Apa ada yang eksak itu, yang pasti, yang sudah tentu dan tak berubah? ‘Panta rhei’, teriak Heraclitus ‘The Obscure’ dari tembok-tembok Ephesus di pantai Ionia. ‘All things flow,’ kata Alfred North Whitehead, seorang yang bermula sebagai matematikawan dan fisikawan dan berakhir sebagai filsuf.
Ini bukan artikel serius. Saya buat untuk sedikit menyumbang respons pada artikel kompasianer belia, calon ilmuwan muda berbakat kita, Diana Lieur. Sepertinya Diana sedang resah, tiba-tiba merasa terasing dari masa depannya di tengah riuh kelas Fisika suatu siang. “Buat Apa Belajar llmu Eksak Di Sekolah Jika Tidak Dipakai Saat Kerja?” Diana tidak basa-basi, rumusan masalah sudah dia taruh sejak judul. Ia kemudian menjawab sendiri sebagian keresahan itu.
Demi menghormati Diana dan tentu saja Kompasiana, komunitas yang menempatkan blogger senior dan belia seperti Diana sama derajatnya, saya iseng menanggapi artikel Diana dengan sebuah artikel pula.
Karena bukan artikel serius, jangan terlalu percaya dengan isinya. Anggap saja sebuah cerpen atau puisi, yang pemaknaannya merupakan domain Anda, otoritas pembaca sekalian.
Apa ada yang eksak itu, yang pasti, yang sudah tentu dan tak berubah? ‘Panta rhei’, teriak Heraclitus ‘The Obscure’ dari tembok-tembok Ephesus di pantai Ionia. ‘All things flow,’ kata Alfred North Whitehead, seorang yang bermula sebagai matematikawan dan fisikawan dan berakhir sebagai filsuf.
Ini pula yang berlaku pada seluruh ilmu pengetahuan kecuali mungkin logika berhitung. Whitehead adalah guru Bertrand Russel, penerima nobel yang –seperti gurunya—juga seorang matematikawan, sejarawan, penulis, tukang kritik sosial, sosialis, dan aktivis politik. Pasangan guru-murid inilah yang menulis Principia Mathematica pada 1910.
Adalah kebetulan yang menyenangkan bahwa Whitehead juga pakar pendidikan dan –kebetulan lagi— mengajukan pertanyaan yang hampir sama dengan yang diajukan Diana. “Knowledge does not keep any better than fish,” demikian salah satu pertanyaan populer Whitehead (The Aims of Education and Other Essay. 1967).
Bagi Whitehead, pengetahuan itu sekedar sampah jika semata-mata potongan-potongan lepas satu sama lain dan tidak aplikatif untuk kehidupan siswa. Siswa akan menjadi peniru fakta tetapi tidak mampu berpikir untuk diri sendiri.
Apa yang eksak itu? Sebaiknya kita kembali membahas ini. Selain logika berhitung, semua ilmu adalah rangkaian perubahan, relatif, berkembang, berubah. Begitu menurut beta.
Orang bilang Fisika eksak? Jangan percaya itu. Ilmu Bumi misalnya. Apakah ilmu bumi exact?
Tidak! Dahulu orang yakin bumi itu datar dan menjadi pusat semesta. Lalu ilmu pengetahuan berkembang, materi-materi sebagai dasar pengetahuan baru berkembang –seperti teleskop dan pelayaran mengelilingi bumi— maka diketahuilah –hingga saat ini masih benar — bahwa bumi itu bulat, bergerak mengelilingi matahari, bersama matahari mengelilingi pusat galaksi, dan (mungkin, saya kurang tahu) bersama galaksi mengelilingi pusat universe, dan bisa saja—siapa tahu—bersama universe mengelilingi pusat multiverse.
Dahulu –mungkin hingga sekarang— orang yakin bahwa waktu itu satu-satunya kenyataan yang bergerak maju secara linier. Kenyataannya –semakin luas diterima—waktu adalah juga kenyataan ruang, dimensi keempat dan mengalami frage dragging, terdistorsi oleh rotasi objek masif.
Bagaimana dengan kimia?
Sekian lama orang menerima ajaran Dalton, nabi ilmu itu, bahwa atom-lah partikel terkecil itu. Lalu muncul nabi-nabi baru: Thompson, Rutherford, Neils Bohr yang membuktikan bahwa ternyata di dalam atom itu ada proton dan neutron yang dikelilingi awan elektron. Waktu saya SMA dulu, inilah yang masih diyakini sebagai kebenaran yang pasti, yang final. Tetapi ilmu berkembang terus, dan ternyata proton bukan yang terkecil. Ia perkawinan Up Quark dan Dawn Quark, dan lalu ilmu berkembang terus hingga entah apa nantinya.
Apakah ilmu yang dahulu itu salah?
Tidak! Itu juga kebenaran. Kebenaran untuk saat itu.
Lihatlah, kebenaran pun berubah. Tentu saja, sebab kebenaran terungkap menurut perkembangan material yang menjadi tumpuan mengungkap kebenaran itu. Satu kebenaran baru yang terungkap segera menjadi landasan untuk mengungkap kebenaran lainnya, kebenaran yang mungkin membantah kebenaran sebelumnya. Demikian seterusnya, tidak akan berakhir.
Memang, dari sisi agama dipercaya ada akhirnya. “Suatu saat semua akan dibukakan bagimu,” begitu yang tertera di dalam Injil. Sementara di dalam Hindu, seseorang akan menemukan kesadaran –mengetahui segalanya– jika di saat mati (Nityapralaya), jiwanya (atman) –oleh mulia dharmanya selama hidup– mengalami moksa, bersatu (kembali) pada Paramatman, Nur Ilahi, Jiwa Ilahi, Pengetahuan Agung. Tetapi tidak begitu jika jiwanya betah terjerat Samsara dan karena itu reinkarnasi lagi.
Kita kembali soal ilmu.
Jadi hemat saya, perbedaan ilmu alam dan ilmu sosial bukan pada pasti-tidak pastinya. Dua-duanya tidak pasti.
Yang berbeda adalah: di dalam ilmu alam, pembelajar sebagai pengamat berada di luar entitas yang diamati. Ini membuatnya sedikit lebih objektif di dalam mengamati. Ingat, hanya sedikit lebih objektif. Sementara di dalam ilmu sosial, pengamat adalah bagian dari yang diamati itu sendiri.
Sungguh, mengamati diri sendiri adalah yang paling susah. Sebabnya adalah karena sebagai bagian yang terlibat di dalam sistem yang diamati, kita tidak bisa netral, kita dipengaruhi nilai-nilai yang membentuk perspektif kita. Karena berada di dalam sistem, perspektif kita tidak utuh, terbatas berdasarkan sudut mana kita berdiri.
Lalu apa gunanya mempelajari ilmu pengetahuan (fisik dan sosial) bagi pekerjaan?
Gunanya adalah kita menjadi paham bahwa tidak ada peristiwa, tidak ada kenyataan yang berdiri lepas pisah dari yang lainnya, baik yang ada bersamaan, pun yang mendahului atau setelahnya.
Ketika belajar Mekanika di dalam fisika, kita menjadi tahu bahwa sesuatu bisa bergerak karena pekerjaan dari banyak gaya, yang bekerja searah pun antagonis. Meja bisa bergeser karena ada kita yang mendorongnya, tetapi juga lantai yang menahannya, juga gaya-gaya lain. Karena banyak faktor yang bekerja, seiring pun berlawanan, suatu kejadian atau kenyataan adalah resultan dari beragam hal tersebut.
Begitu pula dengan peristiwa-peristiwa atau kenyataan sosial. Cabai mahal di musim hujan misalnya; atau mengapa banyak pengangguran; mengapa segelintir penduduk kaya raya sementara mayoritas melarat; atau mengapa ada orang-orang yang berteriak-teriak membenci orang lain yang berbeda agama dan suku dengannya. Semuanya bukan peristiwa yang terjadi begitu saja tanpa api; juga tidak terjadi tanpa menyebabkan asap. Suatu peristiwa merupakan dampak dari peristiwa-peristiwa lain, dan selanjutnya menyumbang sebab pada peristiwa berikut.
Maka mempelajari ilmu pengetahuan pada hakikatnya adalah melatih kepekaan mengenal variabel-variabel, mengenal faktor-faktor penyebab, mengenal dampak-dampak yang disebabkan dari peristiwa atau kenyataan. Kepekaan pada variabel-variabel, baik yang terikat (penyebab) pun yang merdeka (dampak) adalah sejatinya hakikat berpikir ilmiah.
Pekerjaan apapun membutuhkan pemikiran ilmiah, bahkan sekedar untuk bernapas. Jadi, ilmu apapun itu bakal berguna kelak (bahkan sudah sejak kini) bagi pekerjaan, dan terutama bagi kehidupan.
Demikian kira-kira my two cents, Diana. Sekedar agar seru. Salam.