Kritik Penerus, Ahok atau Susi yang Patut Diteladani?

Susi Pudjiastuti, Anies Baswedan, Basuki Tjahaja Purnama [Diolah dari Kompas.com]

“Kita harus percaya, Pak Anies itu lebih pintar ngatasinya.” Demikian jawaban singkat Basuki Tjahaja Purnama saat ditanya wartawan komentarnya terkait perdebatan antara konsep dan pendekatan naturalisasi versus normalisasi dalam mengatasi banjir Jakarta.

Bagi telinga sebagian orang, pernyataan Ahok ini bentuk sindirian. Makna sejatinya seperti ujaran khas warganet dalam perdebatan di kolom komentar banyak artikel dan posting media sosial tentang Jakarta. 

“Kan yang penting gubernur yang seimron.” Orang menyangka itu sindiran karena terlontar dari mulut Ahok, tokoh yang diposisikan rakyat -saya kira sebagian tanpa sekendak Ahok- sebagai ikon karakter yang bertolak belakang dengan Anies. 

Jika Anies hitam, Ahok putih; jika Anies antagonis, Ahok protagonis; Anies Joker, Ahok Batman. Demikian pula sebaliknya.

Tetapi saya lebih percaya bahwa pernyataan Ahok itu tulus. Bukan tulus dalam makna Ahok sungguh percaya pada ucapan sendiri melainkan bahwa Ahok memang ingin pernyataan itu termaknai sebagaimana bunyinya.

Maksud saya, Ahok memang sedang menahan diri dari tindakan melontarkan pernyataan provokatif, menghindari menjadi kompor yang memperpanjang polemik di tengah-tengah warga. Hal ini sudah sering Ahok lakukan selepas penjara.

Seorang birokrat lokal yang kebetulan terlibat obrolan singkat di sela menjemput anak sepulang sekolah berkata kepada saya bahwa sikap Ahok yang seperti inilah sikap negarawan itu. Menurutnya seorang pemimpin publik tidak pantas mengkritik penggantinya.

Setahu saya, ini pula salah satu unsur definisi negarawan yang diyakini Susilo Bambang Yudhoyono. Saya ingat di masa panas-panasnya kampanye pilpres dahulu, SBY pernah mengkritik capres Prabowo Subianto dan orang-orang dekat Presiden Jokowi yang mempersalahkan kebijakan dan kepemimpinan presiden-presiden terhadulu.

Tetapi jika prinsip tidak mengkritik pendahulu ini kita amini sebagai ideal negarawan, maka itu berarti mantan Menteri KKP Susi Pudjiastuti adalah contoh buruk. Benarkah begitu?

Saya kira banyak orang setuju bahwa Ahok dan Susi Pudjiastuti adalah dua teladan utama pemimpin yang benar-benar bekerja. Terlihat jelas bagaimana mereka sungguh bekerja dan bagaimana pekerjaan itu memberi hasil dan berdampak. 

Tentu saja itu bukan berarti kebijakan dan pekerjaan keduanya memuaskan seluruh pihak.

Susi dan Ahok juga contoh tokoh yang tinggi spontanitasnya. Apa yang mereka rasa benar akan mereka lakukan dan katakan. Urusan kepantasan sebuah pernyataan dilontarkan sering tidak masuk prioritas pertimbangan mereka. 

Tetapi pernyataan terakhir Ahok yang menyarankan rakyat percayakan penanganan banjir kepada Anies Baswedan telah membelah Ahok dan Susi ke dua kutup ideal sikap negarawan.

Kita tentu tahu, Susi Pudjiastuti sangat getol dan lantang mengkritik kebijakan penggantinya, Edhie Prabowo. 

Banyak pernyataan pedas Susi lontarkan melalui akun media sosialnya, menyikapai wacana kebijakan ekspor benih lobster, penanganan kapal hasil sitaan dari nelayan asing, kekhawatiran mengutak-atik status teluk Benoa sebagai kawasan konservasi maritim, hingga yang terakhir aksi terobos nelayan Vietnam dan coast guard China terhadap wilayah ZEE Indonesia di perairan Natuna.

Kritik Susi terhadap sepak terjang Edhy Prabowo cukup merepotkan istana. Sampai-sampai tokoh-tokoh penting istana seperti Moeldoko dan Luhut Panjaitan harus bahu-membahu dengan para politisi Gerindra untuk membela Edhy Prabowo yang hanya dalam beberapa bulan sejak menjabat menteri sudah compang-camping profilnye oleh kritikan-kritikan Susi.

Apakah sikap Susi Pudjiastuti salah? Apakah seperti Ahok ia seharusnya menghindari berkomentar tentang problem-problem kelautan? Apakah ia juga harus bilang, percaya saja kepada Edhy Prabowo yang lebih pintar mengurui laut, ikan, dan nelayan?

Saya membela sikap Susi. Saya yakin, sebagaimana latar belakangnya yang sudah berkecimpung dengan dunia perikatan laut jauh sebelum menjadi menteri, problem kelautan dan industri perikanan adalah passion Susi. 

Diangkat menjadi menteri KKP di era pertama pemerintahan Joko Widodo hanya membuat dirinya lebih sering berada di bawah sorotan kamera dan mungkin menambah wawasan serta keluasan dan kedetilan kepeduliannya terhadap berbagai urusan kelautan dan perikanan. Penggantian dirinya tidak mengurangi semua ketertarikan dan kepentingannya pada urusan itu. 

Ya, sebagaimana kita tidak bisa melarang Alex Ferguson mengomentari dunia sepak bola dan perjalanan kekinian Manchester United, demikian pula tidak adil melarang Susi memperjuangkan keyakinannya terhadap kebijakan-kebijakan kelautan dan perikanannya serta menyuarakan keresahan-keresahaannya.

Lagi pula, semenjak Gerindra memilih bergabung ke pemerintahan dan menunjukan karakter sejati mereka sebagai juga kekuatan politik yang bahkan lebih  neoliberal dibandingkan kubu Joko Widodo yang dikritiknya -tampak melalui wacana pembukaan ekspor benih lobster-, publik butuh mencusuar baru; rakyat perlu “buzzer” kelas kakap agar keresahan-kerasahan mereka ikut tersuarakan di laman-laman surat kabar besar dan prime time news televisi. 

Susi hadir sebagai buzzer bagi rakyat, menggemakan keresahan rakyat terhadap kebijakan dan kondisi perikanan dan kelautan. Tentu saja bagi sebagian rakyat, bukan seluruh.

Terus, jika sikap Susi benar, apakah Ahok salah? Oh, tidak juga. Untuk konteks kebijakan penanganan banjir Jakarta, sudah tepat jika Ahok menahan diri agar tidak memperpanjang polemik. 

Sebab benarlah yang dikatakan menteri Basuki Hadimulyo bahwa entah naturalisasi atau normalisasi, yang perlu dilakukan Anies Baswedan adalah eksekusi.***

Sumber berita:
BPN Kritik Susi, Edhy Prabowo Akan Tetap Tenggelamkan Kapal
Tanggapi Kritik Susi Pudjiastuti soal Natuna, Ini Kata Moeldoko
Ahok: Kita Harus Percaya Pak Anies Lebih Pintar Atasi Banjir”
Basuki: Normalisasi atau Naturalisasi, yang Penting Eksekusi



You cannot copy content of this page.

If you need copy of the content, please contact me at gegehormat@gmail.com.