Presiden Hingga Bupati Wajib Tonton Dora and the Lost City of Gold

Film Dora and the Lost City of Gold, versi layar lebar animasi anak-anak Dora The Explorer seharusnya bukan cuma tontonan remaja. Para pembuat kebijakan publik, mulai presiden dan jajaran menterinya hingga gubernur, bupati, dan para kepala SKPD, juga anggota DPR di berbagai tingkatan sangat perlu turut menonton.

Ada scene menarik, ketika Dora harus memecahkan teka teki terakhir untuk membuka gerbang menuju kota emas, Parapata. Sebuah perintah tertulis di kaki patung emas, “persembahkan yang paling berharga bagi dewa.”

Pemimpin pemburu harta karun, orang rakus yang diam-diam mengikuti Dora cs, meletakan sekeping emas pada telapak tengadah tangan patung dewa. Yang terjadi justru ia masuk ke dalam perangkap mematikan. Dora kemudian bisa memecahkan teka-teki itu. Yang paling berharga bagi dewa bukanlah emas, melainkan air.

Ya. Air!

Dalam kehidupan nyata, ada dua legenda the lost city of gold di Amerika latin.

Yang pertama adalah legenda yang dihidupkan orang-orang Eropa dari kisah suku Muisca di Kolumbia, Amerika Latin.  Aslinya itu legenda tentang El Dorado, raja yang kerab membalur tubuhnya dengan serbuk emas. Beredar dari mulut ke mulut para pemburu harta yang rakus dari Eropa, kisah tentang El Dorado berubah menjadi legenda kota emas.

Yang kedua adalah paititi, legenda kota hilang orang-orang Inca di Peru. Paititi diyakini sebagai kota peristirahatan terakhir Inkarri, pahlawan perang Inca (melawan Spanyol) pascapembunuhan Raja Inca, Atuhualpa.

Bagi orang-orang Muisca, emas bukanlah lambang kemakmuran. Emas lebih berfungsi sebagai persembahan kepada dewa agar menjaga keseimbangan lingkungan alam. 

Demikian pengakuan para tetua Muisca dan dibenarkan penelitian terkini arkeolog Maria Alicia Uribe Villegas dari Museo Del Oro di Bogota dan Marcos Martinon-Torres dari UCL Institute of Archaeology (“El Dorado: The truth behind the myth.” BBC.com. 14/1/2013).

Demikian pula orang-orang Inca. Aset paling berharga mereka adalah tanah, sebab mereka adalah bangsa petani (“The INCA GOLD: its role in their culture and after the Spanish invasion.” Tourinperu.com. 15/9/017). 

Sebagai lahan bertani, tanah selalu butuh air. Air selalu butuh hutan. Intinya, aset yang paling dihormati orang-orang Inca adalah daya dukung alam bagi keberlangsungan kehidupan agraris mereka.Sementara emas hanya berfungsi sebagai aksesori perlambang spiritual, bukan simbol kemakmuran.

Begitulah. Selalu demikian. Bagi penduduk asli, emas—demikian pula bentuk-bentuk kekayaan lain di perut bumi—tidak lebih penting dibandingkan kelestarian alam, keterjagaan daya dukungnya bagi kehidupan pemukim di sana.

Adalah orang-orang luar, para pencari kekayaan yang rakus, dan pemegang otorita pemberi izin yang hidup berkelimpahan harta dari hasil berdagang izin usaha, yang menempatkan galian perut bumi lebih berharga dari kelestarian lingkungan hidup.

Dalam Dora and the Lost City of Gold, pesan tentang nilai ekologis ini salah satunya disampaikan melalui adegan teka teki terakhir untuk membuka pintu menuju Parapata.

Air lebih penting dari emas. Air lebih penting sawit. Air lebih penting dari marmer. Air lebih penting dari batu bara. Dan karena air lebih penting, alam harus dijaga, bukan dieskploitasi dengan barbar demi mengeruk sebesar-besarnya keuntungan orang-orang yang datang dari luar, yang menukarnya dengan harapan yang disebut investasi.

Pesan yang juga ingin disampaikan adalah para penjaga alam sejati sesungguhnya penduduk lokal, orang-orang yang hidupnya bergantung kepada daya dukung alam setempat. 

Komitmen kuat orang-orang lokal dalam menjaga keberlangsungan alam ditampilkan melaui para ksaria terakhir penjaga Parapata. Hidup mereka hanya untuk menjaga situs itu.

Bukan emas dan permata di Parapata yang sebenarnya hendak dijaga, tetapi daya dukung alam. Eksploitasi terhadap emas (disimbolkan sebagai pencurian oleh pemburu harta karun) akan merusak alam dan membawa bencana (digambarkan melalui situs yang runtuh ketika patung emas dicuri).

Bukan cuma di pedalaman hutan-hutan di Amerika Selatan suku-suku penjaga lingkungan hidup. Pada prisinsipnya semua bangsa petani sejatinya pelindung alam tempat tinggal mereka. Semua nelayan artisanal adalah pelindung teluk tempat mereka menyandarkan pemenuhan kebutuhan hidup.

Orang-orang di Manggarai, Flores, punya sistem tata ruang yang dijaga ketat: pong (hutan keramat, sering memiliki mata air), puar (hutan yang bisa dimanfaatkan hasilnya), uma (kebun), dan satar (tempat pengembalaan ternak).

Orang-orang di Molo, di punggung pegunungan Mutis, Timor Tengah Selatan membaptis diri sebagai suku pelindung air, batu (bukit kars), dan hutan. Karena itu mereka melawan habis-habisan kehadiran perusahaan tambang marmer. Marmer ditambang, bukit-bukit kars hilang, Timor akan kehilangaan air. 

“Kami tidak jual apa yang tidak bisa kami buat,” slogan perlawanan mereka sebagaimana dipopulerkan pejuang lingkungan Aleta Baun.

Tetapi lihatlah. Negara, sejak zaman pemerintahan kolonial mengangkat diri sebagai pelindung alam, menetapkan tapal batas hutan, menarik garis tegas antara hutan negara versus lahan rakyat. 

Para pelindung sejati alam justru ditempatkan sebagai musuh. Yang jadi pelindung baru adalah kekuasaan yang datang dari luar, yang para pejabatnya gemar tergelincir membubuhkan tandatangan izin eksploitasi alam demi kenyang-untung industri keruk. Kita menitipkan dendeng pada kucing.

Ya. Para pembuat kebijakan publik wajib menonton Dora the Explorer. Untuk NTT, sangat penting jika Gubernur NTT Viktor Laiskodat dan wakilnya, juga para pembisik kebijakannya turut menonton. Siapa tahu setelah itu mereka membatalkan rencana mengusir warga Pulau Komodo, orang-orang yang dalam tutur turun-temurun bersaudara kandung dengan Komodo tetapi kini dituding sebagai penghalang konservasi komodo.



You cannot copy content of this page.

If you need copy of the content, please contact me at gegehormat@gmail.com.