“Apabila tidak dapat respon dari pemerintah maka kami pejuang Timor-Timur akan lakukan kongres luar biasa di Atambua. Kongres itu diadakan dalam rangka menentukan sikap politik. … kami buktikan kesetiaan kami kepada negara, kok kami ditelantarkan.”
Cancio Lopez, Koordinator Paguyuban Pejuang Timor Timur, 2 Mei 2020.[1]
Sikap politik yang dimaksudkan Cancio Lopez adalah opsi apakah akan pindah ke Republik Demokratik Timor Leste atau bertahan di Republik Indonesia.
Pernyataan Cancio Lopez disampaikan dalam konferensi pers pada 2 Mei 2020. Saya membacanya di media daring NTT Online dalam artikel berjudul “Jika Usulan Tak Direspon Pemerintah RI, Paguyuban Pejuang Timor-Timur Akan Kongres Luar Biasa Tentukan Pilihan Politik”.
Cancio menceritakan hasil pertemuan para mantan paramiliter Timor Timur pada 21 April 2020 lalu di Haliwen, Belu. Mereka berdomisili di 10 Kabupaten di NTT, mayoritas di Kabupaten Belu, Malaka, dan TTU yang berbatasan dengan wilayah Timor Leste.
Hasil pertemuan tersebut adalah tuntutan kepada pemerintah untuk memberikan kompensasi materil kepada 4.115 orang mantan penduduk Provinsi Timor Timur yang berperang bersama TNI menghadapi rakyat dan para pejuang kemerdekaan Timor Leste, sejak masa pendudukan 1979 hingga jajak pendapat 1999. Mereka juga menuntut bekas paramiliter yang memenuhi syarat diangkat menjadi veteran.
Sebanyak 4.115 orang itu terdiri dari 1.994 orang yang mendapat piagam penghargaan semangat juang bela negara; 340 orang yang masuk daftar pelaku pelanggaran HAM berat Serious Crime Unit PBB; 1.150 milisi Rajawali 1995; dan 670 orang anggota Gadapaksi.
Yang menarik, surat tuntutan kepada pemerintah itu ber-casu quo Menteri Pertahanan Republik Indonesia yang saat ini dijabat Prabowo Subianto.
Sebagian isi surat berbunyi,
“Bapak Menteri Pertahanan yang kami hormati, 24 tahun yang lalu kami telah berjuang membela merah putih dan mempertahankan wilayah Timor Timur menjadi bagian dari NKRI. Membuktikan kesetiaan kami sebagai warga negara Indonesia, … meninggalkan segala sesuatu, tanah, rumah dan semua harta benda kami, kini tidak bisa kembali ke Timor-Timur karena tuduhan pelanggaran HAM berat dan berbagai tuduhan pelanggaran hukum …”
Tidak pasti, apakah surat kepada pemerintah itu ber-casu quo Menhan karena memang logikanya eks-milisi yang direkrut tentara sudah seharusnya berada dalam tanggungjawab Kementerian Pertahanan atau karena Menhan dijabat Prabowo Subianto.
Pada masa kampanye Pilpres 2019, tepatnya pada 26 Desember 2018, Prabowo berkunjung ke NTT untuk menjumpai para mantan milisi ini sekaligus merayakan Natal bersama.
Saat itu Prabowo melontarkan kritik terhadap kekuasaan yang ia sebut sebagai elit-elit Jakarta sekaligus menyampaikan janjinya jika berkuasa.
“Banyak elit-elit di Jakarta tidak mengerti tidak paham perjuangan dan pengorbanan saudara-saudara sekalian. Jangankan pengorbanan saudara-saudara, penderitaan rakyat Indonesia di tempat lain bahkan di ibu kota sendiri mereka tidak mengerti, bahkan tidak paham atau pura-pura tidak paham. …. saya akan terus berjuang untuk saudara-saudara,” kata Prabowo.[2]
Elit-elit di lingkaran istana bereaksi keras. Politisi PDIP Eva Kusuma Sundari menyerukan agar para eks warga Timor Timur tidak mempercayai janji Prabowo.
“Jangan percaya janji PS. Saat beliau di circle one Orba selama puluhan tahun juga tidak ada afirmasi ke para pengungsi, kok. Jokowi sudah membuktikan komitmen jelas kepada mereka, tentu dalam koridor kewarganegaraan. Misal memberikan social protection seperti untuk WNI lainnya,” kata Eva dua hari setelah pernyataan Prabowo.[3]
Tetapi jauh lebih penting mengulas kondisi kehidupan bekas warga Timor Timur yang menyebabkan mereka harus berteriak menuntut tanggungjawab pemerintah dibandingkan membahas pertanyaan mengapa surat tuntutan disertai ancaman (akan pindah ke Timor Leste) itu dialamatkan kepada Menhan Prabowo Subianto.
Bukan barang baru
Tuntutan disertai ancaman seperti ini bukan baru kali ini disampaikan para mantan milisi Timor Timur. Pada September 2017 mereka sudah pernah berunjukrasa menyampaikan tuntutan yang kurang lebih serupa.
Kompas.com (26/09/2017) dalam artikel “”Ancaman Eks Pejuang Timtim Jika Tuntutan Tak Diperhatikan Pemerintah” memberitakan aksi unjukrasa para mantan milisi Timor Timur di bawah kepemimpinan Eurico Guterez.[4]
Saat itu tuntutannya adalah kompensasi dan piagam penghargaan kepada 13.000 milisi pro-integrasi Timor Tiimur, serta kepastian hukum bagi 403 orang yang tercatat daftar serious crime PBB terkait pelanggaran HAM berat saat jajak pendapat Timtim 1999 silam.
Para pengunjukrasa mengancam, jika tuntutan mereka tidak dipenuhi, mereka akan kembali berunjukrasa dengan massa lebih banyak, ribuan orang, hingga tuntutan terpenuhi.
Rupanya tuntutan pada 2017 itu belum dipenuhi sehingga kali ini para mantan milisi harus kembali menuntut.
Beratnya Kehidupan eks-warga Timor Timur di NTT
Tuntutan para mantan milisi Timor Timur, yang terpaksa mereka bingkai dengan pernyataan bernada ancaman itu tidak terlepas dari beratnya kondisi hidup. Tetapi bukan cuma 4.000an bekas milisi yang mengalaminya.
Mayoritas penduduk Timor Timur yang meninggalkan kampung halamannya pascajajak pendapat (baik karena sukarela demi pilihan politik pro-integrasi atau karena diintimidasi untuk ikut serta) juga menjalani kehidupan yang berat di Indonesia.
Dahulu, beberapa tahun pascajajak pendapat tercatat kurang lebih 104.436 orang pengungsi asal Timor Timur di sejumlah kabupaten di NTT. Mayoritas, 70an ribu di antara mereka tinggal di kamp-kamp pengungsian di Kabupaten Belu (70.453 orang), Kabupaten TTU (11.176 orang) dan Kabupaten Kupang (11.360 orang).[4]
Seiring tahun berjalan, mayoritas pengungsi memilih program repatriasi, kembali ke kampung halaman mereka di Timor Leste; sebagian bertransmigrasi ke Papua dan Kalimantan, serta daerah-daerah lain di Indonesia yang menjanjikan pekerjaan; sementara yang kondisi ekonominya lebih baik sudah hidup mapan, pindah dari kamp pengungsian dan pemukiman program resettlement ke rumah-rumah pribadi.
Tetapi tidak sedikit yang masih tinggal rumah-rumah darurat di kamp pengungsian dan di pemukiman resettlement. Misalnya di kamp Noelbaki, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, masih ada 570 KK.[5]
Menurut pengakuan warga, mereka membangun rumah darurat di kamp pengungsian atas swadaya sendiri sebab pemerintah sudah tidak lagi memberi bantuan khusus semenjak 1999. Rumah-rumah tersebut ukurannya kecil saja, antara 4×4 hingga 4×6. Rumah yang berukuran lebih besar dihuni secara bersama-sama oleh 6 KK.[6]
Warga di kamp pengungsian bisa saja berusaha untuk membangun rumah yang lebih layak. Tetapi hal itu butuh kepastian status kepemilikan lahan tempat tinggal.
Sudah berulang kali mereka mengajukan permohonan kepada pemerintah agar tanah tempat mereka dirikan rumah-rumah sementara itu dihibahkan. Permintaan itu tidak terjawab.
Demikian pula mereka yang menghuni pemukiman resettlement di Desa Oebelo. Sudah 17 tahun, semenjak dipindahkan ke sana pada 2003, mereka tidak kunjung menerima sertifikat tanah rumah mereka.[7]
Sebagian besar warga di kamp pengungsian dan di resettlement mencari nafkah sebagai tukang dan buruh harian. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sudah berat, apalagi jika hidup harus dijalani dengan kecemasan atas ketidakjelasan status tanah tempat tinggal.
Tampaknya oleh hidup yang berat inilah para mantan milili pro-integrasi harus terus berteriak minta kompensasi atas keterlibatan mereka dalam perjuangan mempertahankan Timor Timur tetap berada di bawah kekuasaan Indonesia. Harapannya, dengan uang kompensasi tersebut, mereka bisa memperbaiki kondisi hidup.
Entah bagaimana Menhan Prabowo Subianto menjawab tuntutan ini. “Saya akan terus berjuang untuk saudara-saudara,” janjinya semasa kampanye Pilpres.***