Tanya Terlupakan di Indonesia Development Forum (IDF) 2019

Beberapa hari hari lalu, Pak Kamilus Tupen, orang hebat kebanggaan Pak Reinald Khasali mengirim pesan berisi sejumlah dokumen. Rupanya undangan, ToR, panduan pembicara pasar invovasi, dan rundown acara Indonesia Development Forum (IDF) untuk dirinya. Beliau bertanya barangkali ada masukan untuk disampaikan di acara itu.

Saya hanya menitip satu hal, jika ada kesempatan hendaklah ia mengingatkan agar agenda pembukaan investasi seluas-luasnya yang jadi poin ketiga Visi Indonesia 2019-2024 itu jangan sampai tak nyambung dengan penguatan ekonomi desa yang telah dirintis melalui undang-undang desa. Titik berat poin saya adalah pada bagaimana investasi yang masuk dihubungkan dengan pembentukan modal rakyat atau penguatan kelembagaan ekonomi gotong royong melalui BUMDes sebagai pintu masuknya.

Hal-hal lain, saya yakin Pak Kamilus sangat paham dan merupakan jagoannya.

Saya sengaja tidak membagi dengannya satu kecemasan penting dari dunia baru yang sedang kita songsong ini: perlindungan terhadap ‘tenaga kerja masa depan’. Hal ini yang, jika mengacu pada ToR IDF 2019, saya kira lalai dipikirkan penyelenggara. Biarlah ia tampil prima dengan pikiran positif di acara itu.

Namun sebelum mengupas problem perlindungan terhadap tenaga kerja dalam ekonomi masa depan yang sedang kita songsong, baiklah jika saya memberi apresiasi terlebih dahulu kepada Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas—terlepas dari apakah acara ini inisiatif genuine mereka atau gagasan orang-orang Australia melalui Knowledge Sector Initiative (KSI)—atas niat baiknya melibatkan rakyat dalam forum ini, terutama para pelaku perubahan. Dari NTT, selain Kamilus Tupen, saya lihat hadir pula Gesti Sino (Duta Petani Muda Indonesia 2018) dan Meiby Agnesia, orang muda penekun usaha peningkatan nilai tambah kelor dan pernah menghadiahi saya sekotak coklat kelor itu.

Tema IDF 2019 adalah ‘Mission Possible: Memanfaatkan Peluang Pekerjaan Masa Depan untuk Mendorong Pertumbuhan Inklusif’. Dalam tema ini, ada 8 topik (pertanyaan besar) yang hendak dibahas, yaitu: 1) Mempercepat Transformasi Struktural; 2) Reformasi Sistem Pendidikan dan Pelatihan Vokasi (TVET) untuk Pekerjaan Masa Depan; 3) Menciptakan Peluang Kerja yang Inklusif; 4) Memperbaiki Iklim Investasi untuk Penciptaan Lapangan Kerja; 5) Membina Para Pelaku Usaha Sosial; 6) Membina Para Pelaku Usaha Sosial; 7) Mengembangkan Talenta dan Pasar Lokal; dan Meningkatkan Kualitas Modal Manusia.

Dari topiknya, penyelenggara hendak mendekati masalah “mempersiapkan tenaga kerja masa depan’ dengan pendekatan positif, memfokuskan percakapan pada peluang, impian, dan praktik cerdas di tempat lain. Maka pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sejalan dengan disain acara yang menyerupai pendekatan appreciative inquiry—saya pernah menulis guide book bagaimana melakukan visioning dengan pendetakan ini. Bisa unduh versi daring di sini.

Jik mengacu pada ToR, peserta mula-mula diperkenalkan dengan best practice di Indonesia dan negara lain (sesi inspire). Best practice itu jadi modal bagi peserta untuk mengembangkan impian Indonesia masa depan (sesi dream). Pada fase ketiga, peserta diajak membayangkan bahwa impian mereka mungkin terwujud. Caranya melalui pemaparan sejumlah gagasan atau solusi baru yang sedang dan mungkin dijalankan (innovate). Tahap terakhir adalah Initiate, peserta diajak merumuskan rencana aksi untuk mewujudkan impian dan mereplikasi gagasan-gagasan inovatif. Sungguh positif.

Meski dinyatakan secara positif, delapan subtema di atas mewakili kecemasan akan zaman baru yang membawa serta jenis-jenis pekerjaan baru, kesempatan kerja yang belum inklusif bagi grup sosial terpinggirkan, juga bonus demografi yang jika tidak dibarengi kesempatan kerja akan berubah menjadi bencana demografi.

Tetapi, seperti saya singgung di atas, ada satu kecemasan yang tidak terwakili di acara ini, yaitu perlindungan terhadap para pekerja dalam jenis-jenis pekerjaan baru, atau lebih tepat perlindungan terhadap pekerja dalam moda pengupahan baru atau hubungan industrial baru.

Kita tahu, revolusi industri 4.0, seperti halnya 1.0 hingga 3.0 selalu berdampak pertama-tama terhadap dunia kerja. Makanya saya tak begitu peduli jika ada yang mulai memperkenalkan istilah revolusi industri 5.0. Selama tak mempengaruhi perubahan di dunia kerja, istilah itu cuma genit-genitan kaum intelektual. Suatu temuan teknologi jadi tonggak revolusi industri jika ia berdampak mengubah wajah industri, terutama wajah moda produksinya atau setidaknya moda pengupahan, mengubah relasi kerja.

Revolusi industri 1.0 yang dipicu penemuan mesin uap berdampak pada proletarisasi kaum tani dan penghancuran gilda-gilda. Kaum tani yang tanah pertaniannya berubah jadi lahan peternakan dan perkebunan milik pabrik, pemasok bahan baku industri tektil—sebab oleh mesin uap, kian besar volume produksi dan pemasaran tekstil—membanjiri kota sebagai imigran pencari kerja. Para pengarjin atau pekerja mandiri artisan gulung tikar sebab kalah efisien melawan pabrik, beralih menjadi buruh.

Pada revolusi idustri 2.0, penemuan listrik (juga minyak dan gas) mendorong ditemukannya organisasi kerja fordisme. Untuk menghasilkan satu jenis barang, buruh dibagi ke dalam unit-unit. Untuk bikin selembar kaos kerah misalnya, buruh terbagi atas bagian penggambar pola, bagian gunting kain, bagian jahit bidang utama, bagian jahit kerah, bagian jahit lengan, bagian yang menyatukan itu semua, dan seterusnya hingga bagian pengemasan.

Fordisme adalah akar kapitalisme Amerika Serikat jaya gilang-gemilang meninggalkan Eropa di belakangnya. Namun fordisme juga memukul habis kebutuhan akan pekerja terampil. Fordisme tak butuh tukang jahit. Siapapun bisa bekerja di industri konveksi, sebab yang dituntut dari seorang buruh hanya kemampuan menggerakkan jemarinya untuk memasang kancing. Urusan sebelum dan setelah itu diserahkan ke buruh-buruh di bagian lain. “Pasang kancing” saya pakai sebagai metafor untuk semua jenis pekerjaan teknis parsial, hanya berperan sekian persen dari total usaha yang dibutuhkan untuk mengasilkan satu barang utuh.

Revolusi industri 3.0 giliran menghantam porsi yang cukup besar dari para buruh ‘pasang kancing’ itu. Banyak yang kehilangan pekerjaan sebab aplikasi komputer di pabrik-pabrik menggerakkan lengan-lengan baja menggantikan peran sederhana mereka.

Dari revolusi 1.0 hingga 3.0 selalu ada dislokasi (grup atau jenis pekerja tertentu yang terlempar keluar dari rantai penciptaan nilai) tetapi sekaligus muncul jenis-jenis pekerjaan baru. Dari perombakan dalam lapangan penciptaan nilai tambah, perubahan besar merambat ke aspek kehidupan lain, termasuk sosial-politik (lahirnya partai buruh dengan beragam ideologi, meningkatnya jenis kejahatan kerah biru, tuntutan perempuan akan kesetaraan, berbagai ekspresi budaya tandingan, dan lain-lain dan sebagainya). Intinya beragam aspek kehidupan masyarakat berubah drastis, mengalami loncatan, disruptive.

Demikian pula halnya dengan revolusi industri 4.0.

Saya tidak akan jauh-jauh bicara tentang rebutan job antara manusia dengan kecerdasan buatan. Saya bicara yang dekat dengan kita dan sudah dialami oleh begitu banyak orang Indonesia: crowdsourcing.

Sebelum lebih jauh, saya perlu tambahkan sedikit informasi atau mungkin lebih pas disebut pandangan. Jangan berpikir perkembangan teknologi, penemuan-penemuan itu kenyataan yang mandiri terhadap kepentingan manusia berproduksi. Jangan sangka, penemuan-penemuan itulah tenaga penggerak kapitalisme. Justru sebaliknya, penemuan-penemuan itu didorong oleh kepentingan agar biaya produksi kian efisien, berdampak pada rate of profit membesar.

Kepentingan menjaga atau meningkatkan rate of profit inilah pendorong utama kapitalisme menjadi sedemikian inovatifnya. Kepentingan akan rate of profit iniah yang membuat satu inovasi di daerah terpencil dalam waktu cepat direplikasi hingga tiba-tiba sudah menjadi wajah dunia. Kelak, dalam kesempatan lain, akan kita bahas lebih serius dan dalam soal hubungan antara inovasi dan kapitalisme. Kini kita kembali ke kecemasan kita.

Jadi bukan perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi (revolusi 4.0) yang melahirkan crowdsourcing. Sebaliknya kebutuhan akan bentuk-bentuk relasi pengupahan baru, yang lebih efisien, yang meningkatkan rate of profit, bahan bakar bagi perkembangan perkembangan pesat teknologi informasi sehingga crowdsourcing sebagai bentuk relasi pengupahan baru bisa sedikian cepatnya berkembang.

Dengan crowdsourcing,  majikan tak perlu mengenal buruh-buruhnya. Tak dibutuhkan kontrak kerja yang membebani kedua pihak dengan kewajiban-kewajiban. Tak perlu ada perundingan bipartit, tripartit, dan perselisihan hubungan industrial jika hubungan kerja putus. Tak perlu ada kewajiban membayar upah minimum, tunjangan hari raya, dan lain-lain. Banyak hal yang membebani majikan dalam hubungan industrial tradisional, kini bisa dicampakkan.

Dirimu butuh produk tertentu, lemparkan saja ke marketplace, biarkan orang-orang yang tak kaukenal berebutan menawarkan harga terendah. Produk jadi, kaubayar, lalu selamat tinggal, sampai jumpa di order berikutnya jika mereka masih menawarkan harga terendah di kelas kualitasnya.

Hanya sebagian kecil marketplace yang hadir sebagai Simba, Nala sayang. Kita tentu wajib berterima kasih kepada para Simba yang telah memberikan kesempatan Ibu Marta di pedalaman Flores bisa langsung dagangkan kain tenunnya ke pembeli di New York. Soal banyak middleman kehilangan pekerjaan tak produktif mereka. Biarkan saja.

Tetapi lebih banyak marketplace adalah kawanan Hyena, Nala cantik. Mereka mengumpulkan para pekerja informal dalam pasar lelang lintas negara, usia, dan keahlian untuk saling membantai diri sendiri dengan penawaran harga tenaga kerja semurah-murahnya.

“Anda butuh artikel sesuai SEO, saya kerjakan 500 kata cukup dengan 2 USD,” demikian iklan bunuh diri buruh-buruh jenis baru, para precariat pada laman profil mereka di marketplace content creator.

Tidak ada aturan upah minimum dan hak-hak normatif yang menjangkau relasi baru ini. Buru-buru bicara keamanan kerja dalam sektor informal baru ini. Buruh-buruh sektor formal saja masih berperang melawan pemberlakuan outsourcing yang tidak tepat sektor.

Memang, dunia baru menawarkan mimpi dan kesempatan terhadap para precariat—precarious proletariat—untuk jaya gilang-gemilang, menjadi sekaya-kayanya, bahkan melampaui majikan perusahan-perusahaan tradisional. Lihat saja segelintir Youtubers. Lihat saja sejumput dari rimba raya akun-akun Instagram.

Tetapi  mayoritas content creator  justru hidup tak lebih baik dari tukang ledeng atau kuli galian di tepi jalan tol. Untuk sukses di sana, orang butuh bekerja lebih keras, bahkan berani menjadikan apapun yang melekat pada dirinya sebagai komoditi. Maka jangan heran jika kita temukan akun-akun youtube atau Instagram sukses yang berisi video kehidupan privat keluarga mereka. Jangan heran jika demi sukses, orang rela merekayasa pertengkaran rumah tangga. Hanya demi viral. Sebab tanpa viral, tak ada view. Tanpa view akan sedikit dollar yang kauhasilkan dari tayangan iklan.

Maka jika dahulu hanya buah dada yang dijadikan komoditi di sampul-sampul majalah dan di billboard di persimpanan ramai di pusat kota; kini bahkan kamar tidur suami-istri, apa yang dimakan, gunjingan terhadap mertua, bahkan pertengkaran dalam rumah dijadikan komoditi. Ingin kaya di era crowdsourcing, komodifikasi semua yang laku terjual.

Aiiih. Daripada tak habis-habisnya ini gerundelan. Kita hentikan saja di sini. Pegang saja ini: jangan cuma kesiapan pekerja yang dipikirkan; jangan cuma inovasi rupa ragam marketplace yang diupayakan; jangan cuma angka serapan tenaga kerja (di sektor informal) demi polesan statistik yang dikejar.

Susun pula regulasi yang melindungi kesejahteraan dan keamanan kerja para pekerja jenis baru. Bikin regulasi yang mengatur matematika bagi hasil iklan atau bagi hasil usaha dengan adil. Bikin regulasi yang mengatur berapa nominal terendah sebuah produk terstandar (barang dan jasa) didagangkan di marketplace.

Tanpa ada regulasi itu, pembukaan akses IT seluas-luasnya terhadap para pencari kerja hanya akan berujung ke balai lelang tenaga kerja lintas batas di mana demi selamat sendiri, para pekerja berlomba-lomba banting harga.

Ke depan, kita diskusikan secara lebih detil dan terstruktur soal ini, Nala—eh, kok jadi Lion King ya? Kali ini biarlah gerundelan ini dulu dikau baca.




You cannot copy content of this page.

If you need copy of the content, please contact me at gegehormat@gmail.com.