Indeks Tingkat Kebahagiaan Itu Politis

Ilustrasi: Antara

Pada 1968, Robert Kennedy, saudara JF Kennedy yang sama-sama terkenal dan dibunuh itu berpidato,

“Even if we act to erase material poverty, there is another greater task, it is to confront the poverty of satisfaction – purpose and dignity – that afflicts us all. … Yet the gross national product does not allow for the health of our children, the quality of their education or the joy of their play.  It does not include the beauty of our poetry or the strength of our marriages, the intelligence of our public debate or the integrity of our public officials.”(1)

Indeks Tingkat Kebahagiaan atau Gross National Happiness berkembang pertama di Bhutan pada 1972. Pada 2011 majelis umum PBB menerbitkan resolusi agar negara-negara anggotanya mencontohi Bhutan menggunakan alat ukur ini. 

Saya tidak sempat mempelajari apakah sejarah penciptaan Indeks Tingkat Kebahagiaan ada hubungannya dengan pidato Robert Kennedy, tetapi memang maksud dan tujuannya sejalan dengan kritik Robert.

Indeks Kebahagiaan memang disurvei BPS dengan tujuan “Sebagai alat untuk menilai progres pembangunan sosial, melengkapi indikator pembangunan lain yang telah ada selama ini.” BPS sadar bahwa kesejahteraan bukan semata-mata urusan kemakmuran tetapi juga kebahagiaan. Kebahagiaan mencakup kehidupan yang menyenangkan (pleasant life), kondisi kehidupan yang baik (being-well) dan bermakna (meaningful life).(2).

BPS–sebagaimana Robert Kennedy–benar.  Tetapi menurut saya, perlu ditambahkan bahwa pengukuran tingkat kebahagiaan adalah juga pembalikan cara pandang pengukuran keberhasilan pembangunan (segala aspek), dari kacamata pemerintah ke sudut pandang rakyat. Rakyat menjadi subjek yang menentukan sendiri dampak pembangunan pada dirinya.

Selama ini kita menggunakan ukuran-ukuran kesejahteraan seperti produk domestik bruto, pendapatan perkapita, indeks kualitas hidup, dan indeks pembangunan manusia untuk mengukur capaian pembangunan. 

Pertanyaannya, apakah berpenghasilan lebih tinggi, lantai rumah lebih luas, tingkat pendidikan tinggi, aset banyak, dan tabungan yang tersebar di mana-mana sungguh menggambarkan tingkat kesejahteraan, dalam arti tidak sekedar terpenuhi kebutuhannya tetapi juga kebahagiaan? 

Apakah orang yang memiliki rumah gedongan lebih bahagia dari penghuni rumah petak? Apakah seorang profesor yang saban pekan terbang ke sejumlah negara merasa lebih tercapai tujuan hidupnya dibandingkan petani lulusan SD di desa pedalaman yang belum teraliri listrik?

Pertanyaan lainnya, siapakah yang berhak menetapkan indikator-indikator kesejahteraan itu? Bukankah tingkat kepuasan pemenuhan kehidupan itu—yang berdampak kepada kebahagiaan—sangat subjektif sifatnya? 

Sumber: Kompas.com dan tribunews.com

Ayah saya rela meninggalkan pekerjaannya sebagai pembantu direktur pada sebuah perguruan tinggi, pensiun dini 10 tahun lebih awal untuk menjadi petani di kampung kelahirannya. Ia meninggalkan rumah dengan 10 kamar tidur di kota dan memilih tinggal di pondok sederhananya. Tetapi sehari-hari ia tampak lebih bahagia.

Kerabat saya ada yang mengeluhkan besarnya biaya perawatan rumah mewah warisan mertua dan lebih suka tinggal di rumah sendiri tetapi apa daya saudara-saudaranya yang lain belum hendak balik ke kota asal untuk menempati rumah warisan itu.

Indeks tingkat kebahagiaan membalik semua cara ukur konvensional. Palu keputusan diserahkan kepada rakyat atau responden itu sendiri. Contohnya dalam mengukur kepuasan akan tingkat pendidikan.

Dalam kuesioner ada pernyataan terkait tingkat pendidikan; ada pertanyaan tentang upaya meng-update pengetahuan melalui kursus hingga berselancar di internet. Tetapi pertanyaan pada bagian ini sebagaimana pada aspek lainnya, akan pamungkas pada “Apakah Anda puas dengan… ?” Responden diminta mengisi tingkat kepuasan dengan angka dalam skala 1 sampai 10.

Pada Suvery 2017, BPS memperbaiki alat ukurnya dengan menambahkan aspek perasaan (perasaan senang, tidak cemas, dan tidak tertekan) dan makna hidup (kemandirian, penguasaan lingkungan, pengembangan diri, hubungan positif dengan orang lain, tujuan hidup, dan penerimaan diri). Pada 2013 dan 2014, survei tingkat kebahagiaan hanya mencakup 10 aspek kepuasan hidup (pendidikan dan keterampilan, pekerjaan dan usaha, pendapatan, kesehatan, kondisi rumah, keharmonisan keluarga, ketersediaan waktu luang, hubungan sosial, keadaan lingkungan, dan kondisi keamanan).

Saya Sudah Lama Pakai Ukuran Ini

Agar artikel ini tidak serius dan membosankan, baguslah jika saya bercerita bagaimana saya telah terlebih dahulu menggunakan cara yang sama seperti pengukuran indeks kebahagiaan ini kepada putra saya. Telah saya gunakan sejak ia berusia lima tahun. Itu artinya sejak 2014. Survey BPS (2013, 2014, 2017) setahun lebih dini.

Kepada anak, kami (saya dan istri) biasakan bertanya saat ia pulang sekolah, seusai bermain bersama teman-teman, dan saat hendak tidur di malam hari. “Are you happy?” Pertanyaan itu juga kami ajukan setelah aktivitas bersama seperti menonton film di bioskop, jalan-jalan ke toko buku, atau membelikannya sesuatu.

Jika ia menjawab—dan memang selalu ia jawab secara positif–“Yes, Papa, I’m happy,” kami akan lanjutkan dengan “how much?” Inilah cara kami untuk mengkuantifikasi jawaban perdana yang kualitatif itu.

Ia akan menjawab dengan kedua tangan yang direntangkan. “I’m happy like this, Papa,” jawabnya sambil merentangkan tangan. Jika rentangannya maksimal, itu berarti ia sangat bahagia. Jika jarak antara kedua telapaknya pendek saja, misalnya hanya selebar dadanya, itu berarti masih ada hal yang ingin ia lakukan atau minta dipenuhi.

Cara mengkuantifikasi kebahagiaan ini sebenarnya dicetuskan putra kami.

Suatu ketika di toko buku, saya mengajaknya mencari buku bacaan yang ia sukai. Buku bergambar. Ia belum bisa membaca saat itu. Di lantai satu pandangannya terbentur pada mainan mobil hotwheels. Ia minta waktu sebentar untuk melihat-lihat pajangan mainan di etalase yang ada. Saya tahu, itu caranya untuk minta dibelikan. Ia tidak akan maksa. Ia hanya akan melihat-lihat untuk menunggu pertanyaan “Kamu mau?” Lalu akan segera ia jawab, “Kamu boleh belikan itu untuk saya, Papa.” Anak saya memang rada-rada eksitensialis. Ia tidak ingin tampak seolah-olah ia yang minta, tetapi membaliknya jadi kami yang butuh untuk melihatnya bahagia.

Jika saat itu kami belum bisa penuhi permintaannya, ia akan menggunakan ‘taktik mimpi.’ Setiap bangun pagi, ia bercerita semalam bermimpi bertemu hotwheels yang kemarin dilihatnya di toko. Besoknya ia bercerita kembali bermimpi dengan kisah yang berbeda tetapi masih tokoh yang sama: mainan yang diinginkannya. Begitu terus setiap hari.

Jika kami belum mengeluarkan pernyataan kapan pastinya akan belikan barang itu, ia akan berkomentar, “Aneh ya, Papa, kenapa saya mimpikan itu terus.” Begitulah.

Nah, kita kembali ke pokok. Jadi sore itu di kasir, saat membayar buku yang dipilihnya, buku bergambar tentang perjalanan luar angkasa, saya bertanya, “Are you happy?”

Ya, Papa. But just like this,” ia merenggangkan kedua tangannya hanya selebar bahu. “Maybe will be like this if I get that hotwheels,” lanjutnya dengan merentangkan kedua lengan hingga mentok saat terentang lurus. Itu lah sejarah teknik kuantifisir kualitas kebahagiaan di keluarga kecil kami.

Indeks Kebahagiaan Itu Politis

Jika kisah di atas direnungkan, kita akan maklum bahwa putra saya menggunakan indeks tingkat kebahagiaan sebagai alat politik. Ukuran kuantitatif rentangan tangan ia gunakan sebagai alat bargain

Ia tahu bahwa sebagai orang tua, kami akan berupaya agar rentangan tangannya—indeks tingkat kebagaian anak tercinta—mencapai maksimal. Demikianlah memang tugas kami. Maka sebelum keinginannya terpenuhi, ia akan menahan diri, pelit dalam merentangkan tangan meskipun mungkin ia sedang sangat bahagia.

Ia tidak tahu bahwa sebagai orang tua kami cukup cerdik. Kami punya alat triangulasi yang mengonfirmasi ukuran rentangan tangan itu: ekspresi wajahnya. Jika ekspresi wajahnya seperti anak anjing habis dimandikan, itu artinya ia memang belum benar-benar bahagia pada momen itu. Tetapi jika wajahnya terlihat riang seperti anak anjing diajak main kejar-kejaran, kami tahu bahwa ia sedang berpolitik saja saat pelit rentangkan tangan. Ia sedang  bargain untuk kepentingannya yang lain.

Dari sisi kami sebagai orangtua, indeks itu juga politis, sebab dengan cara itu kami mengukur kualitas outreach dari kebijakan (policy) kami dalam membahagiakan anak.

Hubungan kami dan anak dalam ukuran tingkat kebahagiaan itu serupa saja dengan hubungan rakyat dan pemerintah.

Pemerintah berkepentingan agar indeks tingkat kebahagiaan rakyat mencapai nilai optimal—yang maksimal hanya milik Tuhan. Itulah tugas pemerintah. Program-program akan diluncurkan dengan mempertimbangkan nilai dari tiap-tiap item penyusun indeks. Pada daerah yang nilai kebahagiaan pada blok pertanyaan terkait kesehatan masih rendah, ke sana program-program pembangunan kesehatan harus dilancarkan. 

Program-program pembangunan pendidikan digencarkan di wilayah-wilayah di mana hasil survei menunjukkan rakyatnya belum bahagia atas kondisi pendidikannya. Demikianlah dan lain-lain, dan sebagainya.

Sebaliknya rakyat juga dapat saja menggunakan indeks ini untuk memperjuangkan aspirasinya. Jika Anda sering terlibat pekerjaan survei, Anda akan sadar bahwa semakin ke sini rakyat (responden) kian menyadari manfaat lain dari survei-survei capaian pembangunan: alat komunikasi politik.

Itu sebabnya sering kepada enumerator dipesankan agar sebelum mulai wawancara, kepada responden dijelaskan dulu bahwa wawancara itu tidak hendak menjanjikan apa-apa, bukan sebagai assessment terhadap program atau projek. 

Kadang-kadang survei-survei serupa bisa bisa juga jadi alat politik pragmatis. Artinya bukan terkait kebijakan publik tetapi menjadi bagian dari atau dimanfaatkan untuk pencapaian kekuasaan.

Survei  dilakukan dengan sedikit rekayasa untuk mendukung pencitraan rezim. Misalnya pengukuran penyerapan angkatan kerja yang dilakukan saat musim tanam atau musim panen. Ketika itu di desa-desa banyak dibutuhkan buruh tani. Pengukuran pada saat itu dengan pertanyaan “Apakah Anda atau berapa jam Anda bekerja dalam seminggu” akan menghasilkan kumpulan jawaban yang mengarah pada kesimpulan rendahnya tingkat pengangguran.

Ada pula cara untuk membentuk kesadaran publik dengan mengutak-atik bentuk pertanyaan. Misalnya ketika lembaga survei merangkap tim sukses mensurvei keberhasilan pemerintahan Bupati Anu yang juga calon petahana. Pertanyaan “Menurut Anda apakah program pembangunan pemerintah berhasil” bisa dihapus dan diganti dengan “Menurut Anda, keberhasilan apakah yang paling tampak dari program pembangunan di bawah pimpinan Bupati Anu?”

Dengan redaksional pertanyaan demikian–pertanyaan yang memberi ruang kepada responden untuk memperhatikan kegagalan telah ditiadakan–perhatian responden diarahkan untuk hanya melihat keberhasilan. Redaksional pertanyaan itu mengondisikan asumsi tersembunyi agar diterima alam bawah sadar responden bahwa program-program Bupati Anu berhasil, sekarang bicarakan mana yang paling besar tingkat keberhasilannya.

Ini adalah penerapan curang dari prinsip “kata membentuk kenyataan,” sebuah aplikasi interaksionisme simbolik dalam ranah politik praktis.

Sekedar agar clear, saya tidak sedang menuduh BPS melakukan survei tingkat kebahagiaan dalam kepentingan ranah politik praktis. Sama sekali tidak. Tetapi dalam ranah ‘politik kebijakan’ sudah tentu. Untuk itulah survei-survei seperti ini dilakukan, untuk mengukur capaian dari program pembangunan dan selanjutnya menjadi feed back bagi perumusan kebijakan ke depan.

Tantangan Politik Jokowi dalam Indeks Kebahagiaan 2017

Kita tahu, salah satu trademark pemerintahan Jokowi adalah komitmennya kepada pemerataan pembangunan antar-wilayah. Pada masa Jokowi, perhatian terhadap kawasan Timur Indonesia sangat terasa, baik melalui program-program insfrastruktur, pun kunjungan-kunjungannya yang berkali lipat lebih sering dibandingkan presiden-presiden sebelumnya.

Sial bagi Jokowi. Upayanya belum berbalas setimpal oleh peningkatan Indeks tingkat kebahagiaan orang Papua dan NTT, dua wilayah di kawasan Timur Indonesia. Indeks tingkat kebahagiaan rakyat di dua wilayah itu masih menduduki peringkat 3 terbawah, mengapit Sumatera Utara sebagai perwakilan kawasan Barat Indonesia.

Apakah itu berarti para responden di Papua dan NTT sedang menjadikan survei ini sebagai alat komunikasi politik kepada pemerintah? Sudah pasti: ya! Hanya saja itu bisa dilakukan secara sadar, bisa juga tidak. 

Entah sadar pun tidak, dalam menjawab kuesionerresponden menyampaikan harapan-harapan mereka dan penilaian-penilaian mereka. Harapan dan penilaian itu bersandar pada persepsi mereka.

Pada masyarakat yang telah lama merasakan ketertinggalan dan mengisi ruang publik mereka dengan dialog-dialog tentang ketertinggalan, jawaban yang paling mungkin mungkin muncul adalah ya, mereka kurang bahagia sebab pada banyak aspek pemenuhuan kebutuhan mereka masih jauh tertinggal dibandingkan saudara sebangsa di Pulau Jawa.

Responden, dalam waktu yang tergesa-gesa tanpa jeda ruang kontemplatif yang cukup untuk sungguh-sungguh menilai keadaan akan menjawab secara apriori, sesuai citra umum yang melekat lama dalam kepalanya, yang dibentuk oleh percakapan-percakapan sehari-harinya.

Misalnya begini. Katakanlah saya seorang petani berijazah sekolah dasar. Sudah sekian lama saya mendengar percakapan publik soal betapa malangnya seorang yang hanya berijazah sekolah dasar itu. Sebenarnya dalam kehidupan keseharian, saya tidak berpersoalan sama sekali dengan tingkat pendidikan formal, sebab pengetahuan saya dalam bertani cukup baik, yang saya peroleh sebagai warisan pengetahuan turun-temurun, akumulasi pengalaman pribadi, dan penyuluhan-penyuluhan. Saya tidak tahu untuk apa saya harus bersekolah hingga mencapai sarjana dan bagaimana kelak ilmu itu akan saya pakai dalam pekerjaan saya.

Tetapi ketika seorang enumerator datang dan bertanya apakah saya bahagia dengan tingkat pendidikan saya yang cuma tamatan sekolah dasar, ada semacam mekanisme otomatis yang membuat saya menjawab secara apriori, berdasarkan pandangan umum yang saya tahu bahwa hanya menamatkan sekolah dasar itu adalah kemalangan. Karena itu saya mengisi angka 3 pada pertanyaan “Apakah Anda puas dengan pendidikan?”

Saya merasa tidak tepat mengisi lebih tinggi dari 5 sebab khawatir jika si penanya memandang saya orang aneh yang puas dengan tingkat pendidikan yang rendah itu.

Begitulah. Makna adalah produk sosial. Kita memaknai sesuatu berdasarkan percakapan-percakapan di sekitar kita. Komunikasi itu hegemonik terhadap kesadaran individu. 

Maka ketika sebuah survei dilakukan dengan tools enumerator yang sekedar pengisi kuesioner, susunan pertanyaan-pertanyaan yang lebih kaku dan dingin dibandingkan pertanyaan-pertanyaan dalam BAP di kantor polisi, saya akan menjawab sesuai dugaan saya terhadap persepsi publik, bukan berdasarkan kontemplasi. Inilah kelemahan dari riset-riset kuantitatif yang mengandalkan lembaran kuesioner.

Inilah penjelasan dari jawaban orang-orang Papua dan NTT adalah bentuk komunikasi politik kepada pemerintah yang bisa merupakan upaya sadar, bisa juga tidak. Ketika itu tidak dilakukan secara sadar, jawaban-jawaban yang diberikan adalah bias wacana yang hegemonik, bukan persepsi pribadi yang lahir dari ruang kontemplatif yang sungguh-sungguh.

Pekerjaan rumah pemerintahan Jokowi berat juga ternyata. Bukan saja harus lebih banyak mengalamatkan pembangunan ke kawasan Timur, ia harus pula berjuang untuk membangun wacana positif, menyaingi percakapan-percakapan negatif yang telah berkembang sangat lama di kawasan Timur Indonesia. Dengan jalan itu kelak hasil survei tingkat kebahagiaan—lebih pas disebut survei persepsi tingkat kebahagiaan—orang NTT dan Papua membaik.

Sekedar catatan, jangan salah sangka menuduh saya berpandangan bahwa ketertinggalan di NTT dan Papua bukan realita melainkan hanya kesadaran semu yang diproduksi percakapan-percakapan negatif. Tidak.

NTT dan Papua memang tertinggal. Tetapi ketika percapakan tentang ketertinggalan itu mendominasi ruang publik, orang cenderung mengabaikan kemajuan-kemajuan yang ada. Inilah salah satu contoh konkret hegemoni itu. Hegemoni berperan menciptakan kesadaran palsu, mengarahkan orang-orang agar menerima begitu saja pandangan mainstream.

Jadi hegemoni tidak hanya diproduksi dari atas oleh kelas dominan agar publik menerima sistem ekonomi, politik, dan sosial yang menguntungkan mereka, kapitalisme, sebagai hal yang sudah seharusnya. Hegemoni bisa juga mengambil peran dalam percapakan-percapakan publik tentang kemiskinan, ketertinggalan, kemurungan-kemurungan.

Begitulah. Kita akhiri dulu di sini. Saya bingung, sebenarnya saya sedang mempercakapkan apa. Anda tahu?


Also published on Kompasiana.



You cannot copy content of this page.

If you need copy of the content, please contact me at gegehormat@gmail.com.