Lucu rasanya mendengar orang berkata, “Anda harus toleran donk terhadap saya.” Kian hari kian banyak konsep yang bergeser bahkan bertentangan dengan maksud asli.
Toleran yang sejatinya desakan ke dalam diri kini jadi tuntutan ke luar, paksaan kepada orang lain. Polemik warung buka saat Ramadan pun demikian adanya. Para pihak saling tuntut agar toleran.
Dalam kamus bahasa daring, toleran berarti “bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.”
Dalam kamus Inggris seperti Cambridge Dictionary, to tolerate diartikan sebagai “to accept behaviour and beliefs that are different from your own, although you might not agree with or approve of them.” Referensi lain memberikan arti kurang lebih serupa.
Dari dua definisi itu, kata sifat toleran (dalam bahasa) dan verba tolerate (dalam bahasa Inggris) jelas menyuratkan unsur mengalah, berkorban. Itu adalah tuntutan kepada diri sendiri. Pengertian toleran juga menyiratkan keutamaan lain: kesukarelaan.
Tentu saja begitu. Sikap mengalah tidak mungkin sesuatu yang dipaksakan, diwajibkan. Jika dipaksa, kondisinya bukan mengalah lagi, melainkan kalah.
Maka sungguh aneh mendengar orang menuntut orang lain untuk toleran, apalagi jika ‘toleransi’ itu bersifat obligatory, disertai dengan pemaksaan oleh regulasi atau aparatur, atau lebih parah lagi ditegakkan melalui teror gerombolan massa membawa pentungan.
Bangsa Indonesia aslinya bangsa toleran. Itu sudah jadi keutamaan hidup kita. Tepa salira kata orang-orang Jawa. “Nai ngalis tuka ngengga” (perut dan hati yang lapang) kata go’et Manggarai (Soal go’et Manggarai, baca “Puisi Lama Manggarai, Tiada Dua di Nusantara“). Lebih-lebih di bulan Ramadan, sikap menahan diri dan mengalah menjadi keutamaan.
Ada contoh pengalaman saya betapa indah dan simpel sebenarnya hidup saling mengalah, berlomba-lomba berkorban, toleran.
Pada 1998-1999 saya tinggal di Yogyakarta. Indekos di Gang Pandega Marga, persis di belakang asrama Cemara Lima UGM.
Kos saya bersampingan dengan warung makan milik Bapak Ipong. Beliau mantan aktivis Pergerakan Islam Indonesia (PII). Semasa remaja dahulu Pak Ipong jagoan dakwah.
Meski juru dakwah anggota PII, Pak Ipong seorang toleran. Adik kandungnya, yang juga tinggal bersampingan warung Pak Ipong adalah pengiman Katolik. Hubungan dua lelaki bersaudara itu mesra-mesra saja.
Warung Pak Ipong adalah tempat makan saya sehari-hari. Di awal bulan saya telah serahkan sejumlah uang. Setiap makan, Ibu Ipong mencatat. Jika deposit saya menipis, ia akan sampaikan untuk saya setorkan lagi.
Warung Pak Ipong kecil saja. Ruang depan hanya menampung enam orang pada mejanya yang memanjang membentuk huruf L. Banyak orang lebih senang duduk bersila di ruang dalam yang juga ruang keluarga Pak Ipong, makan sambil menonton berita pada televisi.
Di ruang tengah itu bertemu berbagai suku dan tentu saja agama. Anak-anak UGM dari Cemara Lima banyak anak Manggarai-Flores (Katolik) dan Batak (Protestan). Di ruang itu mereka makan bersama anak-anak Islam, terutama aktivis HMI cabang Bulaksumur yang sekretariatnya tak sampai 100 meter dari situ.
Ketika Ramadan tiba, saya cemas akan kesulitan mendapat makan. Saya berencana membeli rice cooker, kompor, dan wajan.
Baru saja saya hendak ke luar untuk membeli barang-barang itu, Bu Ipong berdiri di depan pagar. “Mas, nanti warungnya saya tutupi kain. Kalau mau makan masuk saja.”
Awalnya saya pikir keluarga Pak Ipong telah beralih menjadi Islam Kejawen, yang waktu itu oleh pengetahuan saya yang terbatas, saya pikir tidak ketat dalam berpuasa.
Hari pertama puasa saya makan di warung itu. Untunglah tiba-tiba terbit rasa penasaran saya, bertanya kepada anak gadis sulung Pak Ipong. “Wi, jenengan mboten poso, tho?”
“Poso, Mas. Ora bisa ora.”
“Bapak ibu?”
“Yo, podho, Mas.”
Keesokannya, saya tidak lagi makan di warung, tetapi minta Bu Ipong bungkuskan. Tidak baik saya makan di depan orang-orang yang sedang berpuasa. Saya perhatikan anak-anak anak Cemara Lima juga begitu. Sebagian yang saya kenal membawa makanannya untuk disantap di kos saya.
Melihat kecenderungan itu, Bu Ipong buat kebijakan, tak harus bungkus tetapi boleh ambil dalam piring dan menikmatinya di kos saya, asalkan saya tak keberatan. Tentu saja tak, asal mereka kembalikan sendiri piring-piring kotor.
Tetapi rupanya orang-orang tetap memilih dibungkuskan karena tak tega melihat Bu Ipong dan anak gadisnya mencuci piring bekas makan kami di tengah berpuasa. Mereka juga merasa tak enak jika orang yang berpuasa melihat mereka memawa makanan meski hanya sekejab saat melintas dari warung ke kos.
Apa yang saya alami sebenarnya hal lazim, terjadi di banyak tempat di Indonesia. Orang-orang saling toleran, saling mengalah, berlomba-lomba berkorban.
Pemilik warung yang berpuasa mengorbankan dirinya dengan tetap melayani orang-orang tak berpuasa tanpa harus membatalkan puasanya. Ia juga sudi sedikit repot untuk menambahkan kain penutup di depan warungnya. Orang-orang yang tak berpuasa menghormati pemilik warung yang berpuasa dengan tidak menikmati hidangannya di warung itu.
Satu dekade kemudian, di Serang Banten, pemerintah kota menerbitkan Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat. Perda itu mengatur pula tentang larangan warung makan buka siang di bulan Ramadan.
Urusan buka-tutup warung tiba-tiba jadi polemik, terutama setelah video perampasan dagangan seorang ibu tua oleh Satpol PP jadi viral.
Hingga kini saya belum yakin jika urusan menutup warung menjadi obligatory adalah aspirasi umat Islam. Lebih mudah bagi saya untuk melihatnya sebagai konsesi dari pihak yang berkuasa demi mendapat simpati.
Dalam pengalaman, kekuasaan memang sering aneh menafsirkan keinginan rakyat. A yang dibutuhkan, B yang diberikan. Penguasa memang tidak benar-benar hendak melayani rakyat. Atau mungkin karena ada kelompok yang mengambil keuntungan politis dari menguatnya sentimen identitas? Wallahu A’lam.
The article was also published on Kompasiana