Siapa Benalu Demokrasi: Kaum Golput atau Para Kontestan dan Pendukungnya?

Golput, Pilpres, dan pemilu [Diolah apkpure.com]

Just stupid … benalu … psycho-freak!” Demikian Magnis Suseno mencap kalangan golput dalam pemilu dan pilpres lalu. Berhubung pilpres telah 99 persen usai dengan diputuskannya sengketa pilpres oleh Mahkamah Konstitusi, kiranya sudah tiba waktu yang tampan untuk mengevaluasi pilihan-pilihan sikap politik hari kemarin, termasuk soal golput versus dukung-mendukung.

Dalam pandangan Magnis, kaum golput adalah penumpang gelap, menikmati alam demokrasi tanpa mau ikut merepotkan diri memperjuangkan atau sekadar mempertahankannya.

Benarkah demikian? Ataukah, seperti tudingan balik kaum golput, adalah para kontestan hajatan pemilu dan pilpres berikut barisan tim suksesnya para pembajak demokrasi itu?

Permenungan ini didorong pula oleh dua kebetulan. Pertama, adalah film Iron Jawed Angles yang ditayangkan lagi HBO. Saya menontonnya lagi beberapa pekan lalu untuk mengisi waktu berleha-leha.

Kebetulan kedua adalah buku Social Movements and Democracy in the 21st Century. Ini karya anyar sosiolog Selandia Baru, Dylan Taylor, diterbitkan Palgrave Macmillan 2017 lalu. Saya baru menyadari lagi kehadirannya di rumah saat mengatur-mengatur buku seusai membeli rak baru.

Iron Jawed Angels adalah drama sejarah perjuangan Alice Paul, Lucy Burns, Inez Molholland, dan para perempuan aktivis hak sipil perempuan Amerika Serikat era 1910-1920. Mereka menuntut hak perempuan ikut memilih dalam pemilu (women’s suffrage).

Bukan perjuangan mudah. Bayangkan saja, tuntutan women’s suffrage di Amerika Serikat sudah kencang sejak konvensi Seneca Falls pada 1848. Lebih dari setengah abad kemudian barulah hak ini berhasil direbut oleh para aktivis perempuan generasi kedua. Itupun dengan perjuangan berdarah-darah: aksi-aksi demonstrasi yang berbuah pemukulan dan pemenjaraan, juga mogok makan dalam penjara.

Di banyak tempat dalam sejarah, demokrasi dalam tingkatan yang prosedural sekalipun adalah ruang bermain eksklusif para elit—politik dan ekonomi. Tidak semua grup sosial diperbolehkan terlibat. Bahkan di negeri demokrasi purba seperti kota-kota Yunani Kuno, partisipasi dalam pengambilan kebijakan publik adalah hak istimewa para patrician. Sementara perempuan, budak, pun warga kota lelaki merdeka yang bukan keturunan ayah-ibu kelahiran setempat dilarang ambil bagian.

Perubahan menjadi masyarakat lebih beradab yang mengakui hak semua golongan untuk terlibat dalam hajatan demokrasi hanya bisa terjadi melalui perjuangan panjang dan berat, tak pernah jadi hadiah sukarela kelas penguasa.

Pengorbanan dalam merebut demokrasi—sekalipun prosedural semata—merupakan salah satu alasan Magnis Suseno marah-marah kepada kalangan golput.

“Kita dengan susah payah berhasil mewujudkan demokrasi di Indonesia, tetapi Anda tak peduli politik,” tulis Magnis dalam “Golput” di Kompas,

Alasan Magnis yang lain adalah keterlibatan dalam hajatan demokrasi elektoral menentukan masa depan bangsa. Tentu pula masa depan individu-individu sebagai warga bangsa. Jika toh pemilu dan pilpres tak bisa menghasilkan yang terbaik, setidaknya ia mencegah degradasi kehidupan publik. Keterlibatan rakyat memilih dalam hajatan elektoral dengan memilih kandidat yang lebih sedikit mudaratnya (minus malum) mencegah yang lebih jahat berkuasa.

Tetapi justru oleh pendasaran bahwa demokrasi menentukan masa depan bangsa inilah banyak orang memilih jadi golput. Kalangan golput ideologis berangkat dari pertanyaan, benarkah pemilu dan pilpres berdampak mengubah masa depan bersama?

Seorang kawan dalam sebuah diskusi pernah melempar hipotesis: pemilu adalah momentum memperbaharui legitimasi kediktatoran secara sukarela.

Hipotesis ini ada benarnya, terutama jika partisipasi rakyat terbatas mencoblos. Gagasan-gagasan rakyat tentang bagaimana kehidupan berbangsa seharusnya berjalan tidak dipedulikan para politisi. Ini demokrasi tanpa representasi. Demokrasi dalam prosedur, tidak dalam hakikat.

Hal seperti ini hanya sedikit berbeda dengan kediktatoran. Jika tegaknya kediktatoran berlandaskan dominasi, “kediktatoran pemilu” berbasis hegemoni. Rakyat diajak untuk percaya bahwa dengan turut memilih dalam pemilu dan pilpres, ia ikut menentukan masa depannya. Kenyataannya, masa depan bangsa tetap saja ditentukan sepihak oleh elit-elit politik, dan di baliknya—sebagai deep state—adalah para kapitalis besar yang menjadikan kekuasan negara ruang memperbesar rente ekonomi.

Maka jangan heran jika Sexy Killer, dokumenter garapan Dandhy jadi semen pengokoh sikap golput. Faksi politik manapun yang berkuasa, pemenangnya adalah borjuasi pengeruk tambang, persekutuan elit-elit ekonomi yang menyebar di belakang faksi-faksi elit politik yang berebutan kekuasaan.

Bagi para pembelajar filsafat politik Marxist, terutama sayap instrumentalisnya, demokrasi yang seperti ini adalah sewajar-wajarnya demokrasi borjuis. Demokrasi dalam negara borjuis memang tidak pernah jadi mekanisme yang berjalan menurut asumsi kaum pluralis bahwa semua kelas dan golongan memiliki akses yang sama terhadap kekuasaan negara.

Tetapi ada pula yang melihatnya sebagai gejala kemunduran atau krisis dalam demokrasi. Salah satu yang berpandangan seperti ini adalah Dylan Taylor, sosiolog senior di kampus Universitas Victorya, Selandia Baru.

Dilihat dari keseringannya mengutip Poulantzas, Dylan adalah seorang Marxist strukturalis. Kaum strukturalis umumnya melihat demokrasi parlementer bisa berguna bagi rakyat sebab merupakan salah satu mekanisme penyelesaian krisis (terutama pertentangan kelas) dalam masyarakat kapitalis. Karena itu alternatif perjuangan yang sering ditawarkan kaum strukturalis adalah perpaduan perlawanan terhadap negara di ranah ekstraparlementer dan berjuang merebut ruang kekuasaan negara dalam perjuangan parlamenter.

Krisis dalam demokrasi menjadi salah satu topik ulasan utama Dylan Taylor dalam Social Movements and Democracy in the 21st Century. Memperlajari gerakan Occupy Wall Street yang bermula dari AS dan menjalar ke berbagai belahan dunia, Dylan menemukan bahwa perlawanan yang lahir oleh krisis kapitalisme itu sesungguhnya juga reaksi terhadap krisis demokrasi.

Para aktivis Occupy Wall Street tidak cuma memprotes dominasi kesejahteraan di tangan elit-elit ekonomi, bagaian dari 1 persen, melainkan juga menyadari bahwa ketimpangan ekonomi tersebut bisa terus berlangsung karena demokrasi dibajak, negara berada di bawah kendali elit-elit ekonomi. Partai-partai politik yang ada dan dominan di parlemen, pun mengisi pemerintahan di negara-negara maju bertindak atas kepentingan elit-elit ekonomi.

Sebenarnya krisis demokrasi, kondisi ketika demokrasi tidak menjadi ruang bagi mayoritas rakyat untuk memperjuangkan kepentingannya, sudah lama pula disadari terjadi di Indonesia. Runtuhnya kekuasaan orde baru seharusnya membuka ruang politik bagi partisipasi rakyat, bagi gagasan-gagasan prorakyat untuk berkontestasi dalam lembaga-lembaga kekuasaan. Kenyataannya, demokrasi multipartai yang mewujud pasca-Orba tetap saja menjauhkan rakyat, menempatkannya sebagai cuma pemilih lima tahunan.

Kondisi ini sudah diteriakkan almarhum Asmara Nababan dan lembaganya, Demos semenjak awal 2000-an. Mereka menyebutnya problem defisit demokrasi.

Bukankah ketika defisit atau krisis, demokrasi—dalam makna hajatan elektoral yang prosedural itu–tidak bisa menjadi instrumen untuk menentukan masa depan kolektif bangsa sebab hasilnya tak lebih dari daur ulang kekuasaan elit, merelegitimasi kekuasaan mereka untuk lima tahun lagi? Maka siapa sebenarnya yang menjadi benalu dalam demokrasi? Golput yang menolak melegitimasi kekuasaan elit atau para kontestan dan penggembiranya yang memobilisasi rakyat demi sekadar vote?

Kalau ditanyakan kepada saya, jawaban saya dua-duanya. Orang-orang yang memilih golput pun para politisi yang cuma menjadikan rakyat sumber vote sama-sama melanggengkan kekuasaan elit-elit ekonomi. Itu karena aksi-aksi golput tidak pernah menjadi perlawanan yang signifikan, tidak pernah mengubah kondisi. Ia cuma aksi mengolok-olok sistem dan para pendukungnya.

Lantas, adakah jalan tengah?

Jika mengacu kepada kampanye Alm. Asmara Nababan dulu, pokok persoalan defisit demokrasi adalah aristokrasi di tubuh partai politik. Parpol tidak menyediakan ruang bagi anggotanya untuk mengontrol elit pimpinan. Parpol-parpol masa kini memang tidak didirikan sebagai alat perjuangan rakyat atau grup-grup sosial. Parpol-parpol Indonesia semenjak orde baru tidak lebih dari alat tawar elit politik dan elit ekonomi dalam pasar rente oleh keterlibatannya dalam lembaga-lembaga kekuasaan negara.

Kondisi ini diperparah oleh absennya para aktor masyarakat sipil dari politik elektoral. Jika pun ada yang terlibat, adalah pilihan personal saja, menjadi satu orang tak berarti di antara para aristokrat parpol.

Memilih beroposisi ekstraparlementer, organisasi-organisasi masyarakat sipil justru terpecah-pecah menurut isu sektoral masing-masing lembaga dan kelompok. Ketiadaan kesepakatan akan isu, platform, agenda bersama dan taktik perjuangan parlementer di kalangan masyarakat sipil menyebabkan ruang demokrasi elektoral bertahan dalam genggaman para bandit dan lapisan elit politik dan ekonomi.

Secara lebih spesifik, Dylan melihat penyakit ini melanda pula kalangan kiri internasional, sebagaimana tercermin dalam gerakan Occupy Wall Street (yang juga terjadi di tanah air kita).

Resistance to neoliberalism has arisen, but is dispersed through fluctuating network. The horizontalist ethos of anarchist forms of contestations are hegemonic today; consequently, engagement with the state is rejected by most of today’s radical left.” Demikian tulis Dylan dalam bagian kesimpulan.

Agar demokrasi bermanfaat bagi terciptanya keadilan sosial, sudah saatnya kalangan masyarakat sipil atau para aktivis prodemokrasi kembali serius mengupayakan persatuan di antara mereka dalam menghadapi pemilu dan pilpres. Sebuah aliansi berbentuk parpol pemilu perlu diupayakan. Dengan alat itu, mereka menghimpun rakyat untuk berjuang bersama mendesakkan kepentingan-kepentingan rakyat dalam kebijkan publik.

Machtsvorming, kata Soekarno, membangun kekuatan rakyat, menghimpun rakyat yang melek hak-hak politik dan cita-citanya untuk berjuang bersama adalah satu-satunya jalan yang tepat—meski sulit– untuk mewujudkan cita-cita kolektif bangsa.

Untuk itu tidak bisa tidak, kalangan kritis yang mengklaim bernurani kerakyatan, orang-orang yang mendapuk diri sebagai masyarakat sipil harus memberi contoh.

Jika kalangan aktivis, kalangan masyarakat sipil tak mampu menyatukan dirinya dalam aliansi politik elektoral (partai pemilu), jangan harap mereka bisa berkontribusi signifikan bagi demokrasi, kessejahteraan rakyat, dan keadilan sosial. Jika tak mampu bersatu, selamanya mereka cuma jadi juru nyinyir di media sosial, para tukang cemo’oh yang tak banyak gunanya. Orang-orang yang nyaman dengan peran juru nyinyir dan tukang cemo’oh pantaslah dituding “Just stupid … benalu … psycho-freak !”***



You cannot copy content of this page.

If you need copy of the content, please contact me at gegehormat@gmail.com.