Bahaya, tidak ada stok buku baru. Hari-hari pekan depan bakal gersang. Keluh saya dalam hati. Mengantisipasi keadaan, pada senja yang basah, saya mencoba keberuntungan di Gramedia. Saya berharap masih ada buku bagus dijual toko buku mainstream itu di tengah serbuan teenlit dan buku-buku motivasi.
Betul dugaan saya. Dunia sastra kita sedang surut. Gelombang kepedulian pada yang remeh-temeh sungguh menerpa hingga produksi kesusastraan. Toko-toko buku besar yang birahi pada keuntungan tentu saja harus menuruti selesa pasar. Rak demi rak saya periksa, tidak ada buku yang genit memanggil-manggil mengundang selera.
Tunggu dulu! Apa itu di sana? Ah, itu Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa. Sebuah novel sejarah karya Mpu Mangunwijaya. Novel tua sebenarnya. Ia pertama dirilis Penerbit Djambatan pada 1987. Rupanya Kompas menerbitkan kembali pada Juli 2015 lalu.
Saya pernah memiliki novel ini dua puluhan tahun lampau, tetapi hilang bersama buku-buku lain ketika saya berpindah-pindah kota. Maka menemukan kembali kitab sastra indah ini terpajang di toko buku tentu saya girang bukan main. Maklum saja, dalam urusan sastra, saya menyalakan dupa pada tiga penulis besar nasional: Pramoedya Ananta Toer atas realisme sosialnya; Putu Wijaya atas kesaktiannya mengolah peristiwa biasa sehari-hari menjadi tunggangan bagi pesan-pesan moralnya; serta tentu saja Y. B. Mangunwijaya atas keindahan bahasa, kekayaan filsafatnya dan pesan-pesan kemanusiaannya.
Dua minggu setelah tuntas membaca kembali, saya lantas merasa penting untuk membagi pesan dari novel ini kepada khalayak. Pesan yang saya anggap kontekstual dengan kondisi hidup berbangsa sekarang ini.
“Ternate dan Tidore kembar bentuk maupun keadaannya. Bagaikan dua buah susu dada perempuan. Mengapa dua pulau tetangga dekat itu di sepanjang zaman hanya saling bertengkar saja?” (hal 19) Demikian kata Kiema-Dudu, kepala Kampung Dowingo-Jo menyindir Bahder Musang, utusan khusus dari Yang Dipertuan Agung Sultan Ternate Sahdi Barkat.
Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa memang berseting sejarah Ternate (dan Tidore) dan kehidupan masyarakat suku Tobelo di Halmahera pada tahun 1594 hingga 1621. Itu adalah masa ketika kepulauan rempah-rempah itu menjadi wilayah rebutan bangsa-bangsa Eropa, terutama Spanyol, Portugis, dan Belanda.
Hiu, Ido, dan Homa adalah ikan-ikan yang menjadi metafora kondisi penindasan dan penghisapan oleh kekuatan Kolonial kepada raja-raja lokal, dan raja-raja kepada rakyat jelata.
Homa, ikan kecil yang oleh nelayan dijadikan umpan ikan besar adalah metafora rakyat. Pada kisah ini, sosok rakyat diwakili oleh warga Kampung Dowingo-Jo –yang dibantai bala tentara Ternate— dan sepasang lelaki-perempuan yang selamat dari pembantaian, Mioti dan Loema-Dara, yang kemudian menikah dan mendirikan kampung baru, Gamfela di Pantai Teluk Kao.
Ido, ikan besar sejenis cakalang adalah pemangsa Homa. Ido inilah perlambang para penguasa Ternate dan Tidore yang kekuasaannya mengorbankan rakyat jelata. Sementara armada dagang (sekaligus pasukan tempur) Spanyol, Portugis, dan Belanda adalah Hiu-hiu.
Ternate dan Tidore harusnya dapat mengubah jalannya sejarah jika saja mereka bersatu, tidak saling memerangi. Kebencian dan persaingan turun-temurun antara kedua kerajaan tanah air rempah-rempah itu bukan hanya membuat keduanya lemah. Demi memenangkan perang, masing-masing pihak menggandeng kerjasama dengan bangsa-bangsa Eropa yang sedang bertempur memperebutkan monopoli dagang. Tidore dengan Portugis, Ternate dengan Belanda. Kerjasama itu berubah menjadi konsesi monopoli dagang dan berakhir dengan penjajahan, penaklukan seluruh wilayah Uli Ampat Maluku: Ternate-Tidore-Bacan-Jailolo oleh Belanda.
Keangkuhan dan kebencian memerangi saudara se-kepulauan mengubah raja Ternate dan Tidore dari pemerintahan yang berdaulat menjadi pelayan-pelayan Eropa. Sebagaimana lazimnya, ketika ada tuan baru yang lebih berkuasa, para elit tidak kehilangan apa-apa selain posisi puncaknya. Raja Ternate dan Raja Tidore tetaplah tuan, yang tetap bisa menginjak ke bawah sambil menjilat tuan baru, perwakilan raja-raja Eropa.
Adalah rakyat korban sesungguhnya, para ikan Ido yang menduduki posisi dasar piramida makanan di indah laut sekitar Ternate-Tidore. Rakyat dilarang mengambil mutiara dari teluk-teluk sebab seluruhnya kini dipersembahkan kepada Belanda sebagai ganti biaya perang. Rakyat dikerahkan tenaganya untuk membangun kapal-kapal perang. Rakyat harus menerima murah harga cengkeh dan pala yang sepihak ditentukan saudagar-saudagar Belanda. Rakyat harus merelakan tenaga mengayuh kora-kora dan merelakan hutan Cengkeh dan Pala mereka dibakar demi menjaga tingginya harga di pasar dunia.
Perpecahan sebangsa yang membuka pintu lebar-lebar bagi kolonialisme adalah kisah berulang sejarah Nusantara. Bukankah ini pula yang terjadi dengan Mataram. Belanda tidak akan mudah menguasai Jawa jika saja Amangkurat tidak memeluknya dalam persekutuan memerangi Trunajaya. Bukankah demikian pula Orde Baru menggandeng Amerika Serikat demi menggulingkan Soekarno?
“Sudah terbuka upeti besar dari Asia” girang berseru Presiden AS Richard M. Nixon begitu Soeharto berkuasa. Maka segeralah konferensi international pertama dalam masa kekuasaan Orba diadakan. Di Swiss pada November 1967, disponsori The Time-Life Corporation, duduklah semeja para pemodal raksasa dunia: David Rockefeller, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, perusahan-perusahan minyak dan bank-bank. Indonesia diwakili Hamengkubuwono IX, Adam Malik, dan Soemitro Djojohadikusumo.
Konferensi November 1967 itu membicarakan pembagian lapak-lapak penguasaan kekayaan alam Indonesia. Perusahaan apa dapat tambang apa di mana, siapa hendak investasi apa butuh apa. Maka segera setelah pertemuan tersebut, Orde Baru mengeluarkan undang-undang pertamanya, UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.
Demikianlah sejarah berulang negeri ini. Elit-elit kemaruk kekuasaan menggandeng dukungan asing di dalam pertarungan mereka. Sebagai hadiah dipersembahkanlah kekayaan alam, bahan baku, pasar, dan tenaga kerja murah kepada sekutunya. Ujung-ujungnya selalu rakyat yang menderita, terbatas lapangan kerja, terampas tanah, berupah murah, tak mampu membeli kebutuhan-kebutuhan.
Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa juga mengumandangkan pesan bahwa rasa cinta pada tanah air tidak ditentukan ras asal dari peju dan indung telur yang menghasilkan kita. Adalah Dirk Joncker Callenbacker, pedagang dan tuan kebun Pala keturunan Belanda-Papua di Banda yang membela kemerdekaan Banda hingga akhir hayat. Bersama para pedagang dan tuan-tuan perkebunan Pala lainnya, dan kuli-kuli, dan budak-budak, Callenbacker memilih bertempur membela kemerdekaan Banda, berhadapan dengan bombardir ribuan meriam armada perang Gubernur Jenderan Jan Pieterszoon Coen. Ia membela kehormatan hingga meregang nyawa oleh tajam bilah pedang para Samurai Jepang, algojo upahan Belanda.
Persatuan, Saudara-saudara. Saling tolong, hormat-menghormati, bersolidaritas antara sesama anak bangsa adalah kunci kejayaan, kunci kemandirian, kunci kedaulatan di tengah gencar upaya kekuatan modal asing menguasai kekayaan alam, bahan baku, pasar, dan tenaga kerja negeri ini.
Jika elit ditakdirkan untuk saling tikam, jangan pula kita rakyat turut terpecah ke dalam barisan-barisan mereka. Kita perlu membentuk barisan sendiri untuk mencegah kekuasaan khianat di tangan elit, untuk memastikan kekuasaan mengabdi kepada kepentingan seluruh anak bangsa. Apapun agama yang ditempelkan pada kita ketika lahir dari orang tua yang telah memeluk agama-agama dari benua seberang itu; apapun bentuk rambut dan warna kulit kita, kita adalah saudara sebangsa. Nusantara adalah ibu bersama kita.
“Manusia tidak pernah sendiri, Baginda yang berjiwa besar. Manusia selalu adalah Aku yang meng-kami serta meng-kita. Justru di situlah keagungan manusia, mampu dan mau bermusyawarah. Sebab kemampuan bermusyawarah mengandaikan keterbukaan yang suka dan iklas diperkaya oleh cahaya dari mana pun, baik itu matahari, pelita minyak, maupun cuma pijar kunang-kunang. Di dalam alam musyawarah itu … kita telah berhasil menggemakan bahasa dan panggilan manusia yang sejati, saling menyumbang cahaya, saling menyumbang topang kekuatan dalam suka maupun duka.” (hal. 152). Kata Haji Zainal Abidin, Bobato-Akhirat, pemuka agama penasihat kerajaan di dalam sidang di Balai Agung Istana Sultan Ternate.
Jadi, jika dirimu diajak untuk berteriak penuh kebencian kepada saudara sebangsa; menolak saudara berbeda keyakinan menduduki jabatan-jabatan publik; mencibir pada mereka yang beda pose sembahyang, ingatlah selalu bahwa dirimu adalah manusia. Manusia selalu adalah Aku yang meng-kami serta meng-kita.