Perusakan Baligho Caleg Koruptor dan Pelajaran Revolusi 3 Daerah

Perusakan Alat Peraga Kampanye (APK) sedang menggejala. Jika sebelumnya APK SBY-Partai Demokrat dan PDIP di Sumatera yang dirusaki, kini giliran APK Partai Nasdem. Sekitar 96 APK partai milik Surya Paloh di Cianjur yang sobek disayat, dicoreti, tiangnya dipatahkan. Peristiwa ini berlangsung 14 Desember lalu.

Namun perusakan APK Nasdem di Cianjur boleh jadi berbeda dengan perusakan APK Partai Demokrat dan PDIP di Sumatera. Kalau di Sumatera, perusakan bisa jadi skenario pihak tertentu yang ingin mengadu PDIP dan PD gontok-gontokan. Mungkin agar ada kesan kubu Joko Widodo berkarakter antidemokrasi sekaligus agar ada alasan SBY mengakhiri sikap oportunis bermain dua kaki, beralih sikap tegas mendukung dan memenangkan Prabowo-Sandiaga.

Di Cianjur, kasus yang dialami Partai Nasdem berkaitan dengan operasi tangkap tangan terhadap Bupati Cianjur Irvan Rivano Muchtar yang diduga terlibat kasus korupsi atau penyuapan anggaran pendidikan.

Asumsi latar belakang peristiwa ini bisa dua kemungkinan. Yang pertama, ada pihak tertentu yang ingin memanfaatkan momentum OTT Irvan sebagai kesempatan mendegradasi Nasdem, salah satu parpol pendukung Jokowi, sehingga dengan demikian juga mendegradasi Joko Widodo-Ma’ruf Amin.

Pihak tertentu ini melakukan perusakan untuk memprovokasi massa agar bertindak serupa atau setidaknya mendorong lahirnya sikap anti-Nasdem yang bisa jadi akan bermuara kepada sikap anti-Jokowi.

Asumsi kedua, tindakan ini merupakan spontanitas rakyat yang marah terhadap dugaan korupsi bupatinya.

Asumsi kedua ini lebih kuat sebab ATK yang paling banyak dirusaki adalah yang ada foto wajah Tjejep Muchtar Soleh, mantan bupati Cianjur yang juga ayah Irvan. Pada pemilu 2019, Tjejep yang merupakan Ketua DPC Partai Nasdem Cianjur mencalonkan diri sebagai anggota DPP RI. Apalagi perusakan terjadi bersamaan dengan tumpahnya rakyat ke alun-alun untuk merayakan OTT Irvan.

Jika asumsi kedua ini yang berlaku, bisa saja konsekuensinya hukuman rakyat akan terus berlanjut hingga pemilu 2019. Nasdem yang dianggap paling terkait dengan Irvan tidak akan dipilih rakyat di Cianjur.

Jika reaksi rakyat terhadap kepala daerah korup ditunjukkan dengan tidak memilih parpol pengusung menjadi tren baru politik Indonesia, saya kira akan baik bagi pemberantasan korupsi.

Peristiwa ini hendaknya jadi alarm yang membangunkan parpol-parpol dan kepala daerah agar waspada. Saat ini tindakan rakyat yang paling radikal untuk menghukum koruptor mungkin hanya dengan merusak spaduk parpol-parpol yang berkaitan dengan si koruptor. 

Tetapi sejarah mengajarkan kita, rakyat bisa bertindak lebih jauh dari itu jika harapan mereka terus-menerus kandas, terutama jika mereka menilai adalah para politisi daerah yang menghambat harapan itu, yang bertentangan dengan semangat pemerintah pusat.

Dalam sejarah, di Indonesia pernah terjadi revolusi sosial, bukan sekadar revolusi demokratik seperti Agustus 1945 dan 1998. Revolusi sosial ini terjadi di Karesidenan Pekalongan, awal Oktober hingga Desember 1945. Ia terkenal sebagai Peristiwa  Tiga Daerah sebab terjadi di 3 kabupaten, yaitu Brebes, Pemalang, dan Tegal.

Akar pemicunya adalah ketidaksabaran rakyat melihat masih berkuasanya para pejabat lokal, dari lurah hingga bupati yang mereka tahu merupakan koruptor dan antek Belanda.

Rakyat begitu berharap proklamasi kemerdekaan Agustus 1945 bisa segera mengakhiri pula kekuasaan para koruptor di daerahnya. Tetapi rupanya setelah 2 bulan menunggu, pemerintahan lokal warisan penjajah yang korup dan jadi lintah bagi bangsa sendiri masih berkuasa. Para pejabat daerah itu bahkan ragu-ragu menerima kabar proklamasi dan pemerintahan Indonesia merdeka.

Rakyat yang ingin segera melihat wujud Indonesia baru dalam hidup mereka akhirnya marah dan ambil langkah sendiri. Dimulai pada 8 Oktober 1945, seorang kepala desa di Slawi, Tengal Selatan ditangkap dan diarak beramai-ramai untuk dipermalukan di depan publik.

Ekspresi kemarahan rakyat kemudian meluas. Banyak kepala desa korup di Karesidenan Pekalongan jadi pesakitan tindakan massa; lalu merambat ke wedana dan camat, dibunuh dalam pengadilan rakyat.

Kita tentu tidak berharap peristiwa ini terulang. Kita menghendaki rakyat taat hukum. Namun perilaku taat hukum tidak bisa hanya sepihak. Rakyat bisa saja–seperti dalam sejarah–kembali terprovokasi untuk menegakkan hukum sendiri jika perilaku korup para pejabat pemerintahan terus memancing kemarahan mereka.

Karena itu kini saatnya parpol-parpol berbenah. Perusakan alat peraga kampanye di Cianjur tidak boleh dipandang sepele. Ia harus ditempatkan sebagai alarm, sebagai sinyal bahaya kemarahan itu.

Sudah saatnya parpol berpikir matang saat mengusung kandidat kepala daerah. Mereka harus berani kalah dalam pilkada daripada memenangkan kandidat korup. Para pemimpin parpol harus berhenti jadi pedagang stempel di momentum pilkada. Jika tak berubah, mungkin kelak bukan lagi baliho pemimpin parpol yang dirusaki rakyat.

Jangan bermain-main dengan potensi kemarahan rakyat dan penghakiman massa.

***

Sumber: Detik.com (17/12/2018) “Atribut NasDem Dirusak Usai Warga Rayakan OTT Bupati Cianjur.”


The article was also published on Kompasiana.



You cannot copy content of this page.

If you need copy of the content, please contact me at gegehormat@gmail.com.