Belajar Pancasila Dari Negeri Orang

Dok Pribadi

Mungkin bangsa kita menderita bipolar. Kita sering rendah diri, merasa kuli di antara banga-bangsa, memandang yang baik dan unggul selalu berasal dari utara atau dari bangsa-bangsa di ufuk terbenamnya mentari. Di sisi lain, kita juga cendrung larut di dalam glorifikasi diri, merasa paling mulia dan bermartabat sedunia.

“Kita orang Timur, kental akan nilai-nilai agung kebersamaan dan solidaritas. Kita punya Pancasila yang tiada banding.” Demikian kita bertepuk dada.

Benarkah demikian?

Sebelumnya, saya mengajak kita meluaskan pengertian toleransi, menambahkannya dengan: sikap tidak merasa diri paling penting; tidak menuntut diutamakan; saling mengalah; berlomba-lomba mendahulukan orang lain; mendengarkan pendapat-pendapat yang berbeda; tidak semena-mena mengambil keputusan mentang-mentang berkuasa.


Saya berada di New Zealand, tepatnya di Wellington, ibu kotanya, hanya selama 20 hari pada Juni-Juli tahun kemarin. Tidak lama memang, karena ke sana hanya untuk mengantar putra tunggal, tujuh tahun usianya, bersekolah dan tinggal bersama emaknya. Namun banyak hal saya timba selama waktu yang singkat itu.

Dok Pribadi

Banyak orang mungkin terkagum-kagum pada keindahan alam New Zealand. Tetapi sebagai orang NTT yang kaya akan keindahan alam, beranugrah pesona laut, pantai, gunung dan danau yang memukau, bagi saya biasa saja bentang alam New Zealand itu. Adalah kehidupan bermasyarakatnya yang membuat saya terkagum-kagum. Butir-butir pengamalan Pancasila, hafalan wajib zaman Orde Baru –-yang melucuti watak progresif Pancasila menjadi sekedar panduan bertata-krama itu— sungguh-sungguh diterapkan di pencil kepulauan selatan pasifik itu.

Saya sudah mulai terkesima di hari pertama menumpang bus. Saya perhatikan, setiap turun bus tidak ada orang yang tidak mengucapkan terima kasih. Sungguh hebat. Di beberapa kota di Indonesia –-kebetulan saya pernah tinggal cukup lama di setengah lusin kota— kata terima kasih kini hanya diucapkan untuk barang dan jasa yang diperoleh cuma-cuma. Jarang sekali terima kasih diucapkan untuk segala yang berbayar.

Orang-orang Kiwi tulus menghormati orang lain, bahkan kepada pekerja kerah biru, supir bus, yang juga imigran. Sekedar info, di Wellington biasanya pengemudi bus adalah kalangan manula, seringnya nenek-nenek. Tetapi di akhir pekan, karena orang Kiwi sepertinya menikmati hari libur, pekerjaan itu dilaksanakan oleh imigran India dan Banglades (susah membedakan yang mana India, yang mana Bangladesh).

Jika bus penuh sesak, orang-orang Kiwi rela berdiri menahan pegal pada betis dibandingkan harus menyerobot jatah kursi khusus manula dan ibu hamil. Sepenuh apapun bus, meski tidak ada manula atau ibu hamil di dalamnya, kursi khusus untuk mereka –-terletak di belakang supir, dekat bidang lapang untuk kursi roda orang cacat— dibiarkan kosong begitu saja. Jikapun terpaksa diduduki, mereka akan segera berdiri jika manula atau bumil naik bus.

Coba kita bandingkan dengan kondisi di KRL Jabodetabek. Meski jelas-jelas tertulis kursi khusus untuk manula, orang cacat, atau ibu hamil pun, bapak-bapak brengosan dan pemuda berlengan penuh otot tega main serobot.


Di Supermarket, ketika kita berpapasan dengan orang Kiwi di lorong sempit di antara rak-rak barang dagangan, perhatikanlah, mereka akan mundur untuk membiarkan kita lewat. Mereka seperti berlomba-lomba untuk mengalah, seolah-olah mengalah dan memberikan kesempatan kepada orang lain lebih dahulu adalah keutamaan hidup mereka.

Di jalan raya saya tidak pernah melihat kendaraan saling salib. Padahal sungguh luas jalan raya di sana dibanding jumlah kendaraan. Tidak ada hambatan dan bahaya sedikitpun untuk menyalib kendaraan di depan sebab lapangnya jalan. Tetapi itu tidak mereka lakukan.

Dok Pribadi

Pada penyebrangan di lampu merah, meski tidak ada pejalan kaki yang hendak menyebrang, mereka taat berhenti hingga lampu berubah hijau.

Pernah saya bengong di penyebrangan, tidak sadar jika lampu hijau untuk pejalan kaki sudah menyala. Pengemudi mobil, satu-satunya di lampu merah itu membunyikan klakson, tersenyum dan memberi aba-aba agar saya menyebrang. Ramah dan santun.

Bayangkan jika itu terjadi di Jakarta, sudah tentu nama saya berubah jadi rupa-rupa hewan peliharaan dan penghuni kebun binatang. Otot terlarang di selangkangan pun mungkin saja diteriakkan tanpa sungkan.


Windy Hilly Welly, begitu julukan Wellington. Maka pastilah sungguh dingin di sana. Sebagai perokok, saya sering duduk di beranda untuk mengisap sebatang, berharap dingin terusir dari dada. Rupanya, pemilik kontrakan, rumahnya di belakang rumah yang kami kontrak, sering memperhatikan itu di saat ia lewat.

Suatu ketika ia datang membawa tukang untuk memasang alarm asap. Ia tahu saya tidak merokok di dalam rumah. Tetapi sebagai pemilik, tetaplah ia cemas juga pada keamanan rumahnya. Yang hebat adalah bukannya mewanti-wanti saya, mengingatkan agar jangan pernah merokok di dalam rumah, ia memilih mendatangkan tukang untuk memasang alarm.


Tolerasi, menghormati keunikan tiap-tiap pribadi –-di sana level tolerasi sampai level pribadi— sepertinya sudah ditanamkan sejak bangku sekolah dasar.

Putra saya kurang suka bermain sepak bola. “Bokong saya berat jika harus berlari, Bu,” alasannya pada Ibu guru.

Apa yang dilakukan gurunya kemudian? Ia memangil teman-teman putra sayam memberi mereka tanggungjawab agar putra saya berubah suka bermain sepak bola.

Pagi berikutnya, dan demikian seterusnya, bocah-bocah tujuh tahun itu seperti berlomba-lomba dengan beragam cara mengajak putra saya bermain sepak bola.

Anda bayangkan, di Indonesia tentulah putra saya akan menjadi objek bullying. Di New Zealand, tanggungjawab mengembangkan diri orang lain ditanamkan pada tiap-tiap pribadi, sejak mereka kecil. Itulah toleransi pada level individu, sikap menghargai perbedaan bakat dan kemampuan tiap-tiap orang.


Pada awalnya saya dengan penuh prasangka menuduh orang-orang Eropa di New Zealand itu seperti juragan-juragan kompeni pemilik kebun kopi dan teh di tataran Sunda. Karena masuk di dunia baru tanpa perlawanan berarti, mereka menjadi penjajah yang santun, yang bahkan tidak sungkan mengambil istri setempat, menjadikannya nyai. Namun penjajah tetaplah penjajah. Mereka tentulah memandang rendah kultur setempat. Begitu pikiran saya sebelumnya.

Mungkin dulu memang begitu. Tetapi yang jelas sungguh mengharukan mengetahui bagaimana orang-orang Eropa di New Zealand menempatkan kultur Maori, masyarakat asli di New Zealand. Penghormatan mereka tidak terbatas pada tiap-tiap penunjuk jalan, rambu-rambu lalu-lintas dan papan-papan petunjuk selalu bersanding bahasa Inggris dan bahasa Maori; atau bahwa bahasa dan produk kesenian Maori diajarkan di sekolah-sekolah. Bukan cuma itu. Di observatiorium Carter, kosmologi scientific Barat diposisikan sama dengan mitologi Maori. Buku-buku, poster, peraga, dan video secara berimbang menceritakan versi ilmu pengetahuan barat dan versi mitos lokal tentang bagaimana semesta diciptakan dan kehidupan bermula.

Bentuk lain toleransi adalah bagaimana penduduk kota, orang-orang biasa, dilibatkan di dalam pengambilan kebijakan publik.

Suatu ketika, kampus FKIP Victoria University of Wellington hendak melego sejumlah aset karena butuh dana. Pemerintah Kota dan pihak universitas tidak semena-mena mengeksekusi keputusan itu. Mereka mengundang warga kota untuk mengajak bicara. Warga kota yang memanfaatkan fasilitas itu untuk berolah raga dan beragam kegiatan publik tentu saja menolaknya. Maka rencana itu menjadi berlarut-larut dengan negosiasi panjang mencari jalan keluar. Bagaimana di Indonesia, apakah pejabat pemerintah toleran terhadap ragam pendapat dan aspirasi warga? Atau mereka menutup mata dan telinga, memilih menjadi penguasa yang buta hati dan nalarnya?

Ah, rupanya kita perlu banyak belajar bagaimana Pancasila sungguh-sungguh diterapkan di Negara lain.

***



You cannot copy content of this page.

If you need copy of the content, please contact me at gegehormat@gmail.com.