Setiap momentum Pemilu, sejumlah artis pindah kanal TV, meloncat dari kanal hiburan ke kanal berita. Bagaimana ceritanya gejala “mendadak politis” di kalangan selebriti ini? Apakah ini ciri politik yang kian dekaden?
Taktik meraih banyak suara dalam pemilu dengan mendaftarkan selebritas sebagai caleg sudah lumrah sejak Pemilu 2009. Tampaknya ini jalan termurah Parpol untuk memenangkan persaingan dalam sistem pemilu proporsional terbuka. Orang-orang memilih langsung para caleg, mencoblos pada nama yang mereka kenal dan sukai. Peraih coblosan terbanyak terpilih jadi anggota parlemen. Otoritas Parpol sekadar menyodorkan daftar caleg dan menentukan nomor urut. Nomor urut itu sendiri tak lagi berarti apa-apa, sekedar posisi yang mudah ditemukan pada kertas suara.
Dengan sistem pemilu yang seperti ini, popularitas adalah kunci. Ia primer, menyingkirikan kapabilitas ke urutan sekian. Seseorang dengan popularitas namun tanpa kapabilitas sangat mungkin terpilih, sebaliknya tak.
Partai politik menyadari hal ini. Menyodorkan para selebriti dalam daftar menu di surat suara adalah opsi murah meraup banyak suara.
Selebriti adalah orang-orang masyur oleh pemberitaan media massa. Mereka terutama adalah kalangan artis.
Wajah dan nama mereka tiap-tiap hari menghias layar televisi, media cetak, dan laman internet. Akun media sosial mereka dibanjiri pengikut. Remaja-remaja dengan sukarela membentuk klub penggemar. Pekerja media berburu berita tentang kehidupan mereka, seringkali berupa urusan-urusan pribadi tak penting.
Maka jangan heran, ketika seorang ibu di desa bersorak sebab dana desa telah membawa instalasi air bersih menyapanya hingga ke dapur, ia tak tahu siapa nama Menteri Desa, siapa nama para politisi DPR yang sudah memperjuangkan lahirnya UU Desa. Tetapi ia sangat tahu, Syahrini sedang marah-marah karena Siti Badriah menjadi kaya oleh “lagu syantik”.
Rakyat Indonesia memang paling gemar tonton sinetron dan ajang pencarian bakat. Melalui survei di tahun 2012, Nielsen menemukan bahwa orang Indonesia rata-rata menghabiskan 197 jam setahun untuk menonton sinetron atau 24 persen dari total waktu menonton televisi dan 20% (168 jam setahun) untuk menonton tayangan program pencarian bakat (tempo.co, 06/03/2013).
Dalam hal kepentingan pragmatis, parpol sudah bertindak tepat. Pada pemilu 2014, dari 74 caleg DPR RI dari kalangan artis, 19 di antaranya melenggang ke Senayan (Kompas.com, 18/07/2018). Porsi 25,67 persen terpilih dari total caleg artis yang diajukan itu lumayan.
Parpol zaman now memang cenderung abai terhadap kapabilitas politisinya sebab mereka mengutamakan kuantitas kursi di parlemen sebagai jalan berkuasa, dan bukannya kualitas anggota parlemen untuk memperjuangkan platform parpol sesuai yang dikampanyekan kepada rakyat. Yang dikejar adalah kekuasaan, bukan kesempatan memperjuangkan kebijakan-kebijakan publik yang sesuai platform Parpol.
Tetapi untuk apa juga memperjuangkan platform? Toh dari parpol nomor 1 hingga nomor terakhir, platform-nya sama saja. Mereka tak pernah sungguh-sungguh bertengkar di parlemen oleh perbedaan platform.
Parpol zaman now tampaknya memang tidak dibangun sebagai wadah bagi kelompok-kelompok sosial masyarakat untuk memperjuangkan kepentingannya; tidak sebagai tubuh politik pragmatis dari gagasan-gagasan, ideal-ideal tentang kehidupan publik, yang beragam dan saling bertumbukkan itu.
Parpol zaman now adalah alat bagi para pendiri, pengurus, dan cukongnya untuk mengakses kesempatan memanfaatkan rente ekonomi dari porsi kekuasaan mereka.
Konsekuensinya rakyat tidak dipandang penting untuk dijadikan sungguh-sungguh anggota parpol. Rakyat hanya didaftarkan sebagai anggota demi lolosnya parpol sebagai peserta pemilu dalam verifikasi faktual KPU. Kartu-kartu anggota dicetak hanya untuk itu dan berlaku hanya saat itu. Selebihnya para anggota itu sama derajatnya dengan konstituen massa mengambang yang dibutuhkan suaranya ketika hari pencoblosan tiba. Begitu perhitungan suara dimulai, berakhir pula hubungan pura-pura mesra antara rakyat dan parpol.
Karena itu, parpol tidak memandang penting pembangunan infrastruktur organisasi yang memadai menjangkau rakyat.
Jangankan menjangkau rakyat, struktur parpol tingkat kecamatan sering hanya berfungsi saat verifikasi kepengurusan oleh KPU (dan oleh Dephumham untuk parpol baru). Lima tahun sekali, sebagai syarat administratif mengikuti pemilu, barulah parpol mengingat struktur kecamatannya. Saat itu Surat Keputusan kepengurusan diperbaharui. Sibuk dan hiruk-pikuk kantor-kantor parpol mencari pengurus baru yang bersedia namanya dicantumkan dalam SK sebab baru diketahui saat itu, nama-nama sebelumnya telah meninggal, merantau, atau pindah ke partai lain.
Bahkan demikian pula nasipnya kepengurusan tingkat kabupaten/kota. Di luar masa pilkada dan pemilu, satu-satunya penanda sebuah bangunan pernah menjadi sekretariat parpol adalah papan nama yang berdiri di halaman. Tak ada lagi aktivitas di dalamnya. Lampu-lampu berhenti menyala, laba-laba membangun sarang di ruang tamu, orang bisa menanam jagung di atas meja ketua oleh tebalnya lapisan debu.
Gara-gara itu, para politisi fungsionaris parpol tidak dikenali rakyat. Wajarlah jika parpol membutuhkan bantuan selebritas untuk meraih suara.
Tetapi seringkali parpol berlaku tidak adil terhadap para caleg artis. Mereka sekedar dimanfaatkan untuk mendongkrak suara elit parpol atau sekadar memobilisasi orang berduyun-duyun menghadiri pengelaran kampanye terbuka.
Saat dihadirkan di panggung kampanye, adalah goyang pinggul dan suara indah mereka tembangkan lagu yang dipamerkan kepada rakyat, bukan isi kepala.
Karena populer se-Nusantara, artis dan selebriti lainnya, bisa ditempatkan di dapil manapun dan meraih cukup banyak suara. Parpol memanfaatkan ini, menempatkan selebriti sedapil dengan elit-elit parpol, para petinggi di tingkat pusat. Harapannya, suara yang diperoleh para artis dapat menambah perolehan suara kolektif parpol di dapil bersangkutan. Parpol sudah punya hitungan sendiri, suara yang diperoleh artis tidak akan melampaui elit-elit parpol yang memang diharapkan menang.
Dari ‘bisik-bisik’ terkadang hal ini juga melibatkan transaksi kamar gelap pemindahan perolehan suara di internal parpol, dari akun rekap suara si artis ke akun elit parpol. Tentu saja tergantung kepada sikap penyelenggara (termasuk pengawas), apakah mau bekerja sama atau tidak.
Eksploitasi artis dalam politik parlementer adalah kondisi minus perpolitikan kita. Namun jika melihat sepak terjang para politisi akhir-akhir ini, sepertinya tiada bedanya artis yang mendadak politisi dengan para politisi yang sudah ngendondi parpol bertahun-tahun lamanya.
Simak saja kegaduhan yang timbul dari perang pernyataan antar-politisi pada hal remeh-temeh, bukan pada perbedaan mereka tentang haluan kebijakan pemerintah.
Jikapun ada politisi yang bicara cukup substansial, kita akan tetap merasa aneh. Parpol yang pernah oposisi dan menyerang kubu penguasa karena kebijakan-kebijakan ekonomi yang liberal dan kebijakan politik yang anti-demokrasi, begitu gantian berkuasa justru sama liberal dan anti-demokrasinya dengan pemerintahan sebelumnya. Sebaliknya, mantan parpol penguasa yang semasa memerintah berhaluan ekonomi liberal dan anti-demokrasi, ketika gantian menjadi oposisi tiba-tiba jadi gandurng dengan jargon ekonomi kerakyatan dan demokrasi.
Kondisi ini membuat rakyat memandang dunia politik sebagai panggung sandiwara. Lha, bukankah panggung sandiwara memang seharusnya lapak bermain para artis? Daripada menyaksikan sandiwara amatiran para politisi, bukankah lebih baik sekalian saja kita serahkan Senayan kepada artis-artis sinetron, para pemain sandiwara profesional?