Mengenang Maya Angelou yang Sebesar Pramoedya

Diolah dari foto halaman buku Maya Angelou: Poet

Hari ini, 28/05, ketika publik daring Indonesia sedang ramai oleh pro-kontra belia Iqbaal Ramadhan hendak memerankan Minke dari Bumi Manusia PAT yang akan difilmkan Hanung, empat tahun sudah seseorang yang sebesar Pram pergi untuk selamanya.

Maya Angelou sebesar Pramoedya Ananta Toer, bukan saja dalam karya-karyanya, tetapi juga dalam keterlibatan memperjuangkan kemanusiaan. Angelou, perempuan kulit hitam dari Amerika Serikat itu, burung yang bernyanyi indah dalam sangkar itu, telah merdeka selamanya 28 Mei 2014 lalu.

Dalam pelantikan Presiden Bill Clinton dulu, ada sebuah mata acara tak lazim dalam protokoler pelantikan Presiden AS. Maya Angelou membacakan puisinya, “On the Pulse of Morning.” Pembacaan puisi saat inagurasi presiden baru pernah terjadi lagi dalam sejarah semenjak pelantikan John F. Kennedy, 1961. 

Om-Tante bisa mencari sendiri informasi tentang Maya Angelou di google. Saya menggunakan beberapa untuk artikel ini.

Sebagai sumber utama, saya pakai bantuan buku William L. Andrews (ed) (Maya Angelou’s I Know Why The Caged Bird Sings: a casebook. 1999) dan buku Maya Angelou: Poet (Vicki Cox, 2006) untuk seri Black Americans of achievement: legacy edition. Hanya 20-an tokoh kulit hitam Amerika Serikat yang masuk dalam daftar ini. Artinya untuk ketokohan kulit hitam, Maya setara Marthin Luther King, Jr, Malcom X, Jimi Hendrix, Bob Marley, dan Mohammed Ali.

Maya Angelou lahir dengan nama Marguerite Annie Johnson pada April 1928. Ia penyair, penyanyi, aktris teater, penulis, dan aktivis hak asasi manusia terkemuka di Amerika Serikat. Karya-karya Angelou baik otobiografi, esai, pun puisi telah menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah. Namanya dicantumkan dalam daftar kredit banyak film.

Yang memasyurkan Angelou adalah 7 seri otobiografinya. Karya itu dianggap mengawali era baru otobiografi yang ditulis seperti novel-novel epik. Saya memiliki tujuh seri itu dalam format digital (pdf dan epub). Saya juga punya versi lengkap dari hampir selusin antologi tunggal puisi-puisinya, bahkan satu kumpulan esai. Kita akan bercerita soal kekuatan karya Aggelou nanti, di bagian akhir.

Sebelum jadi penyair, Maya Angelou adalah bagian dari kelas pekerja yang harus bertarung untuk sekedar sesuap nasi. Ia pernah menjadi pekerja restoran, penari klub malam bahkan pekerja seks.

Saat menjadi pelayan di Hi-Hat Club yang berisi pekerja seks, pelaut, dan pencuri, Maya mulai berkenalan dengan sastra progresif. Ia membaca Dostoevsky, Chekhov, dan Maxim Gorki.

Pada 1959, saat bekerja sebagai penari di klub Malam, Angelou mulai menulis lirik lagu dan cerita pendek. Ia menulis lagunya dan rekaman 6 lagu untuk for Liberty Records. 

Pada tahun itulah ia bertemu novelis kulit hitam Amerika, John Oliver Killens yang mengajaknya ke New York untuk bergabung dalam Harlem Writers Guild. Di klub ini ia berjumpa para novelis hebat kulit hitam AS.

Pada 1960, Maya dan Killiens mendengar ceramah Martin Luther King Jr dan terinspirasi untuk mengorganisasikan Cabaret for Freedom sebagai unit pendanaan Southern Chiristian Leadership Conference (SCLC), organisasi perjuangan hak sipil yang dipimpin Martin Luther. Pada periode ini pula Angelou menjadi seorang Castrois, pendukung Fidel Castro.

Perjumpaan dan jalinan asmara dengan aktivis terkemuka hak sipil Afrika Selatan Vusumzi Make membawa Maya pindah ke Kairo dan bekerja sebagai editor Arab Observer (1961).

Itu hubungan asmara tanpa menikah yang singkat. Keduanya berpisah pada 1962. Maya pindah ke Accra, Ghana dan bekerja di Universitas Ghana dan menjadi editor feature untuk The African Review sambil menjadi jurnalis lepas di koran dan radio, serta artis di Teater Nasional Ghana.

Angelou telah menjadi teman dekat Malcom X dan memanggil tokoh pergerakan itu sebagai brother sejak kunjungan pertama Malcom ke Ghana. Pada 1965, Angelou pulang ke Amerika dan membantu Malcom dalam masa-masa awal organisasi Pan-Afrika, Organization of Afro-American Unity (AAOU).

Ketika Malcom ditembak mati, Angelou merasa sangat putus asa. Ia meninggalkan dunia pergerakan, kembali menjadi penyanyi dan bekerja sebagai peneliti bisnis.

Tetapi kerusuhan 1965 mengembalikan Angelou ke dunia tulis-menulis. Kawan-kawan lama, Rosa Guy dan James Baldwin membantu Angelou secara moral dan finansial. Dua nama ini raksasa kulit hitam dalam dunia kepenulisan, sastra, dan teater yang wajib Om-Tante tahu.

Angelou juga kembali dekat dengan Martin Luther King Jr dan sempat diminta Martin Luther untuk mengorganisasikan unjuk rasa pada 1968.

Sebelum Maya Angelou sempat mengorganisasikan unjuk rasa itu, Martin Luther King Jr. ditembak mati. Tepat di hari ultah Maya. Setelah Malcom X, kini Martin Luther. Hati Angelou hancur berkeping-keping. Ia begitu frustrasi.

Beruntunglah Angelou. Ia memiliki sahabat-sahabat sejati yang membantunya kembali bangkit. Ada dua nama sangat penting dalam periode kejatuhan ini. James Baldwin—yang telah bersabat dekat sejak pertemuan di Paris 1960, Angelou memanggilnya my brother—dan Jessica Mitford.

Baldwin dan Mitford setia mendukung selama Angelou menulis otobiografi yang awalnya merupakan terapi penyembuhan dari kesedihan mendalam oleh kematian Marthin Luther King Jr, kematian yang mengorek pula luka oleh kematian Malcom X beberapa tahun sebelumnya.

Jessica ‘Becca’ Mitford adalah satu dari tiga sahabat perempuan terdekat Angelou. Dua yang lain adalah Dolly McPherson dan M.J. Hewitt. Becca adalah orang pertama yang membaca dan memberi masukan naskah I Know Why the Caged Bird Sings sebelum dikirim ke penerbit.

Kiri ke kanan: Dolly McPherson, M.J. Hewitt, Jessica Mitford, Maya Angelou. Sumber: Sumber: pinterest.co.uk/Mark BergsmaJon Snow—yang jurnalis dan presenter tv, bukan karakter fiktif dalam A Song of Ice and Fire, pentalogi yang buku pertamanya Om-Tante tonton sebagai Games of Thrones—pernah bercerita tentang kedekatan dua sahabat ini.

Ketika negara bagian Arkansas di puncak segregrasi rasial, Becca yang aristokrat kulit putih mengendari mobil di tengah kota. Di sampingnya Maya yang Afro-Amerika duduk. Sudah pasti mereka ditilang polisi sebab saat itu kulit hitam dan kulit putih semobil adalah pelanggaran undang-undang.

Ketika ditanya polisi, Becca mengaku jika Maya adalah anaknya. Polisi bingung, selain karena beda kulit juga karena Becca hanya 11 tahun lebih tua dari Maya. “Bagaimana bisa begitu?” tanya Pak Polisi. “Hal ini baru saja terjadi, lelakiku sayang,” jawab Becca dengan bandelnya.(1)

Oh iya, Om-Tante. Dirimu wajib kenal Jessica ‘Becca’ Mitford ini, terutama jika dikau menganggap diri penulis atau jurnalis. Jurnalis yang tak mengenal Jessica—berarti tak membaca The American Way of Death dan sudah pasti tak mengerti jurnalisme investigatif—pantas masuk neraka yang lebih kelam dari neraka para teroris. 

Saya menahan diri untuk menulis banyak di sini tentang Becca atau tentang Mitford family yang merupakan ikon penting dalam pop kultur. Ingatkan saya untuk menulis tentang ‘raksasa’ ini saat mengenang kematiannya Juli nanti.

Saya hanya mau sampaikan—agar Om-Tante punya bayangan seberapa penting sosok Jessica dalam dunia tulis menulis—bahwa tanpa Jessica, tak ada Harry Poter.

Tentang Jessica, J.K. Rolling berkata—saya terjemahkan bebas agar enak bacanya– “Penulis yang paling mempengaruhi hidup saya, tanpa ragu, pastilah Jessica Mitford. Dia sudah jadi pahlawan saya sejak saya berusia 14 tahun, ketika nenek-bibi (grand-aunt, maksudnya) memberikan saya Hons and Rebels (otobiografi Jesika, 1960). Dia membawa kamera, lari dari rumah untuk ikut bertempur dalam Perang Sipil Spanyol. Saya berharap saya bisa seperti itu. Dia selamanya benar dengan politiknya, seorang sosialis seumur hidup. Saya telah membaca semua bukunya. Saya bahkan menamai putri saya dengan namanya, Jessica Rowling Arantes.”(2)

Ok, kita kembali ke Maya Angelou. Nama-nama di atas, orang-orang dalam lingkaran hidup Maya adalah tokoh-tokoh pergerakan dan penulis besar dunia. Ini menggambarkan kaliber besar Maya, baik dalam dunia kepenulisan, pun dalam pergerakan.

I Know Why the Caged Bird Sings 

Pada 1969, I Know Why the Caged Bird Sings terbit. Awalnya para kritikus menyangka itu novel fiksi biografi. Tetapi kemudian mereka sadar, itu sebuah otobiografi. Sebuah otobiografi yang ditulis dengan begitu indahnya, menyerupai novel-novel epik.

I Know Why the Caged Bird Sings adalah buku pertama dari 7 seri otobiografi. Buku ini menceritakan kehidupan Angelou sejak 3 hingga 17 tahun. Itu masa setelah kedua orang tua yang diambang perceraian mengirim Angelou diasuh neneknya di Stamp, sebuah kota kecil di Arkansas.

Saat itu Arkansas adalah negara bagian yang sangat ketat memberlakukan segregasi rasial, warga kulit hitam diperlakukan sangat diskriminatif.

I Know Why the Caged Bird Sings segera sukses di pasar. Angelou menjadi perempuan Afro-Amerika pertama yang bukunya masuk dalam daftar nonfiksi terlaris New York Times.

Ada sejumlah hal yang menjadi kekuatan buku ini.

Pertama, ini cara unik Angelou menceritakan kondisi ketertindasan kaumnya, warga kulit hitam Amerika Serikat. Angelou melakukan dengan mengangkat kisahnya sendiri, pengalaman hidupnya sebagai anak-anak dan kemudian remaja kulit hitam, dan peristiwa-peristiwa, realita di sekitarnya.

Angelou membuktikan bahwa betapapun kelam hidup seseorang, ia bisa menjadi kisah menarik yang tidak hanya laris dijual untuk keuntungan diri sendiri tetapi juga menginspirasi orang untuk mengubah hidup dan kondisi sosial.

Angelou melakukannya dalam semangat positif. Bukan sebagai bird in the cage yang meraung-meraung meneriakkan kekelaman hidup, tetapi sebagai bird singing yang menunjukkan kekuatan menghadapi hidup yang berat.

James Baldwin sahabatnya itu mengomentari buku ini sebagai “a beginning of a new era in the minds and hearts of all black men and women.” Kritikus mengatakan buku ini mengagumkan sebab menghadirkan “inner truthfulness.”

Sejumlah kritikus, dikutip Vicki Cox, menyebutkan kekuatan otobiografi Angelou terletak pada “is not in the story but the telling” dan Angelou “writes like a song and the truth.”

Angelou bukan menulis. Ia melukis. Angelou melukis dengan kata-kata.

Jika Angelou bercerita tentang keindahan pantai, ia tidak menuliskannya sebagai indah atau dengan metafor dan gambaran klise. Ia seperti membawamu duduk di tepi pantai, membiarkanmu melihat sendiri. Lalu kesan dan makna meresap masuk ke dalam hatimu, dan tahulah dirimu seperti apa keindahan itu.

Lihat bagaimana ia menceritakan kondisi para pemuda dalam foto layar berikut.

Foto halaman I Know Why the Caged Bird Sings, p.18

I try to pull the language into such a sharpness that it jumps off the page,” kata Angelou. (Cox, p.7)

Lihatlah cara ia menggambarkan dirinya. “Too-big Negro girl, with nappy black hair, broad feet and a space between her teeth that would hold a number-two pencil.” Ia tidak mengatakan perempuan bergigi jarang. Ia gunakan pensil ukuran besar untuk membantu menciptakan efek visual. Terbayangkanlah bagaimana gigi-gigi itu berbaris pada gusinya, renggang seperti pelajar sekolah merentangkan tangan ketika hendak berolahraga. 

Angelou membuat kita dapat membayangkan suara ayahnya dengan “rang like a metal dipper hitting a bucket.” Saya jadi bisa membayangkan bagaimana cempreng dan tidak enaknya suara ayah Angelou.

Hal-hal ini yang membuat otobiografi Angelou sangat indah dan laris sedunia.

Baiklah. Artikel ini sudah terlalu panjang. Semoga bahagia di ujung sana, Maya Angelou, di tempat tanpa segregrasi sosial, di tempat yang hanya kebahagiaan bagi jiwa-jiwa sebab tiada sekat agama, kelas, ras, atau apapun. 

Saya tutup artikel ini dengan Puisi Maya Angelou, “To a Freedom Fighter

You drink a bitter draught.
I sip the tears your eyes fight to hold,
A cup of lees, of henbane steeped in chaff.
Your breast is hot,
Your anger black and cold,
Through evening’s rest, you dream,
I hear the moans, you die a thousands’ death.
When cane straps flog the body
dark and lean, you feel the blow.
I hear it in your breath.




You cannot copy content of this page.

If you need copy of the content, please contact me at gegehormat@gmail.com.