Penjarahan, Itu Anarko-Sindikalis atau Si Pengkor sih?

Si Pengkor dalam Gundala adalah metafora elit-elit ekonomi yang kemaruk kekuasaan politik, kaum oligark pendamba kekuasaan totaliter.

Kekuasaan totaliter, negara bonapartis yang dilegitimasi oleh kondisi darurat, oleh kondisi hancurnya “tertib sosial” adalah instrumen paling efektif untuk melindungi kekayaan para oligark.

Si Pengkor dalam Gundala adalah manifestasi para oligark, menggambarkan kemampuan elit-elit terkaya mengkreasi kepalsuan sebagai prakondisi terciptanya kekusaan tanpa gugatan, kekuasaan di atas legitimasi kondisi darurat jangka panjang.

Bacalah novel Fahrenheit 451 atau setidaknya tonton versi adaptasi filmnya. Apa yang membuat mayoritas rakyat menyerahkan kebebasan mereka pada kekuasaan totaliter?

Konflik, perang sipil, kerusuhan-kerusuhan! Oleh kejenuhan dan ketakutan akan kondisi-kondisi ini, mayoritas rakyat memasrahkan kebebasannya pada kekuasaan totaliter,  kekuasaan yang membakar buku-buku agar orang berhenti bersikap kritis.

Artinya, aksi-aksi penjarahan, apalagi dilakukan di tengah pandemi justru membidani kelahiran kekuasaan otoriter; melegitimasi perubahan status menjadi darurat sipil. Negara akan kian dominan. Sebaliknya penyelesaian krisis melalui kerja sama antara komunitas-komunitas sadar dan merdeka makin tertutup ruangnya.

Itu berarti, aksi-aksi penjarahan di saat seperti ini justru berakhir pada kondisi yang 180 derajat bertolak belakang dengan utopia kaum anarkis, apalagi anarko-sindikalis.

Apakah masuk akal menduga suatu kaum—Saya lebih senang memandang anarko sindikalis sebagai kaum dibandingkan sebagai organisasi sebab demikianlah mereka menolak segala bentuk otorita. Organisasi selalu mengandung dalam dirinya otoritas—melakukan tindakan aktif yang membahayakan dirinya justru untuk menciptakan kondisi yang bertolak belakang dengan cita-cita kaum itu?

Awam mungkin sedikit bingung dengan hal ini. Tetapi baiklah saya sedikit berbagi pengetahuan saya yang seupil saja tentang anarkisme dan anarko-sindikalis.

Selama ini banyak sekali salah kaprah awam tentang apa itu anarkisme. Orang-orang memahami anarksime berdasarkan etimologi yang bias propaganda borjuasi, seolah-olah ia berarti kondisi kekacauan permanen, rusuh setiap hari.

Sejatinya anarki berasal dari terminologi Yunani: an (tidak/tanpa) dan arkhos (ketua, pimpinan, pengatur). Oleh keberhasilan propaganda borjuasi, anarki yang sejatinya berarti “kondisi tanpa otoritas yang mengatur” menyimpang pemaknaannya menjadi “kondisi tanpa aturan”.

Padahal sebaliknya, anarkisme adalah utopia keteraturan baru, ialah tatanan atau order yang paling tulus-manusiawi, yaitu tatanan yang dihasilkan oleh kontrak sosial saling menguntungkan antara individu dan antara komunitas-komunitas merdeka.

Ini berkebalikan dari kondisi saat ini, sistem saat ini, yang menegakkan kontrak sosial dengan instrumen koersif (polisi, penjara, tentara) dan hegemoni (manipulasi-manipulasi melalui banyak macam corong propaganda dan lembaga-lembaga pelestari nilai lama).

Simak apa yang Rudolf Rocker, tokoh paling berpengaruh dalam anarko sindikalis—tokoh anarkis masa kini, Noam Chomsky sangat dipengaruhi pikiran-pikiran Rudolf Rocker— tentang anarkisme.

“Anarchism is a definite intellectual current of social thought, whose adherents advocate the abolition of economic monopolies and of all political and social coercive institutions within society. In place of the capitalist economic order, Anarchists would have a free association of all productive forces based upon cooperative labour, which would have for its sole purpose the satisfying of the necessary requirements of every member of society. In place of the present national states with their lifeless machinery of political and bureaucratic institutions, Anarchists desire a federation of free communities which shall be bound to one another by their common economic and social interests and arrange their affairs by mutual agreement and free contract.”

(Rudolf Rocker, Anarchism and Anarcho-Syndicalism, 1949).

Intisari penjelasan Rudol fRocker adalah:

Anarkisme merupakan gagasan atau ideologi yang menghendaki penghapusan monopoli ekonomi dan semua lembaga politik dan sosial yang memaksa dalam masyarakat.

Anarkisme menggantikan tatanan ekonomi kapitalis dengan tatanan baru berupa asosiasi bebas antara semua kekuatan produktif (seluruh kelas pekerja) berbasis koperasi.

Anarkisme mengganti negara (alat penindas) beserta seluruh perlengkapan politik (termasuk parpol) dan birokrasinya dengan federasi komunitas-komunitas bebas yang akan terikat satu sama lain oleh kepentingan ekonomi dan sosial bersama, dan mengatur urusan mereka dengan kesepakatan bersama dan kontrak bebas.

Jangan menuduh saya seorang anarkis.

Selain beberapa kali berjumpa dalam sejumlah aksi buruh di Bandung 20an tahun lampau, seingat saya, saya cuma pernah sekali terlibat percakapan cukup panjang dengan kalangan anarko sindikalis.

Itu ketika saya dan seorang kawan sedang membuat spanduk di suncen (student center) Utara di sebuah kampus di Bandung. Dua orang anak anarko datang dan ngobrol-ngobrol sebentar.

Percakapan kami lebih banyak tentang zine (format khas majalah anarko) yang mereka bawa. Kami menghindari percapakan tentang tuntutan perjuangan saat itu dan strategi-taktik, sebab selain tidak akan ketemu, juga karena kalangan anarko belum pulih dari ketersinggungan oleh pernyataan seorang kawan, tokoh perjuangan demokrasi kerakyatan era akhir 80an-90an bahwa kaum anarko hanya jadi benalu bagi perjuangan demokrasi kerakyatan.

Meski beberapa kali bertemu sebagai satu kesatuan massa aksi—tentunya berbaris sendiri-sendiri—anarko sindikalis beroposisi terhadap perjuangan kami.

Kami percaya bahwa gerakan buruh butuh—dan hanya akan berhasil di bawah—kepemimpinan kepeloporan politik partai kelas pekerja. Sebaliknya, anarko sindikalis berpandangan bahwa pewadahan kepeloporan politik seperti itu (parpol kelas pekerja berkesadaran maju) adalah bentuk lain penindasan.

Hakikat anarko-sindikalis adalah asosiasi merdeka kelas pekerja;  aliansi setara dan saling menguntungkan antara pekerja dan antarkolektif pekerja. Karena itu perjuangan utama mereka adalah mengorganizir direct action, yaitu pemogokan-pemogokan yang melibatkan seluas-luasnya buruh, tanpa perwakilan para pejabat serikat (otoritas yang juga mengkooptasi buruh), apalagi partai vanguard kelas pekerja.

Jadi saya—dan kawan-kawan seperjuangan saya—dalam pandangan anarko-sindikalis adalah “musuh” sebab menurut mereka kami membangun bentuk lain otoritas yang mengkooptasi buruh.

Gagasan anarko-sindikalis, meski sangat manis, pada dasarnya adalah utopia. Utopia sering diartikan sebagai kondisi ideal yang mustahil terwujud.

Tetapi bagi saya, lebis pas mengatakan dalam setiap utopia terkandung distopia. Sebenarnya ini bukan pandangan saya melainkan contekan dari pendapat anak saya yang kini sudah berusia 11 tahun itu.

So, jangan karena artikel ini saya dituduh seorang anarko-sindikalis.

Tetapi andai saya seorang anarko-sindikalis, yang akan saya lakukan di momentum pandemi ini adalah mendorong aksi-aksi solidaritas antarwarga.

Ada banyak bentuk aksi solidaritas antarwarga yang bisa didorong sebagai “praktik anarkis” mengatasi pandemi corona. Misalnya dengan gerakan menanam pangan dan budidaya ikan air tawar di halaman rumah dan membangun sistem pertukaran di internal komunitas.

Dengan cara ini, pemenuhan kebutuhan gizi di tengah pembatasan sosial bisa dilakukan secara mandiri, berbasis pertukaran produk. Cabe ditukar dengan sayur; ketimun dengan tomat; telur ayam dengan jasa memperbaiki genteng bocor; dll.

Jangan dikira aksi-aksi seperti ini tidak ideologis. Jika Anda mengkritik tatanan lama, Anda perlu pula membangun praktik-praktik yang mencerminkan tatanan baru.

Mengorganiziri aksi kolektif mengatasi pandemi seperti di atas justru menciptakan landasan atau contoh nyata bahwa sindikat produsen a la masyarakat anarkis–dalam masyarakat anarkis setiap orang menjadi produsen yang terlibat pertukaran tanpa eksploitasi– lebih unggul dibandingkan menyerahkan segala urusan ke tangan negara. Apalagi jika terbukti negara gagal menjamin ketersediaan kebutuhan pokok.

Sebaliknya, mengorganisir graffti action dengan slogan-slogan mencekam, atau bahkan—seperti tudingan polisi—memprovokasi penjarahan, justru akan berujung peran negara kian dominan. Rakyat banyak akan secara sukarela menukar kebebasannnya dengan jaminan ketentraman yang diberikan negara. Maka hasil akhirnya 180 derajat melawan cita-cita anarko-sindikalis.

Jadi, munculnya aksi graffiti di sejumlah tempat hemat saya bukan murni dilakukan kalangan anarko sindikalis. Ada tiga kemungkinan di balik peristiwa ini.

Pertama. Jika benar itu aksi kelompok anarko, maka kaum anarko-sindikalis sedang berada di bawah pengaruh pemikir-pemikir yang salah menimbang kondisi.

Jika benar demikian, maka untuk mengindari salah taktik ini kian jauh menjadi aksi-aksi petualangan yang berujung kehancuran, kaum anarko-sindikalis perlu membangun diskusi lebih serius tentang prinsip-prinsip metode perjuangan.

Penting untuk mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan taktikal tentang apakah taktik ini bisa “memukul lawan lebih keras dari pukulan mereka terhadap rakyat dan kaum anarko-sindikalis”; bagaimana imbangan kekuatan di tengah rakyat; apakah ada stamina untuk perjuangan panjang ataukah akan kalah oleh kelelahan di tengah pertempuran; serta bagaimana respon kelompok-kelompok gerakan lainnya terhadap inisiatif ini berdasarkan sejarah dan strategi-taktik masa kini mereka.

Saya yakin jika hal-hal di atas didiskusikan dengan benar, aksi-aksi graffiti bernada teror dan provokasi penjarahan tidak mungkin ditempuh sebab ujungnya hanya berakhir buruk  dan bertolak belakang dengan cita-cita perjuangan.

Kedua. Boleh jadi kelompok anarko-sindikalis telah disusupi oleh “negara” atau oleh kekuatan lain untuk mensabotase perjuangan—mengaborsi sebelum matang—atau membajaknya untuk kepentingan yang justru bertolakbelakang dengan kepentingan, cita-cita, dan prinsip kaum anarko.

Penyusupan, sabotase, dan pembajakan gerakan rakyat dan kelompok kritis adalah wajar, dan terus terjadi sepanjang sejarah perjuangan demokrasi di negeri ini pun negeri-negeri lain.

Ketiga. Mungkin pula kaum anarko sindikalis sama sekali tak tahu menahu soal  grafitti action dan rencana penjarahan itu. Bisa jadi nama dan logo mereka cuma digunakan kelompok tertentu sebagai kambing hitam.

Jika poin yang kedua dan ketiga yang mungkin sedang terjadi, maka siapa di balik semua ini?

Entahlah. Analisis saja siapa kelompok yang paling diuntungkan oleh perubahan watak negara menjadi bonapartis.

Yang jelas di ranah daring sudah berkembang prakondisi berupa wacana yang menakut-nakuti rakyat bahwa ada yang hendak membuat kekacauan dan menargetkan kekuasaan; dan ada pula yang sempat memperjuangkan agar presiden menimbang opsi darurat sipil.

Dalam dunia si Pengkor, oligark lincah meliuk-liuk menggerakkan banyak alat.



You cannot copy content of this page.

If you need copy of the content, please contact me at gegehormat@gmail.com.