Jokowi-Gibran, Problem Etika Terpenting Politik Dinasti

“Political dynasty is something that is not desirable but (it thrives) because of the Filipino culture. We must have a law. Absent of a law, it should be the moral values of the family. It’s a moral issue more than legal because if the head of the family has a strong moral compass, then he will avoid dynasty practices.” 

— Ramon Magsaysay Jr, senator Filipina, putra Presiden Filipina ke-7, Ramon del Fierro Magsaysay Sr.

Saya 100% setuju pernyataan Ramon Magsaysay junior. Sekalipun tidak ada hukum yang melarang, praktik dinasti politik seharusnya dihindari sebab bertentangan dengan etika publik. Ketika tidak ada hukum yan melarang, faktor kunci pencegahan praktik dinasti politik terletak pada kepala keluarga sebagai patron politik. 

Politisi yang baik seharusnya menjadi kompas moral bagi keluarga, memberikan contoh keutamaan politik bermartabat kepada keluarga, menghindari praktik dinasti politik.

Sepertinya para petinggi PDIP yang membela pencalonan Gibran dalam Pilkada Solo dengan argumentasi tidak ada hukum yang melarang, perlu merenungkan pernyataan Ramon Magsasay Jr.

Dinasti politik memang bukan problem hukum melainkan masalah etika. Etika adalah prinsip-prinsip moral yang menuntun perilaku dan tindakan seseorang dalam relasi sosial. Karena politik adalah juga relasi sosial, tidak terhindarkan para aktornya dituntut berperilaku etis.

Secara etimology, etika (dari bahasa Yunani, ethos) dan moral (dari bahasa Romawi, mos) sama-sama berarti kebiasaan-kebiasaan yang mapan dalam relasi masyarakat sehari-hari [Guareschi, 2017).

Kebiasaan-kebiasaan bersyarat keberterimaan oleh anggota masyarakat. Masyarakat umumnya menerima hal-hal yang secara umum dianggap baik — meski penilaian tentang baik dan buruk berkembang seturut gerak zaman. 

Apapun ranah dan bentuk relasi sosial manusia, pertimbangan baik-buruk perilaku, peran, dan tangungjawab setiap partisipan relasi sosial selalu integral di dalamnya. Itu sebabnya, Paulo Freire katakan, manusia adalah makhluk etis; etika melingkupi segala keberadaan manusia.

Akan tetapi pendasaran penilaian baik-buruk selalu mengundang pertanyaan bahkan perdebatan. Karena itulah menurut Pedrinho Guareschi, muncul upaya untuk membedakan moral dan etika. 

Moral adalah kebiasaan dan norma yang eksplisit, diam-diam, dan tidak dipertanyakan terbangun di antara individu dan kelompok. Sebaliknya etika selalu menuntut refleksi filosofis tentang pendasaran status baik dan buruk suatu tindakan atau perilaku.

Karena itu, dalam artikel ini saya mencoba menyumbang permenungan, pendasaran mengapa dan bagaimana praktik dinasti politik atau politik dinasti tidak etis.

Tetapi sebelumnya, perlu pula dipahami bahwa tidak semua politisi menerima pentingnya pelibatan etika dalam politik.

Benot Girardin (2012) memetakan empat sikap dan posisi utama politisi terhadap hubungan etika dan politik.

Yang pertama adalah skeptisisme. Golongan ini memiliki keraguan kuat untuk melibatkan etika dalam politik. Girardin menyebut golongan ini amoral.

Golongan pandangan kedua adalah sinisme, menyatakan etika bukan saja tidak cocok melainkan juga merusak politik. Mereka adalah golongan immoral.

Golongan ketiga selalu berupaya mengaplikasikan nilai-nilai etika ideal dalam tujuan politik, mengangapnya normatif dan menginspirasi. Ini adalah golongan pandangan moralisme.

Golongan keempat adalah pandangan bahwa etika merupakan nilai tambah dalam politik, dan bahwa setiap tindakan dan keputusan politik secara kasus per kasus perlu diperiksa dalam sudut pandang etis. Girardin menamai golongan sikap ini sebagai pragmatisme.

Saya kira pembaca akan bersepakat, golongan ketiga atau keempat yang sebaiknya dianut para politisi.

Untuk menilai apa, bagaimana, dan mengapa masalah etis terbesar atau terpenting dari dinasti politik, kita perlu kembali ke pernyataan Ramon Magsasay Jr.

Ramon Magsasay Jr tidak bermaksud mengatakan semua dinasti politik — jika itu dimaknai sebagai keluarga yang anggota-anggotanya turun-temurun terjun ke dunia politik praktis — semata-mata buruk. Bukan itu. Magsaysay sendiri salah satu dinasti politik paling berpengaruh di Filipina.

Praktik buruk dinasti politik yang dikritik Ramond Maggsaysay Jr adalah ketika seorang anggota keluarga menduduki jabatan publik tinggi yang dapat memengaruhi hasil pemilihan jabatan publik lainnya, anggota lain dari keluarga itu mencalonkan diri pula untuk jabatan-jabatan lain tersebut.

Ramon mencontohkan keteladanan ayahnya, Ramon del Fierro Magsaysay Sr., Presiden Filipina ke-7 (1953-1957). Saat menduduki kursi kepresidenan, Ramon Magsaysay Sr. melarang anggota keluarganya mencalonkan diri untuk jabatan-jabatan publik. 

Genaro Magsaysay, adik kandung Ramon Sr baru mencalonkan diri sebagai anggota DPR pada 1957, tepat di tahun kakaknya meninggal dalam kecelakaan pesawat ketika melakukan lawatan kepresidenan.

Jadi, meski secara umum dinasti politik sebaiknya dihindari, ada praktik khas dinasti politik yang sungguh buruk, yaitu ketika anggota keluarga seorang presiden, gubernur, bupati, atau wali kota mencalonkan diri untuk jabatan publik lain yang hasil pemilihannya dapat dipengaruhi oleh intervensi kekuasaan presiden, gubernur, bupati, atau wali kota.

Kasus ini, seperti pencalonan Gibran dalam Pilkada Surakarta di saat Joko Widodo menjabat Presiden, pencalonan Siti Nur Azizah di Pilkada Tangerang Selatan saat Ma’ruf Amin menjabat Wakil Presiden, atau pencalonan suami/istri gubernur, wali kota, dan bupati dalam pemilu parlemen 2019 lalu, merupakan pelanggaran etika politik terburuk karena berpotensi pencederaan asas fairness dalam pemilu oleh misuse administrative resources, ‘penyalahgunaan sumber daya administratif’.

Tidak ada orang yang terlampau bodoh untuk menyangkal akses presiden (terutama), gubernur, bupati, atau wali kota terhadap sumber daya manusia, keuangan, fasilitas, dan aspek lain administrasi penyelenggaraan pemilu. 

Para pendukung dinasti politik -sering karena kebetulan yang terlibat politik dinasti adalah patron mereka- mungkin akan bersikap anti-teori dengan mengklaim ‘orang baik’ tidak mungkin menyalahgunakan kekuasaan; orang baik akan menghindari moblisasi sumber daya administrasi untuk melayani kepentingan pribadi dan keluarganya.

Naif. Entah butuh berapa banyak lagi penghianatan ‘orang-orang baik’ untuk membuktikan kebenaran hukum ‘kekuasaan cenderung korup’.

Dalam konteks lebih spesifik dari hukum yang dinyatakan Lord Acton, Max Weber dalam esainya, “Politics as a Vocation” mengulas temuan fakta-fakta karakter penguasa semenjak land lord di masa feodalisme hingga penguasa negara modern yang selalu berupaya mengendalikan administrasi negara, yang sejatinya memiliki otonomi dalam mengurusi hal-hal tertentu, agar mengabdi kepada kepentingan dan keuntungan pribadi si penguasa.

Benar bahwa untuk memagari penyelenggaraan pemilu (pilkada juga pemilu) dari misuse administrative resources telah dibuat serangkaian perundang-undangan; telah dibentuk lembaga-lembaga pengawas dan lembaga penyelesaian sengketa pemilu dan pilkada. 

Namun kita juga terus-menerus menyaksikan kekuasaan -juga uang- dengan mudah merusak pagar-pagar itu. Setiap pagar baru dibangun atau diperkuat, selalu ada celah baru yang bisa diterobos aktor-aktor kekuasaan untuk memuluskan kepentingannya.

Kecurangan, melalui mobilisasi sumber daya negara -sebagaimana melalui money politics– berdampak pemilu atau pemilukada tidak menghasilkan pemimpin yang dikehendaki rakyat.

Karena aturan-aturan dan lembaga-lembaga tidak cukup menjamin pemilu atau pilkada yang adil, politik membutuhkan etika, prinsip-prinsip moral. 

Salah satu etika politik penting adalah anak, suami/istri, kakak/adik, dan lain-lain kerabat dekat presiden dan wapres sebaiknya menjauhkan diri dari kompetisi jabatan-jabatan publik yang hasil pemilihannnya dapat diintervensi oleh presiden atau wapres. Demikian pula sanak-famili gubernur, bupati, atau wali kota.

Hal ini sama saja dengan persoalan konflik kepentingan seperti yang saya bahas dalam “Klarifikasi Adik Prabowo Subianto, Konflik Kepentingan, dan Oligarki di Balik Ekspor Benih Lobster“.

Baik konflik kepentingan maunpun dinasti politik adalah problem etika. Dua hal ini bukan kejahatan tetapi berpontensi mendorong kejahatan. Konflik kepentingan dapat -tidak harus- berdampak kolusi, korupsi, dan nepotisme. 

Sementara politik dinasti dapat berdampak pencederaan asas fairness dalam pemilu melalui mobilisas sumber daya negara yang berada dalam kendali patron politik.

Ya. Begitu saja.

Kita tentu berharap para politisi merupakan golongan penganut pandangan moralisme atau pragmatisme dalam hubungan antara etika dan politik, bukan kelompok penganut sinisme (immoral) atau skeptisisme (amoral). Tetapi jika kenyataanya mereka golongan immoral dan amoral, bagaimana rakyat harus bersikap?

Saya kira memenangkan kotak kosong adalah pilihan rasional rakyat dalam menghajar para politisi anti-etika.***

Bahan Bacaan:

  • Girardin, Benot. Ethics in Politics: Why It Matters More than Ever and How It Can Make a Difference. Globethics.net, 2012.
  • Guareschi, Pedrinho. (2017). Ethics and Politics. Revista Katlysis, 20(3), 322-324. https://doi.org/10.1590/1982-02592017v20n3p322
  • “‘Issue of Political Dynasties More Moral than Legal’ | Philstar.Com.” Accessed July 24, 2020. https://www.philstar.com/headlines/2012/10/31/861951/issue-political-dynasties-more-moral-legal.
  • Weber, Mar. “Politics as a Vocation.” In From Max Weber: Essays in Sociology. Penerjemahan dan editor oleh H. H. Gerth, and C. Wright Mills. New York: Free press, 1946.

Published sebelumnya di Kompasiana.



You cannot copy content of this page.

If you need copy of the content, please contact me at gegehormat@gmail.com.