Hebatnya politik Indonesia adalah pernyataan-pernyataan para politisinya sangat dialektis, pada sedetik lalu bisa mengatakan A buruk, dan detik ini menyarakan A sebagai yang terbaik; yang menyanjung B tetapi juga menyerukan kebencian terhadapnya.
Orang-orang muda yang waras coba menebak. “Gara-gara tak punya ideologi,” kata seseorang. “Justru karena ideologinya serupa saja, kanan yang oportunis,” kata yang lain. “Mungkin karena kekuasaan yang dikejar sebagai tujuan, untuk kepentingan perut sendiri,” timpal yang seorang lagi.
Entahlah, mana yang benar. Tetapi tak terbantahkan, karakter elit politik di Indonesia memang unik. Sepertinya pepatah bak air di daun talas memang diciptakan untuk para politicker Indonesia masa kini.
Pekan ini Pak SBY yang selama masa pemerintahannya terkenal berhaluan ekonomi neoliberal tiba-tiba bicara anti-kapitalisme sebagai salah satu platform koalisi pilpresnya bersama Pak Prabowo. Hampir bersamaan, muncul lagi contoh serupa dari Pak Amien Rais.
Di Gedung DPR, 26 Juli 2018 lalu, Pak Amien Rais menyarankan Presiden Joko Widodo meniru langkah Presiden Bolivia Evo Morales dalam mewujudkan kedaulatan ekonomi bangsa, terutama kebijakan nasionalisasi perusahaan asing dan renegosiasi kontrak kerjasama pertambangan agar lebih menguntungkan negara dan bangsa (Detik.com, 26/07/2018).
Evo Morales, salah satu presiden berhaluan kiri di Amerika Latin itu memang menempuh langkah serupa Hugo Chavez, lebih radikal dari sejumlah pemimpin kiri Latin lain dalam dua dekade terakhir, seperti Lula Da Silva (Brazil), Rafael Corea (Ekuador), Daniel Ortega (Nikaragua), Michelle Bachelet (Chile), Fernando Lugo (Paraguai), Nestor Kirchner (Argentina), atau Tabarez Vazquez (Uruguai).
Jika hendak dibuat peta strategi dan kebijakan yang tidak mengikuti pakem peta pemikiran kiri masa lampau, mungkin tepat jika pemerintahan sosialis di Amerika Latin itu dikelompokkan atas dua haluan utama (tidak termasuk Kuba), yaitu Chavizme (yang mengikuti jalan Chavez) dan Lulisme (yang lebih kompromis, mengikuti Lula Da Silva). Evo Morales berhaluan Chavizme.
Salah satu karakter pemerintahan sosialis berhaluan Chavizme adalah kebijakan nasionalisasi industri pertambangan (termasuk energi), mulai dari bentuk halusnya berupa divestasi saham perusahaan asing kepada negara hingga pengambilalihan paksa jika perusahaan asing menolak renegosiasi.
Rakyat dan pemerintah Amerika Latin sadar, kemiskinan di kawasan itu disebabkan oleh cengkraman panjang penjajahan dan eksploitasi ekonomi neoliberal yang menguntungkan negara-negara kaya, terutama Amerika Serikat, tetangga mereka di Utara.
Rakyat tidak akan bisa sejahtera jika ekonomi masih berhaluan neoliberal. Maka banting setir haluan ekonomi adalah satu-satunya langkah menuju ekonomi yang mandiri, politik yang berdaulat, dan bangsa yang berkepribadian dalam kebudayaan. Salah satu wujud banting setir itu adalah nasionalisasi industri strategis, terutama pertambangan dan energi.
Pak Amien Rais tepat menyarankan pemerintahan Jokowi meniru Evo Morales. Pak Joko Widodo juga sudah tepat pernah memikirkan jalan itu (dalam format renegosiasi yang lebih lunak dan pengambilalihan sumur migas lepas kontrak oleh Pertamina). Pak Jokowi menjanjikan itu dalam dokumen visi-misi-programnya ketika kampanye Pilpres 2014 dahulu.
Hanya saja pemerintah memang perlu menjelaskan secara terbuka mengapa langkah-langkah nasionalisasi dilakukan dengan begitu gradiualis dan lambat (jika masih beranggapan pemerintah mau dan sedang berupaya melakukan ini). Mengapa butuh sekian tahun lamanya untuk sekedar menuntut Freeport melakukan divestasi. Perlu juga dijelaskan mengapa renegosiasi penguasaan hulu migas agar Pertamina mengelola lebih banyak blok migas seperti tanpa kemajuan.
Rakyat butuh penjelasan yang detil dan jujur, bukan sekedar pernyataan geram para pendekar juru bicara istana dalam menangkis kritik dan terkesan serba pokoknya nasionalisasi itu susah. Rakyat butuh jawaban yang melampaui logika a la Reinald Khasali yang menghubung-hubungkan dengan risko pengusiran pelajar Indonesia di luar negeri segala. (detik.com, 27/07/2018). Rakyat butuh perdebatan yang jujur dan tidak dangkal!
Rakyat perlu tahu, susahnya di mana?
Apakah karena keterbatasan teknologi dan kapital perusahaan-perusahaan nasional untuk mengelolanya pasca-nasionalisasi atau karena sebagian operator negara (pejabat) adalah juga pedagang rente yang mengambil untung untuk dirinya sendiri dari berbagi kontrak di hulu industri ekstraktif Indonesia?
Atau apakah benar dugaan bahwa di balik pemerintahan resmi yang rakyat pilih dan kerab muncul di layar tv, sebenarnya beroperasi deep state atau shadow government yang mengatur segalanya dan kekuasaannya melampaui pemilu demi pemilu, pemerintahan demi pemerintahan?
Rakyat juga perlu tahu, apa langkah-langkah untuk mengakhiri kesusahan itu? Apakah sudah dipikirkan pencadangan dana migas untuk studi dan eksplorasi blok migas baru, atau mungkin untuk modali Pertamina agar memiliki teknologi pengeboran lepas pantai yang unggul?
Tetapi terlepas dari kebenaran saran dan kritik soal nasionalisasi ini, ada 3 hal yang dilupakan Amien Rais dari pengalaman Amerika Latin, terutama Evo Morales.
Pertama, Amien Rais lupa, keberanian Evo Morales terletak pada filsafat ekonomi-politik yang dipelajarinya: Marxisme.
Tanpa menjadi seorang Marxist, Evo Morales tidak akan bisa berpikir (apalagi berani) mengambil jalan sosialisme, menegakkan kemandirian ekonomi dan kedaulatan politik Bolivia melalui nasionalisasi industri strategis.
Dalam banyak kesempatan, Amien Rais adalah elit politik yang mengeksploitasi isu kebangkitan komunisme, membuat orang-orang ketakutan mempelajari Marxisme.
Seruan untuk meniru haluan politik dan ekonomi Amerika Latin tetapi melarang orang mempelajari Marxisme sama seperti menuntut istri rajin buatkan roti tetapi tidak membelikannya oven. Itu bentuk ketololan yang hebat.
Kedua, Evol Morales dan para pemimpin hebat lain di Amerika Latin tidak pernah mengeskploitasi isu agama dalam melawan penindasan. Evo Morales tidak pernah beretorika membangkitkan kemarahan orang-orang Katolik Bolivia untuk melawan penindas-penghisap Amerika Serikat yang mayoritas Protestan.
Evo Morales melihat rakyat sebagai rakyat, sebagai mayoritas tertindas, bukan sebagai umat agama tertentu. Evo Morales paham, neoliberalisme yang memiskinkan itu berdampak menyengsarakan rakyat di manapun, apapun agamanya, dan sebaliknya memakmurkan kaum kapitalis raksasa, juga di mana pun, apapun agamanya.
Ketiga, para presiden hebat di Amerika Latin justru mengidolakan Soekarno, termasuk meniru langkah Soekarno menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing melalui program Benteng Nasional. Yang tidak mereka tiru dari kegagalan nasionalisasi di Indonesia adalah dalam hal jatuhnya pengolaan perusahaan-perusahaan hasil nasionalisasi itu ke tangan perwira tinggi militer.
Jadi, saya menaruh hormat, mengangkat topi atas kritik dan saran Pak Amien Rais kepada Pak Joko Widodo untuk jangan sungkan meniru langkah Evo Morales atau Soekarno. Tetapi saya pikir penting pula menyarankan Pak Amien Rais untuk mempelajari Amerika Latin dengan jujur, dengan landasan keadilan berpikir di kepala dan hati. Semoga dengan itu, pelajaran dari kebijakan progresif di Amerika Latin tidak sekedar jadi demagog populis kita menjelang Pemilu, seperti yang sudah-sudah.
Sumber:
Detik.com (26/07/2018) “Amien Minta Jokowi Tiru Bolivia Nasionalisasi Perusahaan Asing.”
Detik.com (27/07/2018) “Ini Dampak Serius Bila RI Nasionalisasi Freeport.”
The article was also published on Kompasiana.