“Anarchist from Colony”, Kisah “Rebel Boy” Korea yang Lebih Keren dari Dilan

Sumber: asianmoviepulse.com

Anarchist from Colony adalah film bergenre drama biografi yang diputar pertama kali pada akhir Juni 2017 lalu di Seoul, Korsel. Film ini diangkat dari kisah nyata sejarah perjuangan bangsa Korea melawan penjajajah Jepang, terutama seputar perjuangan dua tokohnya, si cowok Korea Park Yeol (saat itu 22 tahun) dan gadis Jepang Kaneke Fumiko (saat itu 19 tahun) di Tokyo.

Aslinya Korea dijajah Jepang sejak 1910 hingga 1945. Tetapi karena film ini berpusat pada kisah perjuangan sejoli Park-Fumiko dan grup kecilnya, maka Anarchist from Colony juga hanya seputar era 1923-1926. Itu pun cuma di Tokyo.

Baiklah, saya cerita sedikit tentang betapa keren film ini, terutama bagi kalian, orang muda yang mencintai pengetahuan. Kita bicarakan lima adegan favorit saya.

Pertama, pembukaan film

Film dibuka dengan indah, adegan Park Yeol menarik becak, becak ‘china’ yang tak pakai sepeda itu. Duduk sebagai penumpang, orang Jepang pelit dan kejam. Adegan ini diisi dengan suara Fumiko membacakan puisi Park Yeol, Damned Dog. Puisinya dalam bahasa Korea tentu saja, tetapi teks subtitle-nya begini: “I’m only a damn dog / barking at the sky / barking at the moon / I’m only a worthless damn dog.”

Ketika tiba, si penumpang Jepang tidak membayar pas. Ia justru menganiaya Park Yeol karena menagih kekurangan ongkos, menendang berulang kali sambil mengeluarkan caci-maki rasis kepada orang Korea.

Kedua, Fumiko nyatakan cinta

Ini adegan percakapan di pintu kontrakan yang sekaligus sekretariat organisasi anarkisBulryeongsa. Dalam sejarah, organisasi itu aslinya  bernama Futeisha yang merupakan  satir dari julukan Jepang kepada orang Korea,  ‘Futei senjin’ atau unruly Korean. Terjemahan bebasnya kira-kira Korea badung.

Park Yeol yang baru pulang sudah ditunggu gadis manis, ramah, lincah,  lucu, dan terlihat cerdas.

“Hei, dirimu pemberontak Korea paling gila, si Park Yeol kan?” sapa si gadis.

“Dia orang Jepang atau Korea?” Tanya Yeol pada kawannya yang berdiri di depan pintu.

“Di antara itu,” jawab si kawan.

“Saya Kameko Fumiko. Nama Korea saya Mun-ja.” Si gadis cepat-cepat perkenalkan diri ketika Yeol cuek dan akan segera berlalu.

“Aha, “Damn Dog.” Kamu perempuan kedelapan yang datang padaku setelah membacanya.” Yeol tertawa melihat si gadis membekap majalah bulanan Young Korean edisi yang ada puisi Yeol. Lalu Yeol segera masuk.

“Tunggu. Kamu sudah punya cewek?” Fumiko keukeuh. “Maksudku kalau sudah punya, nggak apa-apa kalau kita berteman saja. Bagaimana menurutmu?”

Gue single,” jawab Yeol setelah jeda sejenak karena bingung.

“Yuk tinggal bersama. Saya juga seorang anarkis,” kata Fumiko senang.

Gileeee, ini cewek baru ketemu penyair pemberontak pujaannya langsung main tembak saja. Keren nggak, orang muda?

Adegan ketika Fumiko mengajak Park Yeol pacaran di pertemuan pertama mereka. Sumber: tangkapan layar, dokpri.

Ketiga, adegan singkat di perpustakaan.

Sebagai pecinta buku, saya sering merasa gimana gitu kalau menonton adegan sepasang kekasih di perpustakaan atau sedang membicarakan buku.

Ada satu adegan singkat, Yeol dan Fumiko membicarakan pekerjaan mereka menerjemahkan buku-buku progresif ke dalam bahasa Korea dan Jepang.

Saya kenal buku yang dipegang Fumiko, yang akan mereka terjemahkan. The Conquest of Bread, sebuah terjemahan Inggris dari judul asli “La Conquete du Pain,” serial makalah  dalam jurnal anarko Prancis Le Revolte, 1892 hingga 1894. Penulisnya adalah toko anarkis Rusia, Peter Kropotkin.

Keempat, lagu  L’Internationale dalam penjara.

Di penjara, ketika Yeol dibon (istilah penjara untuk membawa keluar tahanan guna diperiksa –sering berarti dianiaya), Fumiko, cs menyanyikan L’Internationale (dalam versi bahasa Korea). Ini lagu yang sering kita dengar dalam unjukrasa kaum buruh, terutama pada tanggal 1 Mei.

Ada kesalahan persepsi bahwa L’Internationale merupakan lagu Komunis.

Sejarahnya lagu ini awalnya merupakan syair yang ditulis  Eugne Pottier  di masa akhir kejayaan ‘Komune Paris’ pada revolusi Prancis, 28 Maret-28 Mei 1871. Pada 1988, Pierre Degeyter menggubahnya menjadi lagu. Pottier adalah komunard (anggota komune), dewan pemerintahan dari demokrasi rakyat Komune Paris.

Motor di balik revolusi yang menghasilkan Komune Paris sebenarnya bukan kaum komunis, melainkan kaum anarkis dengan Bakunin dan Kropotkin sebagai tokoh utama. Marx kemudian menjadikan Komune Paris sebagai pelajaran berharga ketika menulis “The Civil War in France” (1871).

Lagu ini dinyanyikan pada kongres keenam The International Workingmen’s Association (The First International) 1872 di Geneva. Ini adalah kongres yang berujung perpecahan internasional antara kaum sosialis dan anarkis setelah terus bersaing memperebutkan pengaruh sejak kongres pertama pada 1866.

Dalam kongres pertama The Second International pada 1889 (Kaum anarkis sudah tidak terlibat dan membuat organisasi internasional sendiri yang berkongres  di Swiss pada 1872),  L’Internationale ditetapkan sebagai lagu resmi.

Tetapi the Second International juga bukan organisasi kaum komunis sebab di dalamnya masih bergabung pula kalangan sosial demokrat. 

L’Internationale disadur ke dalam bahasa Melayu oleh Soewardi Soeryaningrat alias Ki Hadjar Dewantara. Koran Serikat Islam Semarang,  Sinar Hindia memuatnya dalam terbitan 4 Mei 1920. Jadi L’Internationale sudah lebih dahulu ada daripada Partai Komunis Indonesia yang baru berdiri pada 1924.

L’Internationale muncul dalam sejumlah film epik, seperti Doctor Zhivago (1965) film Inggris-Italia, sebuah adaptasi dari novel berjudul serupa karya Boris Pasternak (1957);Reds(1981), sebuah dramabiografi epik karya Warren Beatty. Film ini mengisahkan hidup  John Reed, jurnalis masyur yang menulis buku Ten Days That Shook the World; In the Heat of the Sun (1994)film Tiongkok yang disutradarai Jiang Wen, adaptasi dari Novel Wild Beast (1991) karya Wang Shuo; Land and Freedom (1995), film Inggris-Spanyol yang berkisah tentang perjuangan David Carr, seorang Inggris dalam Perang Sipil Spanyol.

Di film Indonesia, lagu ini muncul dalam film Guru Bangsa: HOS Cokroaminoto (2015) karya Garin Nugraha.

Biasanya anak-anak muda penggemar sejarah bertanya, mengapa L’Internationale tidak muncul dalam berbagai versi film musikal Les Miserabless?

Tentu saja, sebab kisah dalam Les Miserabless berpuncak pada peristiwa Juni 1932 yang populer sebagaiThe June Rebellion atau insurrection republicaine Paris en juin 1832. Baru 40 tahun kemudian L’Internationale lahir.

Kelima, Yeol dan Fumiko memanfaatkan persidangan sebagai panggung

Ini adalah rangkaian adegan paling lama, menunjukkan betapa badung dan pemberaninya Yeol dan Fumiko selama dalam masa tahanan hingga persidangan. Mereka tidak saja terus melawan dan menuntut hak-hak sipilnya, mengerjai sipir dan penyidik, tetapi yang paling keren adalah bagaimana mereka memanfaatkan persidangan sebagai media mengkampanyekan tuntutan kemerdekaan Korea.

Taktik menggunakan persidangan sebagai momentum berkampanye juga dulu digunakan Soekarno ketika pengadilan Belanda menyidangkan kasusnya di Bandung, 1930.

Soekarno dan tiga sahabatnya dituduh hendak menggulingkan pemerintah (Belanda). Soekarno bukannya ngeles, tetapi dengan berani memanfaakan kesempatan membacakan pledoi sebagai ajang kampanye kemerdekaan Indonesia. Pledoi berjudul Indonesia Menggugat itu merupakan dokumen penting dalam sejarah perjuangan Indonesia.

Seingat saya, hingga 2001 di Bandung, para aktivis masih menggunakan taktik ini. Mereka menyusun sendiri beratus-ratus lembar pledoi dan menunggu kesempatan membacakannya, menggunakan ruang pengadilan sebagai panggung  menjelaskan landasan dari perjuangan agar menjadi pengetahuan masyarakat luas.

Di persidangan, meskipun aslinya warga negara Jepang, Fumiko memilih berbahasa Korea dan menggunakan nama Korea sebagai bentuk perlawanannya. Sumber: tangkapan layar, dokpri.

Kualitas Akting Choi Hee-seo

Anarchist from Colony masuk nominasi penghargaan di total 37 kategori dalam 9 festival, baik tingkat nasional dan internasional yang diselenggarakan di Korea Selatan, pun di negara lain.

Sebanyak 17 penghargaan berhasil diraih, dan 9 di antaranya (dalam 9 festival) adalah penghargaan aktris terbaik dan aktris pendatang baru terbaik untuk Choi Hee-seo.

Choi Hee-seo memang memerankan Kaneke Fumiko dengan sangat baik, sehingga film yang sejatinya mengisahkan kehidupan Park Yeol justru lebih tampak sebagai film sejarah  Kaneke Fumiko.

Apa yang Kurang

Bagi saya, kelemahan film ini adalah tidak dimunculkannya peristiwa Gerakan 1 Maret atau Sam-Il Movement atau Manse Undong di Seoul pada 1 Maret 1919.

Manse Undong adalah peristiwa terbesar dalam sejarah gerakan perjuangan kemerdekaan Korea yang dipelopori  kaum muda. Gerakan yang awalnya direncanakan sebagai deklarasi kemerdekaan oleh 33 orang aktivis muda ini berkembang menjadi 1.500 demonstrasi di seluruh Korea yang melibatkan 2 juta orang Korea. 

Unjuk rasa besar-besaran ini dijawab pemerintah (tentu saja pemerintah resmi saat itu adalah penjajah Jepang) dengan represi brutal. Sekitar 7.509 orang terbunuh, 15.849 orang terluka, dan 46.303 orang ditangkap.

Padahal, keberadaan Park Yeol dan Fumiko di Tokyo berlatar belakang keterlibatan mereka di  Sam-Il Movement. Park Yeol pindah ke Tokyo setelah ia diburu-buru polisi Jepang di Seoul. Demikian juga Fumiko kembali ke Jepang tidak lama setelah peristiwa Sam-Il.

Dalam pledoinya di persidangan, Park Yeol dan Fumiko menyatakan bahwa komitmen mereka pada perjuangan pembebasan nasional Korea bersemi saat Manse Undong.

Eh, saya belum cerita bagaimana Yeol dan Fumiko menikah; apakah mereka akhirnya divonis bersalah dan dipenjara; apakah mereka hidup bahagia? Tonton sendiri ya..



You cannot copy content of this page.

If you need copy of the content, please contact me at gegehormat@gmail.com.