi nilai tambah. Tetapi inefisiensi ini lahir dari inefisiensi lainnya.
Inefisiensi yang bagaimana?
Rumah tangga petani di Indonesia umumnya menguasai lahan kecil. Sebanding dengan itu produksi mereka terbatas saja. Apalagi lahan yang sudah keci itu harus dibagi antara komoditi cash crops dengan tanaman pangan untuk subsisten.
Contohnya petani mete, yang dalam sebulan mungkin hanya menghasilkan setengah karung—panen mete berlangsung selama 3-4 bulan. Petani akan merugi jika harus membawa setengang karung mete ke kota untuk dijual langsung ke pedagang besar. Sebaliknya pedagang besar juga merugi jika demi setengah karung mete harus mengirim truk ke desa.
Petani juga kesulitan untuk menampung panen mete selama 4 bulan hingga kumulatifnya menjadi 2 karung dan cukup ekonomis untuk diangkut ke kota.
Ketika bulan pertama panen ia harus segera menjualnya agar memperoleh uang kas, baik untuk memenuhi kebutuhan saat itu atau membayar utang belanja kebutuhan di hari-hari yang lalu.
Problem ini diselesaikan dengan keberadaan tengkulak. Para tengkulak masuk-keluar rumah, mengumpulkan setengah karung demi setengah karung hingga mencapai volume yang ekonomis untuk dikirim ke kota atau menunggu truk pedagang besar datang ke desa.
Dari contoh ini terlihat bahwa petani akan memiliki posisi tawar yang lebih tinggi jika mereka bisa membentuk asosisasi untuk menjual komoditasnya secara kolektif.
Jauh sebelum menerima Kusala Award, salah satu usaha Kelompok Tani Lewowerang (KTL) di bawah pimpinan Kamilus Tupen adalah menjual secara kolektif mete yang diproduksi petani desa Tuwagoetobi (Honihama). Saya lupa alasan Pak Kamilus mengapa praktik ini tidak berkelanjutan.
Ketika itu, mungkin pada 2009 atau lebih dahulu lagi–saya lupa–, KTL mengumpulkan hasil panen mete para anggotanya. Harga dasar ditentukan berdasarkan harga penawaran pedagang di Waiwerang, kota kecil (tetapi terbesar) di Pulau Adonara.
Pak Kamilus lalu menelpon para pedagang di Larantuka dan Maumere, menanyakan berapa harga yang sedia mereka berikan untuk sekian ton mete milik KTL. Jadi lewat asosiasi petani membuka kesempatan para pedagang besar mengajukan bidding.
Hasilnya, KTL bisa menjual mete ke pedagang di Maumere (Kabupaten Sikka) seharga Rp 11.000 per kg saat harga pasar di banyak tempat di Flores sudah turun menjadi Rp 9.000 per kg. Rp 2.000 kelebihan harga dibagi tiga, Rp 1000 untuk petani (sehingg total petani mendapat Rp 10.000 per kg), Rp 500 untuk jasa pekerja penimbang, dan sisanya masuk ke kas kelompok (menjadi milik kolektif).
Pekerja penimbang adalah para mantan pedagang pengepul. Ini adalah contoh bijak mengatasi dislokasi (pemubaziran pedagang pengepul) ketika asosiasi petani mengambilalih peran mereka.
Kasus KTL merupakan contoh pertama dan paling sederhana petani menjadi chain partner. Individu petani bermitra dengan individu petani lain yang memproduksi komoditas serupa demi mencapai skala produksi (pasokan) komoditas yang cukup untuk meningkatkan posisi tawar mereka dalam pembentukan harga.
Selanjutnya kita akan melihat sejumlah contoh lain posisi petani sebagai Chain Partners, yaitu kasus Chain Partner di kalangan petani dengan komoditas berbeda; chain partner antarpetani dengan pembagian peran; dan chain partner antara petani dengan pelaku di mata rantai lebih hulu (pedagang input) dan lebih hilir (pedagang).
Chain Partners antarpetani beda komoditas
Di kompleks tempat tinggal saya, ada dua jenis pedagang sayur keliling. Yang pertama berkeliling menggunakan sepeda motor. Pada jok motor mereka terpasang rak berisi aneka macam sayuran dan bumbu-bumbuan, bahkan ada pula daging ayam, tempe dan tahu. Sebagian besar kebutuhan dapur ada di sana.
Tipe pedagang sayur kedua adalah yang berjalan kaki memikul dagangannya. Mereka hanya menjajakan 1-2 jenis sayuran saja.
Jika di tempat Anda ada pula dua tipe ini, perhatikanlah, pedagang sayur tipe pertama lebih banyak dipanggil pembeli.
Mengapa bisa demikian?
Kelengkapan! Jawaban yang sama untuk pertanyaan mengapa supermarket umumnya lebih ramai dibandingkan specialty shops.
Suatu ketika sebuah lembaga, sebut saja Lembaga H minta pendapat saya. Mereka ingin mengubah program kebun pangan rumah tangga, dari bertujuan subsisten untuk peningkatan gizi keluarga menjadi berpadu dengan kepentingan pasar, menjadikan sebagian hasil produksi emak-emak di pekarangan rumah sebagai komoditi.
Sayangnya, saat itu saya berstatus kuli non-permanen penuh waktu di lembaga Y. Bos saya minta agar lembaga H berkontrak dengan lembaga Y, bukan dengan saya secara pribadi. Lembaga H tidak sanggup jika harus membayar pula “management fee.”
Tetapi saya selalu senang hati memberi usul-saran cuma-cuma, bergembira jika itu bisa berguna.
Saya sarankan agar ibu-ibu dampingan lembaga H didorong untuk menanam komoditi yang berbeda-beda menurut kelompok atau individu. Ada yang khusus menanam cabai; ada yang tomat; ada yang aneka bumbu-bumbuan; ada sayur A; ada sayur B; dan seterusnya.
Dengan pembagian kerja berdasarkan jenis komoditi, emak-emak itu bisa menjual hasilnya secara kolektif.
Pertama, mereka bisa menyewa satu lapak pasar di kota kecamatan atau bahkan di pasar kabupaten jika transportasi ke kota kabupaten cukup murah. Kalau menanam seragam 1-2 jenis komoditi saja, lapak mereka akan sepi pengunjung.
Kedua, kalau mereka bisa mempertahankan produksi reguler dalam volume yang stabil, mereka bisa memasok ke supermarket. Sejumlah supermarket mensyaratkan sekian jenis item kepada para pemasoknya.
Ketiga, mereka bisa membangun sistem pasar internal antarrumah tangga dengan sistem barter seperti yang diterapkan banyak komunitas Fabian Society di sejumlah negara.
Dengan membagi-bagi tugas menanam berdasarkan jenis tanaman, setiap rumah tangga dapat menikmati aneka jenis kebutuhan dapur secara rutin. Hal ini sulit dicapai jika setiap rumah tangga menanam segala hal di pekarangan rumahnya yang terbatas.
Saya tidak tahu apakah saran saya kemudian diterapkan atau tidak.
Chain partner antarpetani dengan pembagian peran
Belasan tahun lalu, aktivis Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) di Kabupaten Sikka, Flores, memperluas pengorganisasian petani. Awalnya mereka mendampingi petani di dua kecamatan penghasil komoditas perkebunan. Problem di kecamatan sentra komoditas perkebunan (kakao, kelapa, dan vanili) adalah mereka sangat sedikit membudidayakan tanaman pangan. Sumber pangan mereka adalah pasar. Ketika harga komoditas jatuh, mereka tak sanggup memenuhi kebutuhan pangan.
Kebetulan, pengorganisirian petani para aktivis LMND di Sikka meluas ke dua kecamatan lain yang merupakan penghasil tanaman pangan. Problem petani pangan adalah tingkat kesejahteraan yang rendah.
Suatu ketika saya dihubungi Laurens, tetua para aktivis mahasiswa di Sikka itu. Ia minta saran bagaimana dua problem—ketersediaan pangan dan peningkatan kesejahteraan—bisa tercapai.
Apakah petani diminta membagi dua peruntukan lahannya secara adil, satu untuk tanaman pangan subsisten, satu untuk cash crop yang laku di pasaran? Begitu pertanyaan Laurens saat itu.
Tetapi saya menyarankan agar mereka mencoba membangun sistem pasar kolektif.
Petani pangan menjual sebagian hasil pertaniannya ke komunitas petani komoditi dengan harga lebih murah dibandingkan harga pasar. Petani komoditi menjual komoditasnya ke pasar terbuka yang sebagian hasilnya dipotong untuk kas kolektif organisasi petani.
Uang kas kolektif dipakai memodali pendirian kios-kios kolektif di komunitas petani. Kios-kios itu menjual berbagai barang kebutuhan produksi pabrik-pabrik di kota, termasuk pula mengupayakan sejumlah alat produksi.
Mekanisme ini berjalan. Mereka menamakan inisiatif itu Solidaritas Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (SRKP) yang merupakan kerjasama Liga Mahasiwa Nasional untuk Demokrasi (LMND) dan Serikat Tani Nasional, STN (sebagai pewadaan petani). Sebuah LSM membantu mereka dengan handtracktor.
Mereka berhasil membangun kembali tradisi gotong royong (dalam bahasa setempat disebut Sakoseng) di tingkatan petani; meningkatkan aset berupa alat pengupas kelapa; mendirikan kios milik kolektif di 4 basis petani.
Sayangnya, beberapa tahun kemudian pemilu tiba. Para pemimpin petani ramai-ramai mencalonkan diri sebagai anggota DPRD dari parpol-parpol berbeda. Persaingan menjadi tidak sehat sebab mereka berebut pengaruh di antara anggota.
Di sisi lain, generasi mahasiswa perintis satu persatu tamat dan kembali ke kampung halaman atau bekerja di kabupaten berbeda. Inisiatif yang sempat berjalan sekitar 3 tahun itu lenyap.
Chain partner antara petani dan pelaku di mata rantai lebih hulu (penyedia input)
Dalam sebuah pertemuan Tenaga Penggerak Reforma Agraria di Jakarta, belasan tahun lalu, seorang tetua aktivis mahasiwa GmnI yang telah terjun ke pengorganisiran petani menceritakan kunci kesuksesannnya membangun pertanian organik di desa dampingannya di Yogyakarta.
Salah satu kesulitan mengajak petani menggunakan pupuk organik adalah tambahan beban kerja kepada mereka. Apalagi untuk kadar nutrisi sebanding, volume pupuk organik yang dibutuhkan sekian kali lipat lebih banyak dibandingkan pupuk kimia pabrikan.
Bayangkan Anda mengonsumsi tablet suplemen kesehatan. Itu adalah pupuk kimiawi. Nutrisi sudah dipres menjadi sedemikian kecil karena diekstrak saripatinya. Tinggal telan, sel-sel darah merah langsung menyerapnya dan membawa ke seluruh tubuh. Atau bayangkan Anda diinfus glukosa.
Sementara pupuk organik adalah bahan-bahan mentahnya, sekeranjang buah, sayur, dan mungkin pula dedaunan dan akar-akaran berkhasiat tertentu. Anda masih harus mengolahnya.
Setelah ditelan, tubuh Anda masih pula harus bekerja mengurainya, untuk memisahkan saripati yang dibutuhkan tubuh dengan ampas serat yang harus Anda kembalikan ke alam melalui “kamar kecil.”
Maka untuk mendorong petani menggunakan pupuk organik, perlu tim khusus yang memproduksinya.
Si aktivis Yogya tadi mengajak diskusi pemerintah desa dan para petani (itu belasan tahun sebelum ada UU Desa). Mereka sepakat untuk mendirikan pabrik pengolahan pupuk organinik yang mempekerjakan sebagian pemuda desa.
Para pemuda itu, dengan gerobak yang ditautkan di belakang sepeda motor, berkeliling mengumpulkan limbah kebun yang sudah dikumpulkan petani di pinggir kebun di jalan yang mudah diakses.
Limbah itu diolah menjadi pupuk organik dalam kemasan karung-karung sekian puluh kilo. Petani yang menyetorkan limbah kebun berhak mendapat potongan harga.
Ini merupakan bentuk kerjasama antara petani dengan penyedia input, yaitu para pemuda yang mengelola pabrik pupuk organik. Sistem ini bisa terwujud karena para petani juga bersedia berpartner sehingga limbah organik yang dihasilkan mencukupi skala ekonomis untuk memproduksi pupuk.
Dengan kemitraan seperti ini, biaya produksi bisa ditekan, yang berarti peningkatan pendapatan petani sebab tersedia marjin yang lebih lapang.
Chain partner antara petani dengan pelaku di mata rantai lebih hilir (pedagang)
Beberapa bulan sebelum penjurian Duta Petani Muda Indonesia, Saya terlibat percakapan menarik dengan Gesti Sino—yang kemudian terpilih menjadi Duta tahun 2019.
Ia katakan selama ini dirinya keteteran memenuhi banyaknya permintaan produk pertanian organik, baik dari hotel-hotel pun dari pasar terbuka. Ia bertanya apa mungkin saya membantunya berjejaring dengan para petani yang bersedia memproduksi pangan organik sehingga ia bisa memenuhi permintaan pasar.
Saya menyambut baik gagasan itu. Gesti adalah petani organik sukses di Kota Kupang. Ia memiliki sertifikan organik.
Saya ceritakan kepadanya, sejumlah kenalan di Jawa Timur pernah membangun kemitraan yang kurang lebih sama tetapi dalam hal pembenihan kacang hijau. Para petani didorong menjadi produsen benih. Tetapi untuk itu mereka butuh sertifikat pembenih yang tidak mudah diperoleh.
Maka kawan-kawan itu mendorong kemitraan antara perusahaan pedagang benih dengan para petani. Perusahaan telah memiliki sertifikat. Benih yang mereka jual memenuhi syarat dalam regulasi.
Perusahaan mendampingi petani, mengembangkan kapasitas petani agar mampu menghasilkan benih yang memenuhi standar. Petani menjual benih melalui perusahaan tersebut.
Dengan begitu, petani mampu mengakses pasar benih, sebaliknya perusahaan bisa meningkatkan volume penjualan benih dengan merek dagangnya.
Gesti memiliki sertifikat produk organik –yang jika diurus sendiri seingat saya biayanya 30an juta–dan pengetahuan tentang pertanian organik. Ia bisa berperan mendampingi petani atau mengontrol kualitas praktik budidaya agar memenuhi syarat sebagai produk organik.
Hebatnya, Gesti tidak hendak mengambil satu Rupiah pun dari para petani yang akan diajak bekerjasama. Meski sudah jadi petani sukses, Gesti masih menyadari dirinya sebagai aktivis.
Ini salah satu janji saya yang belum saya penuhi. Hingga kini rencana baik ini belum bisa kami tindaklanjuti bersama. Tetapi bentuk kemitraan yang disampaikan Gesti terus menjadi inpirasi, gagasan cemerlang yang tetap saya tanam di kepala saya, bahwa suatu ketika kami akan mewujudkannya.
Tingkat selanjutnya, posisi petani sebagai “Chain activity integrators.”