Patung-Patung di Kota Para Pahlawan Dicampakkan

Monumen Tirosa kala malam [Foto: Geo Madara,  instazu.com]

Adakah kota tanpa patung-patung? Entah. Mungkin saja di negeri-negeri yang diperintah kaum puritan. Atau siapa tahu Indonesia masa depan adalah distopia dalam kekuasaan rezim puritan yang takut patung sebab menyangka di dalamnya setan bersarang. Kalau sekarang, di kota sekecil apapun, kita temukan setidaknya satu atau dua patung berdiri.

Patung-patung didirikan tidak sekadar sebagai ornamen, pelengkap yang cuma berfungsi menghiasi kota. Patung-patung seringnya juga monumen. Ia membantu masyarakat kota mengenang masa lalu atau mengingatkan visi masa depannya. Patung tokoh-tokoh mengingatkan masa silam kota itu, tentang orang-orang yang berjasa membebaskan kota dan masyarakat sekitarnya dari belitan kesulitan dan derita, misalnya dari penjajahan. Ada pula patung yang menjadi simbol nilai-nilai dan prinsip hidup bersama yang dihormati masyarakat kota.

Sayangnya, sering kali masyarakat kota melupakan makna di balik patung-patung dan tugu-tugu. Lantas patung-patung dan tugu-tugu jadi sekadar ornamen tanpa makna, dilirik sebentar lewat jendela mobil yang melaju meninggalkan kepulan debu. Ini yang tampaknya terjadi di Kota Kupang. Banyak contoh bisa dijadikan bukti.

# Tiga Tokoh Penting Kalah oleh Bekas Kantor

Jika Anda tiba dengan penerbangan, Anda akan masuk Kota Kupang dari arah Timur. Keluar dari bandara El Tari, Tugu Adipura adalah ornamen kota yang pertama kali Anda jumpai. Berkendaraan 1,3 km, Anda tiba di Tugu Merpati. Itu adalah bundaran perpotongan antara Jalan Adi Sucipto dengan ujung Jalan Piet Tallo dan pangkal Jalan W. Z. Yohanes. Tak perlu tanyakan supir taksi nama kedua tugu ini, apalagi maknanya. Sangat mungkin mereka tak tahu.Yang mereka tahu adalah Bundaran Undana, mengacu pada kampus negeri beberapa ratus meter dari bundaran di Tugu Merpati.

Berkendaraan 3 km menyusuri Jalan Piet Tallo, Anda tiba di bundaran dengan patung tiga sosok manusia di tengahnya. Itu Patung Tirosa, singkatan dari Timor-Rote-Sabu. Patung ini adalah monumen pengingat persatuan tiga wilayah yang membentuk Kabupaten Kupang tempo dahulu (Kupang di Timor, Pulau Rote, dan Pulau Sabu). Sosok-sosok beton pada monumen itu adalah tokoh dari tiga wilayah tersebut: Prof. Dr. Herman Johannes (pahlawan nasional, mewakili Rote),  El Tari (gubernur NTT pertama, mewakili Sabu), dan Hendrik Arnold Koroh (raja Amarasi, wilayah di Selatan Kabupaten Kupang, tokoh penentang Belanda).

Monumen Tirosa adalah salah satu monumen terpenting di Kota Kupang saat ini sebab dianggap gerbang penyambut tamu yang masuk dari wilayah Timur (Bandara El Tari). Itu sebabnya Wali Kota Jefirstson R. Riwu Kore menggelontorkan anggaran Rp 7,8 miliar untuk merenovasi monumen dan mengembangkan taman di sekitarnya.

Tetapi jika hendak mengunjungi monumen tersebut, jangan Anda katakan kepada supir taksi hendak ke Monumen Tirosa atau Taman Tirosa. Mereka mungkin sekali tak mengetahuinya. Yang mereka tahu adalah Bundaran PU.

Disebut Bundaran PU sebab dahulu di sebelah selatan monumen tirosa terdapat kantor Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Kupang. Mungkin istilah itu diperkenalkan oleh para kondektur angkutan umum (konjak bemo) yang tidak terpelajar.

Lucunya, setelah ibu kota Kabupaten Kupang pindah ke Oelamasi–sekitar 40 km dari Kota Kupang–dan kantor PU kini lenyap berganti Hipermart, nama bundaran itu masih juga Bundaran PU. Bahkan jalan yang membentang sepanjang 2 km dari Taman Tirosa ke arah Selatan hingga bertemu Jalan W. J. Lalamentik disebut Jalan Bundaran PU. Entah kapan Pemkot mau berhenti latah mengikuti penyebutan kondektur angkot dan menggantinya dengan Jalan Tirosa atau yang lainnya.

Jika Anda masuk Kota Kupang melalui jalur laut, berkendaraan dari Pelabuhan Tenau, di ujung Jalan Pahlawan, setelah melewati Benteng Konkordia (kini markas YONIF 743), pada pertigaan tepat sebelum jembatan, terdapat tugu kecil berundak lima. Orang-orang Kupang menyebutnya Tugu Selam. Selam adalah nama kampung tempat tugu itu berada.

Ini kesalahan fatal yang bikin jengkel. Bagaimana bisa tugu sepenting itu bukan dikenali dengan nama aslinya, melainkan dengan nama kampung tempat keberadaannya?

Sebagian masyarakat mengenalnya dengan nama Tugu Pancasila. Itu pun masih salah. Andai sejarahwan Peter Rohi tidak terus-menerus mengingatkan, mungkin tak ada lagi yang tahu sejarah asli tugu itu.

Jangankan generasi masa kini, Ketua MUI NTT, Abdul Kadir Makarim yang sudah tinggal di Kupang semenjak 1963 pun baru tahu sejarah dan nama asli tugu itu pada 10 Desember 2017 setelah mendengar ulasan Peter Rohi dalam malam peringatan Hari HAM di sana. Puluhan tahun lamanya Abdul Makarim mengenal tugu tersebut sebagai Tugu Pancasila (SeputarNTT.com, 11/12/2017).

Menurut Sejahrawan Peter Rohi, nama yang benar adaah Tugu Hak Asasi Manusia, atau aslinya  Tugu Four Freedom.

Tugu ini dibangun pahlawan perang kemerdekaan asal Kota Kupang, Max Rihi. Ia adalah pemimpin para pejuang NTT yang terlibat mempertahankan Surabaya dalam pertempuran 10 November 1945.

Pascapertempuran Surabaya, Max Rihi dan para pejuang NTT mendengar Belanda dan Australia (sekutu) mendarat di Kupang dan menjadikan Benteng Konkordia sebagai markas pendudukan kembali Kota Kupang dari tangan Jepang. Belanda berencana agar Timor Barat tidak ikut diambil oleh Republik Indonesia yang baru berdiri.

Max Rihi dan kawan-kawan memutuskan kembali ke Kupang untuk merebutnya dari tangan sekutu. Tetapi rupanya para pejuang di Kupang dan raja-raja di Timor mendukung pasukan Belanda dan Australia demi pembebasan dari pendudukan Jepang yang kejam.

Beruntunglah, tokoh senior pergerakan kebangsaan saat itu, IH Doko menjemput Ketua Dewan Raja-Raja Timor, Hendrik Koroh agar berunding dengan Max Rihi dan para pemuda pejuang. Perundingan itu berhasil mencapai kesepakatan jalan tengah yang bersifat sementara. Bagian dari kesepakatan itu adalah didirikan Tugu Four Freedoms di jalan masuk ke benteng Konkordia, yang bertuliskan 4 kebebasan (four freedoms) yang harus dihormati tentara sekutu, yaitu–sebagaimana tertulis– freedom from fear (bebas dari rasa takut), freedom from want  (bebas dari kekurangan), freedom of worship (bebas beribadat), freedom of speech (bebas berbicara).

Keempat kebebasan tersebut merupakan unsur-unsur penting Hak Asasi Manusia sipil-politik yang dideklarikan Perserikatan Bangsa-Bangsa tiga tahun kemudian, 10 Desember 1948.

Menurut Opa Peter Rohi, dahulu hal pertama yang Presiden Soekarno lakukan saat berkunjung ke Kupang adalah mendatangi Tugu Four Freedom dan meletakkan karangan bunga di sana.

Presiden Soekarno paham, tugu itu bukan cuma bermakna penduduk Kota Kupang mendeklarasikan hak asasi manusia tiga tahun mendahului PBB. Tugu itu mengingatkan peran penting para pemuda pejuang kemerdekaan saat itu. Andai Max Rihi dan kawan-kawannya yang bertempur di Surabaya tidak segera kembali untuk mencegah Kupang jatuh ke tangan tentara Belanda dan Australia, mungkin saja saat ini NTT atau setidaknya Timor Barat, bukan bagian dari NKRI.

Baru pada 1949, untuk menghormati Bung Karno dan pidato-pidatonya, Max Rihi yang saat itu  Kepala Pekerjaan Umum Daerah Timor, Alor, Rote, Sabu dan Kisar menambahkan lima lingkaran pada tugu. Pada masing-masing lingkaran bertuliskan sila Pancasila.

Pemerintah pusat telah menjadikan Tugu HAM sebagai cagar budaya. Tetapi Pemkot Kupang sepertinya tak peduli. Jika bukan karena Lurah LLBK, Tugu HAM tak pernah direnovasi.

“Faktanya setiap HUT RI 17 Agustus tidak pernah ada pejabat daerah yang melakukan upacara penghormatan atau meletakkan karangan bunga di tugu itu. Untuk merenovasi saja kami gunakan dana sendiri,” ujar Mambo Rihi, Lurah LLBK (Liputan6.com, 27/10/2016).

#Para Pahlawan yang Dilupakan

Rakyat NTT patut bersyukur masih memiliki sejahrawan Peter Rohi yang tak pernah lelah mengingatkan jasa para pahlawan kemerdekaan dari NTT. Opa Peter–demikian kami memanggilnya–sudah sangat sering mengingatkan Pemprov NTT dan Pemkot Kupang untuk mendokumentasikan dan mensosialisasikan peran orang-orang NTT dalam perjuangan kemerdekaan.

Tetapi bagaimana respon pemerintah? Nol!

Patung-patung baru didirikan di Kota Kupang, banyak yang tak jelas maknanya. Ada patung sepasang lelaki dan perempuan di Pantai Ketapang yang diprotes karena dianggap berbau pornografi;  ada patung bunga bougenvile di Oebufu; beberapa patung Komodo; dan banyak lagi. Tetapi adakah patung Max Rihi?

Adakah patung Francisca Fanggidae, pejuang perempuan Indonesia yang ditugaskan pemerintah mengabarkan kemerdekaan Indonesia ke forum-forum dunia, juga yang bersama-sama Sofia Elisabeth Sijun memimpin Laskar Putri di Surabaya Utara dalam pertempuran 10 November?

Adakah patung bagi Aleksander Abineno yang merebut kapal Jepang Sugi Maru dan dijadikan Kapal Perang RI yang pertama dengan nama Merdeka — 1?

Adakah patung Martin Paraja, pelaut Marxist asal Sabu yang memimpin pemberontakan di kapal De Zeven Provincien pada 1933? Padahal pemberontakan itu menyumbang besar pada kebangkitan moral pejuang kemerdekaan. Saking pentingnya dampak pemberontakan itu, karakter pemerintahan kolonial berubah lebih represif, menggencarkan penggunaan pasal karet dan berujung pembuangan Soekarno ke Ende, serta Hatta dan Syahrir ke Digul.

Jangankan patung, bahkan nama jalan untuk para pejuang di atas tak saya temukan di Kota Kupang, pun di kota-kota lain di NTT.

Miris!

Saat ini Kota Kupang sedang rajin berbenah. Banyak ornamen kota dibangun: lampu-lampu hias dipasang; taman-taman baru dibangun, yang lama direvonasi; patung-patung dengan makna tak jelas berdiri. Sementara banyak pahlawan dari tanah ini, orang-orang yang membuat masyarakat di kota ini bisa dengan pongah menepuk dada sebagai manusia merdeka, tak mendapat tempat.***



You cannot copy content of this page.

If you need copy of the content, please contact me at gegehormat@gmail.com.