Musim Hujan Tak Selalu Gembirakan Petani

Ilustrasi, dokpri

Rupanya saya tak sepenuhnya benar. Benar tetapi tidak total.

Pandangan saya mengandung bias persepsi petani pangan pokok musiman di Nusa Tenggara Timur, ketika hanya pada kelabu awan-awan sebagian besar kami mengantungkan harapan akan basah tanah-lahan. Untuk bertani pangan, seperti padi dan Jagung, datangnya hujan tentu saja menggembirakan. Hujan adalah sumber air murah yang cocok untuk tanaman pangan pokok. Pengairan  mengunakan alat tambahan seperti pompa menuntut biaya produksi yang mungkin lebih besar dibandingkan nilai ekonomi komoditi yang dihasilkan.

Petani holtikultura memiliki cara pandang berbeda. Tentu saja, sebagaimana seluruh petani, mereka bersenandung riang menyambut  musim hujan. Musim hujan menambah ketersediaan air tanah dan permukaan. Tetapi musim hujan juga membawa kesulitan-kesulitan tersendiri.

Beberapa bulan lalu saya berjumpa seorang petani sayur dari Pulau Semau –pulau kecil sejauh 30 menit berperahu motor ke arah Barat dari Kota Kupang– yang mengeluhkan mahalnya waring (anyaman polyetilen sebagai kanopi tanaman). Ia membutuhkan waring agar bisa bertanam di musim hujan. Sebelumnya ia telah berulang kali mencoba bercocok tanam sayur di musim hujan tanpa waring dan selalu saja berakhir gigit gaji. 

“Tanaman yang terkena hujan langsung akan layu dan mati,” katanya. Ia tidak berani lagi mencoba tanpa waring. Sialnya, harga waring terlalu mahal untuknya.

Percakapan menyedihkan ini berlangsung ketika saya justru baru saja mulai menanam sayur. Ya, saya telah memutuskan goal 2018 untuk kebun saya, menjadikannya pertanian organic polyculture. Setelah setahun dengan tanaman papaya, saya mulai menumpangsarikan bumbu dapur dan sayuran.

Percakapan itu sebenarnya meruntuhkan semangat. Tetapi saya telah memutuskan untuk skeptis pada semua informasi yang meruntuhkan semangat. Saya coba dulu sendiri, demikian pikiran saya. 

Maka setelah mempersiapkan 20-an bedeng berformat modifikasi hugeculture (bedeng saya gali; menumpuk ranting, dedaunan dan kotoran hewan, lalu dilapisi tanah bekas galian hingga membentuk gundukan, dan dilapisi mulsa), saya mulai mencoba menanam sayur sawi di enam bedeng terlebih dahulu. Saya memilih tidak menggunakan naungan waring atau plastik UV sebab akan membutuhkan biaya lumayan besar.

Tantangan pertama muncul: Ledakan hama. Yang paling banyak adalah kutu daun berwarna hitam (thrips), siput (bekicot dan keong mas) dan lalat buah. Lalat buah paling banyak menyerang pepaya, sementara siput dan kutu menyerang sayur sawi.

Lalat buah saya atasi dengan mudah menggunakan perangkap sederhana dari bekas gelas air kemasan berisi metil eugenol  sebagai atraktan lalat jantan. Thrips yang melubangi daun sawi saya hadapi selain dengan pestisida organik (daun nimba, tembakau, sirsak dan sereh), juga dengan perangkap kutu dan serangga dari botol bekas air kemasan yang dicat kuning dan diolesi minyak goreng bekas. Meski cukup merepotkan dan membutuhkan waktu agar berdampak, serangan makluk kecil ini tampak berkurang. Sementara untuk siput — yang paling susah mencari senjata pemusnahnya– saya gunakan perangkap larutan fermentasi gula oleh ragi, selain mengumpulkan siput satu per satu. Untuk menghalau hama, saya juga menanam bawang putih, serai, dan kemangi di sekeliling bedeng sayur.

Perangkap kutu dan serangga (kiri), Perangkap lalat buah (kanan). Dokpri

Di tengah-tengah pertempuran melawan hama, saya perhatikan ada hal lain yang menghambat pertumbuhan sayur, padahal serangan hama telah berkurang. Sayur masih saja kerdil, sebagian daun layu. Saya telah membuat bedeng dan pengairan yang membuat air tidak tergenang. Apakah yang menyebabkan ini? Sungguh, menghadapi sesuatu yang tidak kita ketahui adalah hal paling mencemaskan.

Maka bertanyalah saya pada kawan yang saya anggap tahu. “Mengapa oh mengapaaaa?”

Ia membentulkan letak kacamatanya dan dengan ekspresi bangga karena tumben dibutuhkan, ia menjelaskan. Menurutnya musim hujan berdampak pada meningkatnya kerawanan kesehatan tanaman dengan dua cara. Yang pertama adalah keracunan nitrogen. 

Tanah yang melulu basah akan miskin gas oksigen. Ketersediaan nitrogen yang dalam kondisi normal berupa senyawa NH4+ dan NO3- berubah menjadi nitrogen dioksida (NO2). Pada manusia, paparan NO2 menyebabkan pembengkakan paru-paru yang bisa saja berkembang sebagai edema yang berujung kematian. Sementara pada tanaman, keracunan NO2 menyebabkan  tanaman kerdil dan layu.

Yang kedua adalah meningkatnya kelembaban udara yang kondusif bagi pertumbuhan hama.

“Lalu bagaimana cara mengatasinya?” Tanya saya penuh harap.

Ia memberikan sejumlah tips yang dapat digolongkan atas dua. Pertama yang sudah saya lakukan. Kedua yang tidak akan (saat ini) saya lakukan karena menuntut biaya besar. Wuedeh.

Kondisi ini membuat saya bagai air di daun talas dalam menghadapi hujan. Sebagian diri saya berharap hujan segera berakhir tetapi sebagian diri lain berharap hujan tetap ada. Sering saya mengimpikan punya privilege di hadapan Tuhan, merayunya agar dapat mengatur hujan turun berselang-seling tiap harinya. Hari ini hujan, besok cerah, lusa hujan lagi. Saya duga petani lain pun mengharapkan itu.

Ah, andaikata hujan itu ditentukan pemerintah, petani bisa menggalang ribuan kicauan yang menghujani linimasa twitter Pak Jokowi atau unjuk rasa bergelombang setiap tanggal cantik di depan istana. Heeeehhhh.***


Also published on Kompasiana.



You cannot copy content of this page.

If you need copy of the content, please contact me at gegehormat@gmail.com.