Omnibus Law Cipta Kerja, Kemenangan Camdessus Setelah 23 Tahun

Camdessus lipat tangan menyaksikan Presiden Soeharto teken perjanjian dengan IMF [Merdeka.com]

Masih ingat Michel Camdessus, orang yang tampak angkuh melipat tangan menyaksikan Presiden Soeharto teken perjanjian dengan IMF? Camdessus, ekonom Prancis, saat itu direktur IMF, dan merupakan orang paling lama yang menduduki jabatan tersebut.

Rancangan omnibus law Cipta Kerja–saya bicara khusus klaster peraturan ketenagakerjaannya–jika nanti jadi diketok palu adalah kemenangan Michel Camdessus dalam mendesakkan pelaksanaan agenda-agenda neoliberal di sektor pasar tenaga kerja Indonesia.

Begitulah. Setelah 23 tahun berjalan, IMF sudah hengkang dari Indonesia; utang-utang kita kepada mereka sudah dibayar lunas; tetapi kredo agama baru yang disuntikkan Camdessus ke kepala elit-elit politik kita terlanjur kuat. Hasilnya, regulasi ketenagakerjaan Indonesia hari ini disusun seturut mau-maunya Camdessus dan lembaga-lembaga suprastate promotor neoliberalisme.

Pada 2 Desember 1997, Michel Camdessus menyampaikan papernya di hadapan Congress of the World Confederation of Labor ke-24 di Bangkok. Ia katakan, “Good policies are rewarded with greater access to international capital markets, higher investment, more jobs, and stronger growth.”(1)

Kebijakan-kebijakan baik yang dimaksud Camdessus merupakan aplikasi 10 agenda Washington consensus, yang salah satu turunannya adalah fleksibilitas pasar tenaga kerja, hal yang kini dilayani oleh RUU Cipta Kerja.

Camdessus menyampaikan salah satu pokok iman agama baru itu, “In markets where wages are less flexible, increased demand for skilled labor translates into higher unemployment, especially among the unskilled.”

Jadi, menurutnya, kalau mau tingkat pengangguran rendah, upah buruh jangan terlalu diatur-atur. Biarkan pengusaha menyesuaikan seturut keinginan mereka. 

RUU Cipta Kerja mengamini iman ini, mengaturnya dalam pasal-pasal  soal upah sektor padat karya dan upah usaha mikro, plus secara umum juga dalam prinsip penetapan upah minimum yang disandarkan pada pertumbuhan ekonomi dan inflasi.

Tidak menutup-nutupi, Camdessus dan lembaganya menyatakan komitmen mereka untuk ” … press governments to adopt a wide range of reforms–a “second generation” reform–to ensure that the benefits of growth are more widely shared.”

Yang disebut reformasi generasi kedua a la IMF, salah satu dari 5 agenda terpentingnya adalah penciptaan “an adaptable labor market that encourages mobility and keeps labor costs in line with labor productivity, as well as sustained efforts to improve workers’ skills.”

RUU Cipta Kerja lagi-lagi mengakomodir ini. Semangat mempermudah buka-tutup pabrik, penyingkirkan hambatan-hambatan bagi gerak bebas investasi masuk dan keluar negeri ini tercermin dalam deregulasi kontrak kerja dan outsourcing. Kontrak kerja waktu tertentu dan outsourcing boleh berlaku untuk seluruh jenis pekerjaan.

Maka Camdessus dan IMF menjadikan deregulasi ketenagakerjaan (agar kian fleksibel) sebagai syarat pinjaman. Dalam Letter of Intent Maret 2003 antara IMF dan Pemerintah Indonesia disebutkan sebagai salah satu syarat pencairan pinjaman adalah ” …to ensure that the laws strike an appropriate balance between protecting the rights of workers, including freedom of association, and preserving a flexible labor market.” (2, lihat LoI Indonesia-IMF Maret 2003)

Untuk membantu IMF, diterjunkanlah ADB dengan  The Development Policy-Support Program (DPSP) sebagai senjata utama.

DPSP adalah single tranche program loan untuk program-program liberalisasi jangka menengah dengan 3 pendekatan utama, yang salah satunya “clarifying and strengthening the legal framework in which foreign and domestic businesses operate,” dan salah satu wujudnya adalah regulasi pasar tenaga kerja menjadi lebih fleksibel. Pemerintah saat itu menerima 200 juta USD gelontoran awal.

Sebelum DPSP disusun, ABD membiayai studi untuk memahami keinginan para pengusaha Indonesia dan investor asing. Studi “Iklim Investasi dan Produktivitas Indonesia (ICS)” ini diadakan pada 2003, kerjasama ADB, Bank Dunia, Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi, dan BPS.

Maka kini, setelah lebih dari 20 tahun, tanpa harus bersusah payah, Bank Dunia, IMF, dan ADB menikmati investasi mereka. Orang-orang mereka yang duduk di kabinet menyusun RUU Cipta Kerja sesuai semangat yang dipromosikan lembaga-lembaga itu 20 tahun silam.

Kelak, jika Camdessus datang lagi, entah sebagai apa, dan berfoto bersama Presiden yang sekarang, mungkin aksi lipat tangannya lebih dramatis lagi.***


Published sebelumnya di Kompasiana.



You cannot copy content of this page.

If you need copy of the content, please contact me at gegehormat@gmail.com.