Ada tiga hal yang menjadi tantangan gerakan buruh Indonesia saat ini: peran dan posisi negara serta karakter rezim, karakter massa buruh, dan kemunculan kontradiksi perifer menjadi pokok.
Menelusuri pustaka, saya temukan paper yang sudah lama ditulis Joan M. Nelson, “Organized Labor, Politics, and Labor Market Flexibility in Developing Countries.” Ini laporan riset yang dipublikasikan dalam jurnal The World Bank Research Observer, vol. 6, no. I (January 1991).
Dari penelitiannya atas kondisi sejumlah negara di era 1980an, Nelson membuktikan pola pendekatan pemerintah yang berbeda-beda berdasarkan tipe rezim berdampak pada perbedaan strategi buruh sebagai responnya.
Nelson melihat kekuasaan negara bersifat relasional. “Power is relational,” katanya. Kekuatan pemerintah, sikap dan basis dukungan, serta strategi pemerintah terhadap pasar tenaga kerja turut membentuk kekuatan, otonomi, dan orietansi gerakan buruh sebab serikat buruh menyesuaikan tindakan (strategi perjuangan) dengan konteks politik.
Nelson tidak menyebutkan dari mana ia berasumsi power is relational. Juga tidak terdapat dalam catatan kaki atau bibliografi yang digunakan. Cacat ilmiah sebenarnya.
Tetapi saya berani menduga, asumsi negara yang seperti itu ia dapatkan dari Jessop. Adalah Bob Jessop yang memperkenalkan strategic relational approach (SRA) dalam memahami negara. Pendekatan itu melihat state power sebagai relasi sosial, sebagai dampak sekaligus—sebaliknya–sebagai medan pertarungan, ruang yang mewadahi sekaligus membatasi kelas-kelas sosial dalam menjalankan strategi memperjuangkan kepentingannya.
Pendekatan strategic relational itu sendiri Jessop kembangkan salah satunya dari Poulantzas. Poulantzas adalah teoritikus negara dari kubu strukturalis Marxist. Kubu ini mengembangkan pemikiran Althusser dan Gramsci yang mengembangkan sisi strukturalis dalam teori negara Marx.
Teori negara Marx memang memiliki dua sisi. Sisi strukturalis dan sisi instrumentalis. Sisi yang kedua dikembangkan Ralf Milliband.
Nelson memetakan dua jenis pendekatan atau tiga taktik pemerintah dalam menaklukkan serikat buruh, untuk memastikan kepentingan kelenturan pasar tenaga kerja diterapkan.
Pendekatan pertama adalah membangun pakta sosial. Pendekatan ini mengombinasikan dua taktik: persuasi dan konsesi terbatas. Pendekatan pakta sosial merupakan favorit rezim demokratis.
Om-Tante bisa meminjam penjelasan Anke Hassel untuk mendapatkan gambaran lebih detil tentang pendekatan pakta sosial pemerintah dalam menaklukan serikat buruh.
Dalam papernya “The Politics of Social Pacts” (British Journal of Industrial Relations, Des 2003. pp 707-726), Hassel menjelaskan pendekatan pakta sosial antara pemerintah dan buruh dari sudut pandang teori Neo-corporatist.
Teori ini menjelaskan—dan menyarankan—pemerintah membuat kebijakan publik yang memberi ruang kepada kelompok kepentingan (serikat buruh) untuk mengartikulasikan kepentingan mereka secara konstitusional—dengan cara yang disepakati publik—dan dengan begitu serikat buruh didorong untuk meninggalkan strategi perjuangan militan seperti pemogokan dan unjukrasa.
Pendekatan ini efektif kepada serikat-serikat buruh terpusat dan besar sebab disertai konsesi tambahan berupa monopoli representasi dalam lembaga-lembaga perwakilan.
Kom Moody dalam bukunya Workers in a lean world (Biddies Ltd, 1997) menyinggung pula soal neo-corporatism ini sebagai konsep ‘social partner‘ yang melucuti ‘senjata’ (disarm) serikat-serikat buruh tradisional (old union, pure and simple unionism). Serikat-serikat buruh di Eropa Barat terpaksa menerima konsep ini (1970an hingga awal 1980an) sebagai strategi bertahan dari krisis yang menghancurkan perannya sebab dengan menerima posisi sebagai partner, mereka mendapat imbalan berupa proteksi negara.
Jika Om-Tante akrab dengan isu perburuhan, pandangan neo-corporatist ini tentu mengingatkan kepada –salah satunya–Dewan Pengupahan.
Ya, Om-Tante. Dewan Pengupahan, Perumahan Buruh, BPJS Kesehatan, Hak berserikat sering sekedar es krim yang ditukar dengan kerelaan untuk tidak bermain di saat hujan, adalah hot wheels cantik sebagai hadiah mau membaca buku hingga tuntas, atau jalan-jalan ke wahana permainan setelah menuntaskan seluruh PR dengan baik.
“Kalau kamu tidak main di luar sore ini, besok mama belikan es krim lho.”
Buruh diberikan sesuatu sebagai ganti mengorbankan sesuatu yang lain. Pertukaran terjadi, kesepakatan ditegakkan.
Maka tidak perlu bingung, mengapa akomodasi terhadap prinsip-prinsip kelenturan pasar tenaga kerja dan likuidasi alat-alat perjuangan tradisional serikat buruh (mogok, boikot) dilakukan bersamaan dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak berserikat dan pelibatan buruh di dalam Dewan Pengupahan, atau dalam bentuk paling vulgar jamuan makan di istana dan terbang sepesawat dengan presiden.
Pendekatan kedua—kita kembali ke Nelson–yang dilakukan negara terhadap gerakan buruh adalah pendekatan containment. Nelson tidak menjelaskan cukup tentang pendekatan ini selain bahwa taktik represif ini merupakan favorit rezim otoriter plus sejumlah contoh kasus di Amerika Latin dan Asia.
Untuk mendapatkan gambaran lebih detil pendekatan ini, terutama dalam sejarah, kita bisa membaca paper Rick Hurd, “New Deal Labor Policy and the Containment of Radical Union Activity” (Review of Radical Political Economics, 8(3) 1976).
Sedikit catatan, perhatikan bagian analitycal framework. Hurd katakan “This paper accepts the thesis that the state serves the interests of capital. This is not to say that capitalists control the state apparatus, but rather that the state is committed to the preservation of the capitalist system, making such direct control unnecessary.”
Itu adalah pernyataan tersurat yang menjelaskan posisinya sebagai seorang strukturalis (the state is committed to the preservation of the capitalist system) dan bukan seorang instrumentalist (capitalist control the state apparatus).
Karena dikembangkan oleh Poulantzas yang murid langsung Louis Althusser plus menerima gagasan hegemoni Gramsci, pendekatan ini cukup peka dalam membaca peran negara mempertahankan keberlangsungan kapitalisme—terlepas dari pengaruh kaum kapitalis di dalam struktur pemerintahan—dengan perangkat ideological state apparatuses dan repressive state apparatuses (ISA dan RSA).
Hurd membahas gerakan pendulum pendekatan pemerintah (Amerika Serikat) terhadap gerakan buruh, dari represif (pra 1930an) ke akomodatif (new deal policy pasca depresi besar) dan ke keseimbangan antara koersif dan demokratis (pasca perang dunia kedua).
Di ujung, pada kesimpulan, Hurd mendukung dan membuktikan hipotesis bahwa 1) peran regulasi ketenagakerjaan adalah membatasi atau mengarahkan kegiatan serikat buruh agar sejalan dengan sistem kapitalisme; 2) tujuan dari legislasi adalah membatasi ruang gerak serikat buruh radikal; 3) keterlibatan langsung negara dalam perjuangan yang sedang berlangsung antara tenaga kerja dan modal diperlukan untuk melindungi kepentingan modal.
Kesimpulan Hurd ini ternyata berulang lagi dalam penelitian Nelson beberapa dekade kemudian, yaitu bahwa baik rezim demokratis, pun rezim otoriter memanfaatkan perundang-undangan untuk melegitimasi tindakannya, memberi konsesi sekaligus membatasi ruang gerak buruh.
Satu catatan penting soal rezim demokratik dan otoriter adalah karakter rezim ini tidak selalu melekat pada fraksi borjuasi yang berkuasa. Rezim yang pada awalnya demokratis dapat berubah menjadi otoriter. Perubahan karakter ini bergantung kepada kondisi kapitalisme. Ketika kapitalisme dalam kondisi krisis dan membutuhkan pemulihan, dan pemulihan itu butuh stabilitas, rezim demokratis dapat berubah menjadi otoriter.
Cerdik pandai terkemuka masa kini yang sering membahas ini adalah William I. Robinson, profesor yang rajin menulis untuk Aljazeera. Salah satu ulasan populer Robinson adalah “Crisis of Humanity: Global Capitalism Breeds 21st Century Fascism” (truth.com). Menurut Robinson, wajah fasisme abad 21 berupa militerisme, maskulinisasi ekstrim, homofobia, rasisme, dan mobilisasi rasisme melawan kelompok-kelompok yang dijadikan kambing hitam atas krisis ekonomi adalah modalitas kontrol sosial negara untuk mengatasi dampak krisis ekonomi. Saya pernah mengulas ini di suatu media daring ketika terkejut membaca pernyataan Moeldoko yang dimuat Kompas (“Moeldoko: Investasi Terancam, TNI Turun Tangan”, 4/9/2013).
Tentang pergeseran karakter negara (perubahan rezim) antara demokratis dan otoriter juga telah lama diulas cerdik pandai besar seperti Stuart Hall (Policing the Crisis, 1979) atau David Harvey yang bukunya telah lama terbit dalam bahasa Indonesia, Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis (2009).
***
Sejak 1997, rezim di Indonesia adalah demokratis. Pendekatan terhadap gerakan buruh juga demokratis pakta sosial. Hal itu tercermin dalam paket UU Ketenagakerjaan yang dibahas dalam artikel sebelumnya, yang berisi trade-off antara pembatasan dan pemberian ruang kepada serikat buruh, antara konsesi dan tuntutan kepatuhan terhadap ruang yang diberikan.
Kondisi ini menguntungkan serikat-serikat buruh moderat yang sedikit beralih seolah-olah radikal dengan menerima kembali metode perjuangan aksi massa namun tetap mempertahankan penyambutan mereka terhadap neo-corporatism.
Serikat-serikat besar bekas serikat buruh kuning itu mendapat tempat terhormat dalam Dewan Pengupahan dan tuntutan-tuntutan mereka (seperti upah minimum sektoral) mudah diakomodir. Para pemimpinnya sering diberikan panggung bersama elit. Itu memberikan kepercayaan kepada buruh bahwa perjuangan melalui serikat-serikat seperti ini lebih mudah meraih kemenangan.
Sementara serikat-serikat buruh independen yang radikal dan sempat menuai massa besar satu dekade setelah reformasi 1998 kembali kehilangan pengaruh. Itu tampak dalam kekuatan mobilisasi dalam aksi-aksi 1 May kian kecil dibandingkan mobilisasi bekas serikat buruh kuning.
Perwakilan mereka sering ditolak dalam pertemuan bipartit di tingkat pabrik, juga dipertanyakan legalitasnya dalam tripartit. Ruang gerak organisasi mereka dibatasi. Inilah mengapa ada klausul mekanisme penyelesaian konflik antara serikat buruh dalam UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Dalam risetnya, Nelson memang menemukan salah satu taktik rezim adalah memecah belah serikat buruh dan memberi dukungan kepada serikat buruh yang bersedia menerima neo-corporatism.
Sampai ke bagian ini, kita belum dapat bicara banyak tentang bagaimana seharusnya serikat buruh, terutama serikat buruh independen mengubah strategi dan taktik perjuangannya.
Serikat-serikat buruh bekas serikat buruh kuning tampaknya memilih strategi beraliansi dengan kutup-kutup politik yang ada. Ada yang ke Prabowo, ada yang Jokowi. Mereka akan kembali menjadi serikat buruh kuning (seperti SPSI di zaman Orba). Mereka berharap imbalan akses pada kekuasaan, pada pengambilan kebijakan publik. Tetapi di satu sisi, dalam sejarah gerakan buruh di negara-negara maju, taktik itu sekaligus mengikatkan belenggu ke tangan sendiri sebab pakta sosial selalu menuntut trade-off.
Kelak—semoga bisa sesegera mungkin—kita akan membahas dua faktor lain yang menjadi tantangan serikat buruh, yaitu perubahan karakter massa buruh oleh perubahan model-model hubungan kerja dan tingkat kesejahteraan, serta faktor kontradiksi pinggiran yang berubah menjadi kontrakdiksi pokok berupa penguatan sentimen politik tua—fundamentalis—yang tidak terhindarkan berdampak kepada strategi serikat buruh ke depan.
It was also published on Kompasiana.