Dunia mengenalnya sebagai peristiwa Pembantaian Lapangan Tiananmen. Terjadi di China, 4 Juni 1989, puncak dari ketegangan antara pemerintah dan mahasiswa.
Militer China merepresi pengunjuk rasa, menembaki satu jutaan massa mahasiswa dan buruh. Sekurang-kurangnya 400 orang tewas, ada yang mengklaim hingga 7.000 dan ribuan lain dipenjarakan.
Kita akan membahas peristiwa ini untuk mengambil pelajaran-pelajaran penting darinya agar peristiwa serupa tidak terjadi di Indonesia masa depan.
Artikel ini terbagi atas dua bagian. Bagian pertama membahas seting ekonomi yang melatar belakangi Pembantaian Lapangan Tiananmen.
Pada bagian kedua nanti, kita akan membahas latar belakang politiknya, meliputi pertarungan internal di Partai Komunis China, jatuhnya Uni Soviet, dan reaksi rezim terhadap protes mahasiswa. Pada bagian kedua kita juga akan menarik kesimpulan berupa pelajaran-pelajaran apa yang perlu dipetik.
***
Setelah kematian Zhou Enlai (Januari 1976), Mao (September 1979), dan Liu Shaoqi (November 1969), serta penumpasan Gang of Four oleh Hua Guofeng, Deng Xiaoping tampil sebagai tokoh paling berpengaruh di PKC sekaligus dalam pemerintahan RRC.
Deng Xiaoping adalah tokoh partai yang pernah ditendang pada era Mao karena dinilai oportunis.
Setelah ditarik kembali pada masa Zhou Enlai dan menduduki posisi Sekjend PKC pada 1954, Deng Xiaoping menjabat Ketua Komisi Penasihat Pusat PKC (1982-1987) dan Ketua Komisi Militer Pusat (1981-1989).
Deng tidak pernah menjadi ketua partai. Tetapi ia memenangkan pengaruh di internal partai melawan Hu Yaobang yang menggantikan Hua Guofeng sebagai Ketua Umum PKC (1981-1982), sekaligus Sekjen PKC (1980-1987).
Pemikiran Deng Xiaoping bahkan diadopsi ke dalam ideologi resmi PKC, setara dengan Marxisme-Leninisme dan Pemikiran Mao Zedong. Pemikiran itu dikenal sebagai Dengisme, diklaim sebagai penyesuaian Marxisme-Leninisme dan Pemikiran Mao terhadap kondisi sosio-ekonomi Tiongkok.
Tantangan Liberalisasi Ekonomi Deng Xiaoping
Dengisme menitik beratkan perubahan haluan ekonomi RRC dari Revolusi Kebudayaan Mao menjadi The Four Modernizations, yaitu penguatan di lapangan pertanian dan industri melalui liberalisasi ekonomi serta penguatan di bidang pertahanan dan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam rangka Empat Modernisasi, sejumlah reformasi di sektor pertanian dan industri dijalankan dalam dua tahap. Tahap pertama bermula pada 1978 dan tahap kedua pada 1884.
Reformasi tahap pertama dilaksanakan di bidang pertanian melalui kebijakan household responsibility system. Ini adalah program dekolektivisasi pertanian.
Rumah tangga petani pedesaan boleh memiliki dan mengelola lahan pertanian sendiri, keluar dari pengolaan bersama dalam koperasi petani, dengan syarat hasil produksinya dijual kepada pemerintah.
Kebijakan ini ditempuh untuk meningkatkan produksi pangan. Penguasaan lahan pertanian secara pribadi diharapkan menjadi insentif bagi peningkatan produktivitas pertanian. Deng berhasil. Produksi pangan meningkat 25 persen.
Tentu saja perubahan haluan ini dilakukan dengan sangat hati-hati. Awalnya melalui sebuah percobaan rahasia yang melibatkan 18 rumah tangga petani, diikuti percobaan lebih luas di Provinsi Sichuan dan Anhui pada 1979.
Setelah percobaan ini membuktikan peningkatan signifikan dalam produktivitas, household responsibility system diterapkan secara nasional pada 1981.
Sedikit keluar konteks, lihat bagaimana pemerintah China terlebih dahulu melalukan riset jangka panjang diam-diam untuk ujicoba sebuah kebijakan sebelum menerapkannya.
Di negeri kita, sebuah kebijakan sudah di-sounding keras-keras sebelum dipikirkan matang lalu buru-buru dibatalkan setelah menuai polemik yang heboh.
Keberhasilan houshold responsibility system mendorong perluasan penerapannya ke sektor industri melalui Industrial responsibility system.
Dengan kebijakan baru ini, BUMN boleh dikelola kalangan privat berbasis kontrak. Selain itu, bisnis swasta domestik kembali dibolehkan beroperasi dan investasi asing diizinkan masuk ke kawasan ekonomi khusus.
BUMN juga diizinkan menjual kelebihan kuota produksi pada dua jenis harga: harga pasar dan administered price. Kebijakan-kebijakan ini dilakukan untuk mendorong peningkatan produksi yang mengatasi kelangkaan oleh kelemahan administratif dalam sistem ekonomi komando.
Untuk mendorong permintaan–juga insentif bagi produktivitas buruh–sistem upah diubah dari sebelumnya berlaku sama untuk semua jenis pekerjaan menjadi lebih fleksibel.
Pada periode kedua (1980an), Deng kian gencar dengan agenda liberalisasi ekonominya.
Kontrol negara terhadap perusahaan swasta kian dilonggarkan; perusahaan negara yang tidak menguntungkan diprivatisasi; dan dalam skala tertentu, Pemda diberikan otonomi untuk merencanakan dan menata perekomian dengan cara-cara baru yang bersemangat liberal.
Tetapi seperti halnya ekonomi komando, ekonomi pasar juga memiliki keterbatasan.
Ekonomi komando a la sosialisme terpusat rentan terhadap perilaku free rider dan karena itu meniadakan insentif bagi individu-individu untuk lebih produktif.
Ini faktor utama di balik kelangkaan barang-barang, selain bahwa perencanaan terpusat memang terbatas dalam membaca kondisi objektif kebutuhan rakyat.
Di sisi lain, ekonomi pasar mampu mendorong peningkatan produktivitas sehingga barang-barang tersedia tetapi sebaliknya membatasi akses rakyat oleh karena inflasi dan ketimpangan kesejahteraan. Jika dalam ekonomi komando barang-barang langka, dalam ekonomi pasar barang-barang tersedia tetapi tidak terbeli.
Dua kali inflasi sebelum 1989 (1985 dan 1988) melahirkan keraguan terhadap reformasi ekonomi. Ketimpangan melebar, harga barang-barang tak terjangkau.
Inflasi membuka kenyataan merenggangnya tingkat kesejahteraan antara rakyat dan para pejabat pemerintahan yang dihasilkan oleh liberalisasi selama satu dekade terakhir.
Ketimpangan bukan cuma disebabkan perbedaan tingkat upah, tetapi juga oleh mental korup para birokrat yang disebut dengan istilah guandao (‘official profiteeting‘) yaitu memanfaatkan akses membeli murah barang-barang pada harga administered tetapi menjualnya kembali pada harga pasar.
Liberalisasi ekonomi, terutama perbedaan upah dan kebijakan dua harga ternyata berdampak pada kelangkaan barang-barang pada harga administered sebab diborong pejabat dan keluarganya. Sementara barang-barang pada harga pasar sulit diakses karena inflasi.
Kondisi ini melahirkan protes yang sebenarnya telah dimulai oleh kader Partai Komunis dari kalangan buruh sejak 1979.
Baiklah. Bagian pertama sampai di sini dulu. Kita lanjutkan pembahasan latar bekalang politik peristiwa Tiananmen pada artikel bagian kedua.
Bahan bacaan:
- Suettinger, Robert L. (2003). Beyond Tiananmen: the politics of U.S.-China relations, 1989-2000. The Brookings Institution.
- Hay, Jeff (ed) (2010). The Tiananmen Square protests of 1989. Greenhaven Press
- Naughton, Barry (2009). “China: Economic Transformation Before and After 1989.” Makalah dalam konferensi “1989: Twenty Years After.”
- Kerns, Ann (2011). Who Will Shout If Not Us? : student activists and the Tiananmen Square protest, China, 1989. Lerner Publishing Group, Inc.