Tidak jauh dari Batu Kauniki, benteng alam yang digunakan pahlawan perang Sonbai dalam pertempuran penghabisan melawan Belanda, bermukimlah masyarakat pemakan madu.
Tidak seperti kita yang harus berhemat agar sebotol 100 ml madu campuran dari supermarket tahan sebulan, orang-orang ini bisa menghabiskan 100 ml madu asli sekali makan. Om-Tante tak salah baca, saya memang menulis makan, bukan minum. Madu adalah komponen inti dalam pangan lokal orang-orang Desa Oh’aem I.
Jumat, 15 Juni, sekitar pukul 7, saya sudah dijemput mudik. Harfiah, saya memang mudik, menuju pedalaman. Desa Oh’aem I tujuan saya, sebuah desa di pedalaman yang 101 km jauhnya dari tempat tinggal saya.
Desa Oh’aem I tidak jauh dari Batu Kauniki, benteng alam yang jadi pertahanan terakhir Sobe Sonbai III dalam pertempuran penghabisan melawan Belanda. Di tempat inilah Sobe Sonbai III, raja kelima belas dinasti Sonbai, penguasa Timor Barat, akhirnya ditangkap Belanda pada 1905. Suatu saat kelak saya akan bercerita tentang ini.
Sebenarnya saya sedang bad mood, kesal karena seharusnya sudah dijemput sehari sebelumnya. “Om, festivalnya ditunda tanggal 15 malam, jadi Om dijemput 15 pagi. Rombongan dari Jakarta juga baru pagi itu berangkat,” pesan whatsapp dari Om Zadrak Mengge, biang keramaian urusan pangan lokal di tiga desa di Amfoang. Beberapa hari sebelumnya, Om Zadrak dari Perkumpulan Pikul mengundang saya menghadiri festival pangan lokal 3 desa di Kecamatan Amfoang yang bertempat di Desa Oh’aem I.
Seperti biasanya tranportasi ke pedalaman, jalan raya ke Oh’aem sangat buruk. Ada banyak hal yang ingin saya ceritakan tentang itu. Tetapi sebaiknya saya buatkan artikel tersendiri, menggabungkannya dengan cerita tentang perjalanan pulang yang sungguh menegangkan. Jadi saya ringkas saja bagian perjalanan di sesi ini hingga kita sudah berada di jalan masuk Desa Oh’aem I.
Baru beberapa meter masuk perkampungan Desa Oh’em I, saya sudah takjub. Di pekarangan salah satu rumah, bulir-bulir sorgum merah tersenyum menyambut. Sorgum di pekarangan? Itu pemandangan menyenangkan bagi para pendukung pangan lokal.
“Berhenti di sini. Kalian lanjutkan saja. Nanti saya jalan kaki ke tempat acara,” pesan saya kepada rombongan. Mereka pilih menunggu.
Seorang lelaki keluar dari rumah, menggendong bayi yang sedang tertidur. Istrinya tentu sedang memasak bersama ibu-ibu lain untuk kepentingan festival nanti, pikir saya. Kami berkenalan—saya lupa di mana saya simpan catatan nama bapak ini—dan ngobrol sejenak.
“Sudah berapa lama Bapak tanam sorgum-sorgum ini?”
“Ini ditanam September lalu, Pak.”
“Ya, sudah bisa jadi bibit yang ini. Maksud saya, mulai kapan Bapak biasa tanam sorgum?”
“Sudah dari zaman nenek moyang, Pak. Kami selalu tanam sorgum untuk makan. Yang ini sedikit. Di kebun lebih banyak lagi.”
“Begitu ya,” saya senang sekali mendengar ini, “seberapa sering keluarga makan sorgum?”
“Tidak tentu, Pak. Yang pasti seminggu ada. Kami selang-selingkan dengan nasi dan jagung. Sering juga dimasak bersama. Jika jumlahnya berlebihan, kami berikan ternak.”
“Kalau di kebun, Bapak tanam kelilingi jagung dan padi?” Saya perlu pastikan seberapa strategis posisi sorgum dalam sistem pangan mereka. Di banyak desa, Sorgum hanya dijadikan tumbal, ditanam mengelilingi Jagung dan padi agar memancing burung-burung. Karena burung lebih senang sorgum, padi dan jagung selamat.
“Tidak, Pak. Kami tumpang sari dengan jagung dan padi.”
Hmmm, itu berarti bapak ini memperlakukan sorgum dengan adil, sungguh menjadikannya pangan dan ketika berlebihan dijadikan pakan ternak.
“Kamera kalian berfungsi?” tanya saya rombongan setelah foto yang saya hasilkan dari kamera telepon genggam tampak—selalu begitu—kurang manis dan jelas. Mega Liu, relawan Perkumpulan Pikul mengerti maksud saya. Ia turun dari mobil, membawa kamera dan mulai jepret-jepret.
“Jangan foto saya. Sorgum-sorgum itu!” seru saya membetulkan maksud.
Kadang-kadang saya berpikir, meski otak burung itu kecil, ia lebih cerdas memilih makanan dibandingkan manusia. Sorgum mengandung protein (10,4 gr) lebih tinggi dibandingkan beras (7,9 gram) dan jagung (9,2 gram). Memang untuk urusan ini, gandum (11,6 gram) mengungguli sorgum (baca Suarni, “Potensi Sorgum sebagai Bahan Pangan Fungsional” di Jurnal Iptek Tanaman Pangan Vol. 7 No. 1 2012).
Tetapi sorgum itu gluten free, tidak menyebabkan celiac desease seperti gandum (BPTP Bali, “Sorgum: Kandungan Tinggi, Kaya Manfaat, Dukung Gluten Free Diet“). Hebatnya lagi, sorgum mendangung senyawa polifenol antioksidan yang berfungsi mencegah kanker dan serangan jantung (Suarni, 2012). Mungkin itu sebabnya kita tidak pernah membaca berita ada burung masuk rumah sakit karena kanker atau yang tiba-tiba jatuh dari pohon oleh serangan jantung.
Yang lebih penting adalah sorgum tidak butuh banyak air, adaptatif terhadap lahan kritis, dan tahan penyakit. Ini kualitas tanaman pangan yang ramah terhadap kondisi alam Timor, pas jika dikembangkan (dikembalikan) sebagai pangan lokal di Timor. Sebelum mengenal jagung, singkong, dan beras, orang NTT zaman dulu sudah lebih dahulu akrab dengan sorgum.
Sebelumnya tidak banyak orang yang tahu soal ini. Saya pun, karena dulu lebih fokus pada isu ekonomi-politik pertanian arus utama, baru satu dekade terakhir tahu ini. Dahulu, jika mendengar kata sorgum, saya teringat salah satu episode Saur Sepuh, yaitu ketika Brama Kumbara berada di Himalaya, bertarung dengan Biksu Kampala.
Dekade lalu di Adonara saya bertemu Ibu Maria Loreta, setahun sebelum Perkumpulan Pikul menuliskan profilnya yang kelak mengantarkannya menerima banyak penghargaan nasional selaku penggiat pangan lokal. Ibu Tata sempat menyindir, bagaimana bisa kalian terlibat isu pangan tetapi belum pernah melihat wujud sorgum dan jelai?
Tidak lama setelah itu, saya terlibat berburu pangan lokal, memetakan potensinya di sejumlah tempat di NTT.
Jika saja sudah sejak dulu saya tahu sorgum dan jelai yang dimakan Biksu Kampala sebenarnya juga pangan pokok orang NTT zaman dulu, mungkin sudah sejak itu saya hanya akan makan sorgum dan jelai agar sesakti Biksu Kampala, jagoan yang—selain Prabu Siliwangi—tidak bisa dikalahkan Brama Kumbara. Aih, saya jadi ingat tante Lasmini.
Baiklah, kami lanjutkan perjalanan.
Ada pemandangan lain yang menarik hati saya. Di kiri-kanan jalan berdiri rumah-rumah bulat dalam format asli, terletak di belakang bangunan induk. Itu adalah dapur sekaligus lumbung pangan rumah tangga orang Timor yang disebut Ume Bubu. Bangunan ini sering disebut istana perempuan sebab di banyak tempat, kaum lelaki tak boleh asal masuk..
Belum pernah saya kunjungi desa yang setiap rumahnya memiliki ume bubu berarsitektur asli. Di desa-desa yang pernah saya kunjungi, ume bubu dalam format asli umumnya tersisa beberapa saja. Sebagian keluarga telah mengganti dapur mereka dengan arsitektur yang lebih modern. Di Desa Oh’aem I ini, sejauh ruas jalan yang telah saya lewati, tiap-tiap rumah memiliki ume bubu asli.
Saya tidak pernah menyangka jika di Oh’aem I ini, madu dijadikan seperti sup saja. Heh, kalian seperti hidup di surga. Bahkan bocah-bocah Pandawa dan Kurawa yang berlimpah susu dan mentega akan cemburu kepada kalian,” batin saya penuh iri.
Baru beberapa puluh meter mobil berjalan, kami harus berhenti. Di depan sedang ada pengerjaan jalan. Bau aspal panas menyengat. Drum roller kecil merayap malas, mondar-mandir seperti setrika, meratakan kerikil yang disebar para buruh dari tumpukan muntahan sejumlah truk.
Truk-truk memperhatikan gerak drum roller. Sejumlah truk yang tak sabar menderumkan mesin, seperti mendesak drum roller bergegas. Mungkin juga mereka sedang bergunjing, mensyukuri kenyataan, ternyata mereka bukan kendaraan terlambat di muka bumi seperti cemo’oh banyak mobil kecil lincah yang mereka dijumpai di jalanan kota yang ramai. “Jalan sepanjang 1,5 km dari dana desa,” kata seorang warga.
Heuh, bersyukurlah desa-desa ini, mereka sudah bisa mengelola sendiri dananya, memastikan kondisi jalan tidak mengundang umpatan. Jalan raya yang baru saja kami lewati mungkin milik kabupaten atau provinsi, atau pusat. Entahlah. Yang pasti selama 5 tahun beberapa kali saya lalui, tak ada perbaikan.
Tanpa menunggu persetujuan rombongan, saya segera turun, melangkahkan kaki menuju rumah terdekat.
“Haloooo, mama, kantor desa masih jauh?”
“Mungkin 200 meter lagi, Pak,” jawab ibu-ibu di rumah itu.
Tante Lesti, admin Perkumpulan Pikul tadi informasikan acara baru akan dimulai jam 16 sore. Ini baru pukul 12. Saya punya kesempatan foto-foto ume bubu—makanya baca “Bagian 1” dulu agar Om-Tante tidak bingung sendiri baca ini– yang sudah sejak tadi bikin penasaran.
“Mama punya ume bubu di belakang?”
“Pasti ada, Pak.”
“Heee, baguslah. Boleh saya lihat-lihat? Mama-mama belum ke kantor desa kah?”
“Kami sedang masak untuk acara di kantor desa nanti.”
“Ah, kebetulan sekali.” Saya bergegas ke belakang, hendak melihat ume bubu sekaligus menyaksikan bagaimana mama-mama ini mengolah pangan lokal untuk festival nanti. Kekesalan saya karena penundaan penjemputan sehari akan terbayar sudah.
Yang ingin saya tahu adalah bagaimana proses persiapan pangan lokal ini, bukan sekedar wujud jadi mereka saat sudah terhidang rapih di meja-meja festival.
Aiiihh, itu bapak-bapak sedang ramai di belakang, persis di depan ume bubu. Sedang apa mereka?
“Bapak-bapak sedang parut kelapa dan labu untuk masak, Pak,” kata ibu-ibu seperti tahu pertanyaan di kepala saya.
“Begitukah? Jadi acara festival ini bikin bapak-bapak terpaksa masuk dapur.”
“Tidak, Pak. Di sini sudah biasa, bapak-bapak ikut masak,” kata ibu-ibu. Saya tidak percaya. Belum pernah saya lihat yang seperti ini di tempat lain.
“Selamat siang, Pak,” sapa bapak-bapak itu.
“Oiii, hari ini terpaksa masuk dapur kah?”
“Tidak, Pak. Kami di sini begini sudah. Urusan masak itu laki-perempuan ikut semua,” kata salah seorang bapak, lelaki muda yang tampak cerdas oleh matanya yang memancarkan semangat.
“Ah, yang benar saja. Berarti bapak boleh masuk ke loteng ume bubu juga?” Saya masih belum bisa percaya.
“Bisa, Pak?”
“Eh, kan ini istana perempuan. Di tempat lain tidak boleh.”
“Makanya kami kalau ke tempat lain heran, laki-laki tidak ikut masuk dapur,” jawab mereka.
“Begitu ya? Saya boleh masuk ke ume bubu, Mama?”
“Bisa, Pak,” jawab ibu yang tampaknya pemilik rumah. Ia lantas minta suaminya ambilkan senter dan temani saya ke dalam ume bubu.
Di situ, pada sejumlah baskom, beberapa jenis pangan lokal yang sudah dimasak menunggu dibawa ke kantor desa, tempat festival malam nanti. Saya sudah kenal bahan pangan di meja itu, meski umumnya masih berupa tetumbuhan dan bahan mentah.
Ada beragam jenis keladi (putih dan ungu), sejumlah Dioscorea (uwi), dan ‘pisang tanah’. Tetapi agar mereka senang, saya berpura-pura bertanya dengan nada penasaran yang dibuat-buat. Ini teknik khas saya untuk memancing orang bersemangat menceritakan apa yang dia tahu.
Teknik pasang ekspresi penasaran dan celetukan takjub ini selalu berhasil menggali kisah dan informasi orang-orang. Teknik itu sekali lagi berhasil pada ibu-ibu ini. Mereka bukan saja bercerita tentang cara pengolahan, bagaimana mereka memasaknya, seberapa sering menghidangkannya bagi keluarga, tetapi juga mengambilkan mangkok dan sendok agar saya bisa mencicipi.
Mereka mengambilkan saya semangkuk kacang kratok (Phaseolus lunatus L), yang dalam bahasa lokal disebut koto, sementara dalam Melayu Kupang disebut arbila, dan madagascar bean dalam bahasa Inggris. Bentuknya seperti kacang merah untuk sup brenebon, resep masakan peninggalan Belanda yang sangat diakrabi orang NTT.
Menurut Dr. Wayan Mundita, birokrat Universita Nusa Cendana dan botanis yang kerab merendah dengan menjuluki diri sendiri sebagai ‘guru kecil’, kratok aslinya berasal dari pengunungan Andes dan Meso-Amerika. Di Pegunungan Andes, kratok telah didomestifikasi sejak 1500 SM. Pak Wayan tidak tahu kapan persisnya kratok masuk ke Timor Barat, tetapi ia menduga bersamaan dengan masuknya jagung dan labu.
Om-om bisa mengetahui berbagai jenis pangan lokal NTT dari buku karya Pak Wayan ini (klik untuk unduh). Saya membantu Pak Wayan memimpin tim pengumpul data untuk Pulau Lembata.
Kratok ada dua jenis. Kratok domestifikasi tidak beracun, kratok liar beracun. Yang dikonsumsi masyarakat Desa Oh’aem I dan saat ini disuguhkan kepada saya adalah kratok liar. Untuk menghilangkan racunnya, kratok harus dimasak berulang kali dan air rebusannya dibuang tiap periode, 1 jam sekali.
“Bagaimana kalau ini masih mengandung racun? Apa dampaknya?”
“Bisa mati, Pak. Sapi saja mati kalau makan yang masih beracun,” jawab ibu-ibu bersemangat seperti berharap saya akan keracunan.
Gleg! Jika sapi yang bobot tubuhnya mungkin 3 kali lipat saya saja bisa mati, bagaimana dengan saya? Tetapi baiklah, ibu-ibu ini sudah bertahun-tahun mengolah kratok, tentu mereka menjamin semangkuk kratok liar di tangan saya ini sudah aman disantap.
Yang bikin saya terkesima, ternyata hidangan kratok a la Oh’aem berteman madu. Saya disodori semangkuk madu. Semangkuk, lho Om-Tante! Paduan madu dan kratoknya ini namanya losi.
Lalu, mereka sodori pula wijen tumbuk. Saya coba mencampurkannya dengan kratok dan madu. Wuiiih, lezatnya.
Beberapa jenis pangan lokal lain yang diolah kelompok ini—ada 10 kelompok dari 3 desa yang tampil–dan akan mereka tampilkan dalam festival malam nanti antara lain dua jenis uwi (gadung-gadungan), “pisang tanah,” tumbukan wijen, kacang nasi, pisang yang direbus dengan madu—dengan madu, lho, bukan air atau minyak–dan keladi ungu dan putih.
Dugaan saya, uwi (gadung-gadungan) yang dimiliki kelompok ini adalah Dioscorea esculenta dan satu lagi Dioscorea yang belum bisa saya duga jenisnya. Dioscorea esculenta memiliki umbi utama yang berbulu seperti gadung (Dioscorea hispidia) yang beracun itu dan umbi gantung atau umbi udara seperti Dioscorea bulbifera.
Sementara yang mereka sebut pisang tanah sebenarnya ganyong. Nama ilmiahnya banyak: Canna indica L. sin, C. coccine P. Miller, C. edulis Kerr-Gawler, dan C. orientalis Roscoe. Ganyong memang berdaun seperti pisang yang masih kecil. Bagian yang dimakan sebenarnya rimpang. Rasa rimpang ganyong lumayan manis.
Setelah menikmati sejumlah pangan lokal, saya mengikuti mereka ke atas bukit untuk mengambil madu hutan. Ternyata madu yang ada di sana adalah Apis cerana tetapi bersarang di lubang batu.
Madu di Timor ini ada tiga jenis. Yang pertama adalah jenis Apis dorsata. Ukurannya besar, koloninya juga besar, gampang marah dan sengatannya bisa bikin mati. Apis dorsata tidak bisa dibudidayakan.
Jenis kedua adalah Apis cerana. Ukurannya lebih kecil, menyengat tetapi tidak terlampau sakit—tetap bengkak juga sih–dan bisa dibudidayakan dalam kotak persegi. Ada juga klancengan atau madu trigona, tetapi jarang saya lihat dan tidak dibudidayakan di sini.
Lihat nih, video orang Oh’aem I mengumpulkan madu dan anak-anak yang menikmati madu dengan sarang-sarangnya.
Setelah hampir jam 16.00, saya menuju kantor desa. Di sana akan ada 10 kelompok masak dari 3 desa yang memamerkan beragam jenis pangan lokal, lebih banyak, unik, dan menarik.
Baru pernah saya hadiri festival pangan lokal yang seperti ini. Tersaji menarik banyak ragam pangan. Cita rasanya unik dan luar biasa. Saya sampai bingung ketika hendak pilih mau makan apa. Hingga malam hari saat harus kembali ke Kupang, saya masih saja tercengang. Betapa kaya negeri kita.
Sekitar pukul 17 festival pangan lokal dibuka dengan tarian perang. Absobano nama tariannya, berasal dari kata ab ‘tarian,’ so ‘giring-giring,’ dan bano ‘perang’. Para lelaki atoin meto–demikian orang Timor menamakan dirinya–menari dalam balutan busana tradisional mereka.
Parang tergenggam di tangan, kaki menghentak-hentak membunyikan giring-giring. Ibu-ibu yang telah berdandan cantik dengan kalung manik-manik muti melingkari leher, menabuh gendang dan gong.
Tari perang adalah bentuk diplomasi. Dengan tari ini, atoin meto mendeklarasikan kedaulatan atas wilayahnya kepada para tamu. “Kami gembira menyambutmu, menghormatimu, di tanah kami, tanah tumpah darah yang siap kami pertahankan dengan perang sekalipun,” kira-kira demikian tarian ini bermakna.
Ada 10 kelompok yang tampil dalam festival kali ini, 6 kelompok dari desa tuan rumah, 3 kelompok dari Desa Lelogama, dan 1 kelompok dari Desa Oh’aem II.
Kelompok-kelompok masak pangan lokal ini didorong pembentukannya oleh klub pangan lokal yang ada di masing-masing desa. Terima kasih kepada Perkumpulan Pikul Kupang yang dalam pendampingan selama 5 tahun telah menghasilkan kelompok kreatif seperti ini. Perubahan hanya bisa terjadi ketika masyarakat telah terlibat aktif sebagai subjek.
Tidak perlu menunggu dua kali dipersilakan, orang-orang sudah bergegas masuk ke dalam aula kantor desa tempat aneka pangan disajikan pada meja-meja yang mengelilingi ruangan, membentuk huruf U.
Anak-anak muda dan om-tante dari Kupang tampak paling antusias. Anak-anak muda ini berasal dari berbagai komunitas kreatif di Kota Kupang. Mereka datang dengan 10 mobil ke Desa Oh’aem I untuk menikmati kesempatan langka mencicipi pangan tempo dulu.
Festival pangan lokal ini bertema “Taha Tah Tababua Am Nahat Batan Ahunut” yang berarti ‘Masak dan Makan Bersama Makanan Tempo Dulu.’ Maka tentu saja sebagian besar sajian adalah pangan yang diolah a la sajian pangan masa lampau.
Memang aneka pangan ini jika beruntung bisa kita dapatkan kalau sering datang ke desa-desa yang masih mempertahankan pola konsumsi pangan lokal seperti Desa Oh’aem I. Tetapi menjumpai aneka jenis dalam satu kesempatan penyajian adalah kesempatan langka. Apalagi bisa makan sepuasnya tanpa harus malu dikatakan rakus. Tidak heran jika anak-anak muda Kota Kupang rela menempuh perjalanan empat jam melewati jalan buruk untuk bisa hadir dalam festival ini.
Beberapa komunitas kreatif yang menurut informasi hadir di sini adalah Komunitas fotografer Sekolah Musa (mereka juga gelar pameran foto bertema pangan lokal), Komunitas literasi Bagi Buku NTT, komunitas penggiat isu hak anak dan kespro Tenggara, komunitas pecinta lingkungan KOPHI. Sementara komunitas seperti Kejar Palok dan Kupang Batanam terlibat aktif karena memang sudah passion mereka.
Sudah Festival Yang ke-6
Menurut Om Zadrak Mengge, organiser komunitas dari Perkumpulan PIKUL, festival serupa ini sudah 6 kali diadakan di 3 desa di Kecamatan Amfoang.
Om Zadrak memang sudah 5 tahun mendampingi masyarakat di Amfoang untuk isu kedaulatan pangan dan penganekaragaman pangan. Kebetulan 5 tahun lalu saya melakukan baseline study untuk program ini, juga beberapa kali diminta membawa materi dalam workshop tentang kedaulatan pangan dan sekali tentang UU Desa dan Kebijakan Pangan di desa tetangga Oh’aem I, dua kali di Desa Oh’aem II dan sekali di Desa Lelogama.
Om Zadrak bercerita, festival pangan pertama diadakan di Desa Oh’aem II dan kedua diadakan di Desa Oh’aem I. Keduanya pada 2016, didukung pendanaannya oleh Perkumpulan Pikul dan Oxfam. Festival pangan ke-3 dan ke-4 dilakukan di Lelogama pada 2016 dan 2017. Yang mengadakan adalah Gereja Peniel I (2016) dan kerjasama Gereja Peniel I dan Gereja Peniel II (2017).
Festival pangan ke-5 diadakan oleh Pemdes Oh’aem I dengan memanfaatkan dana desa. Sementara yang ke-6 ini merupakan festival gabungan 3 desa: Oh’aem I (tuan rumah), Oh’aem II, dan Lelogama. Festival ke-6 ini didukung oleh Oxfam Indonesia dan Perkumpulan PIKUL.
Kemungkinan besar, menyimak kata sambutan Camat Amfoang, pada Agustus nanti, sebagai bentuk perayaan Kemerdekaan RI akan diadakan festival pangan tingkat kecamatan. Wow, saya sudah contreng agenda untuk kosongkan jadwal saat itu.
Hidangan Beragam, Unik, dan Lezat
Hidangan pangan lokal yang disajikan 10 kelompok masak dari 3 desa ini sungguh luar biasa. Om-Tante bisa lihat sendiri pada video, saya sempat bingung mau mencicipi yang mana duluan.
Saya tidak bisa ceritakan semuanya. Karena itu, mungkin kali ini saya cerita saja aneka jenis pangan pokok sumber karbohidrat dan beberapa jenis sajian yang unik.
Orang Timor pada zaman dahulu, seperti orang NTT pada umumnya mengonsumsi pangan pokok berupa biji-bijian, kacang-kacangan, umbi, rimpang, dan buah. Berikut beberapa dari yang tersaji pada festival pangan lokal 2018 di Desa Oh’aem I ini. Saya gunakan foto-foto sumbangan fotografer cilik Ike Nggili
Berbagai bentuk olahan dan penyajian Jagung, beras, sorgum, dan kacang-kacangan
Biasanya Jagung, beras, kacang-kacangan, dan sorgum diolah dan disajikan sebagai campuran minimal dua jenis. Misalnya beras dan jagung, beras dan kacang merah, jagung dan kacang merah, sorgum dan kacang, dan lain-lain.
Hidangan berbahan Jagung yang paling terkenal adalah Jagung bose. Di dalamnya ada Jagung kupas kulit ari dan kacang merah kecil yang disebut kacang nasi. Jagung bose ini manis dan nikmat sekali.
Dalam artikel sebelumnya, “Masyarakat Pemakan Madu di Kaki Benteng Gunung Batu Kauniki,” saya sertakan video saat menikmati kacang hutan Kratok bersama madu. Uouh, enaknya. Coba Om-Tante lihat lagi video di artikel itu nanti.
Umbi, Rimpang dan Buah
Umbi-umbian yang dijadikan pangan pokok adalah singkong, ubi jalar,dan beragam jenis uwi (Dioscorea). Rimpang yang dikonsumsi sebagai pangan pokok adalah keladi, talas, dan ganyong yang mereka sebut pisang tanah. Labu dan pisang adalah jenis buah yang dijadikan pangan pokok. Cara pengolahannya beragam. Yang paling saya sukai adalah keladi yang ada lapisan selai pisang di tengahnya.Beragam Jenis Sambal, saos madu, sarang lebah, dan sambal anak lebah
Masing-masing jenis hidangan memiliki teman sambal yang khas. Jika saya perhatikan, ada 6 variasi sambal. Yang paling terkenal dan sering diulas di tv adalah sambal lu’at. Ada pula sambal jantung pisang, dan yang unik adalah sambal lebah, berbahan dasar larva lebah. Selain sambal, pangan pokok seperti umbi-umbian dan kacang-kacangan dinikmati dengan saos madu. Wuih. Enak nian.
Favorit saya
Di antara beragam sajian pangan lokal itu, ada 4 favorit saya: kacang saos madu, sarang lebah, sambal larva lebah, dan tentu saja se’i babi. Sayang sekali, saya tidak sempat menikmati se’i babi selama festival. Tetapi tidak mengapa sebab warung se’i babi tersebar di setiap penjuru Kota Kupang.
Se’i adalah daging asap, bukan panggang. Kayu yang dipakai untuk mengasapi daging se’i harus kayu kusambi. Ada dua daging yang lazim dijadikan se’i, yaitu se’i sapi dan yang paling nikmat adalah se’i babi.
The article was also published on Kompasiana.