“Gagasan itu penting. Apa guna ada debat jika gagasan tidak penting. … . Gagasan itu penting, selanjutnya adalah kerja.”
Anies Baswedan
Malam tadi, KompasTV menayangkan dialog dengan Pak Anies Baswedan, bekas Menteri Pendidikan Kabinet Pak Jokowi yang kini mencalonkan diri jadi Gubernur DKI. Tadinya saya sonde sadar jika Pak Anies yang sedang diajak ngobrol hingga pernyataan itu menarik beta menoleh ke layar tv.
Pernyataan selanjutnya, seperti “Saya tidak punya rupiah … kami janjikan yang realistis …” dan seterusnya tidak anggap menarik sebab sudah lumrah terucap politisi.
Maka saya berhenti menonton dan mulai menulis soal pentingnya gagasan ini. Mungkin saja Pak Anies sedang menyindir pasangan Pak Agus – Bu Sylvi yang kompak menyatakan gerilya ketemu masyarakat lebih penting ketimbang adu gagasan di dalam debat. Terserah. Itu urusan Pak Anies. Terlepas dari sindir-menyindir, bagi saya pernyataan soal pentingnya gagasan itu menarik untuk diulas.
Gagasan di dalam politik itu hakikatnya adalah pijakan sekaligus tujuan. Di dalam konteks ini, beta bicara gagasan sebagai kesatuan komplit dari cita-cita masa depan; pandangan atas problem yang eksis; cara meracik sumber daya agar lepas dari problem dan melaju menuju masa depan sebagaimana dicita-citakan.
Seseorang terjun ke dalam medan pertarungan politik bermula dari pandangannya tentang apa yang keliru, belum pas, yang salah urus dari kehidupan bersama. Ia bisa menilai begitu karena punya cita-cita, visi, impian, ideal-ideal sebagai jangkar. Ia meracik resep-resep, langkah-langkah, tips dan trik untuk menyiasati kekurangan-kekurangan, untuk mengolah beragam sumber daya agar ideal-idealnya mewujud.
Setelah gagasan solid dalam benak, barulah ia mencoba berkontestasi merebut kekuasaan, menjadi bagian dari pengambil kebijakan publik. Hanya dengan jalan itu, gagasan-gagasan di benak bisa diwujudkan di alam nyata, di dalam kehidupan bersama.
Seseorang yang ujuk-ujuk dipanggil pulang untuk dicalonkan jadi gubernur tanpa memiliki gagasan solid lazimnya jika berdebat akan tampak sekedar menghafal bisikan tim sukses dan contekan. Apa itu namanya, yang jadi pola pengajaran matematika model kuno itu lho, yang cepat-cepatan di depan kelas melafalkan “satu kali satu, satu, satu kali dua, dua….” Ah, mencongak. Ya, itu dia.
Jika terpilih, si kontestan mulai menjalankan kekuasaan pemerintahan, power exercise, memobilisasi sumber daya (dana, aparatur, hukum, dll) sesuai desain program-program tergagas.
Jadi, Pemilukada sebagai ajang kontestasi kekuasaan sejatinya adalah perlombaan gagasan, pertarungan ide-ide. Di dalam Pemilukada, para kontestan berjualan proposal politik kepada rakyat. Isinya ya itu tadi, pandangan atas problem publik, cita-cita, dan cara mewujudkannya.
Rakyat itu ibarat donor yang memeriksa kelayakan proposal projek sodoran para kontestan. Rakyat memeriksa apakah outcome yang hendak dicapai sesuai impian rakyat. Apakah pemetaan masalah sudah tepat sebagaimana keresahan rakyat. Apakah program-program yang ditawarkan logis dan feasible, sesuai sumber daya tersedia dan mampu menelurkan outputs yang dibutuhkan sebagai syarat pencapaian outcome. Apakah beneficiaries atau penerima manfaat yang menjadi target outreach menjangkau seluas-luasnya masyarakat atau cuma se-upil, segolongan terbatas kroni-kroni.
Setelah pemeriksaan proposal projek itu tuntas, barulah masuk ke bagian berikut yaitu menilai kredibilitas para kandidat. Apakah si A memiliki kapasitas menjalankan projek-projek yang ditawarkannya? Apakah ia akan setia dengan outcome, output, dan rangkaian aktivitas yang diusulkan atau ia akan lancung di tengah jalan? Apakah ia punya sejarah sukses di masa lampau untuk tanggungjawab sejenis? Atau sebaliknya portofolio karirnya bernoda dan dikuatirkan akan terulang?
Jadi sonde pas dan sonde adil jika belum apa-apa kita mengatakan, “Yeh, si Anu sudah terbukti, sementara si Ini dan si Ono baru sebatas janji.”
Bukankah kontestasi reguler Pemilukada memang merupakan kesempatan bagi rakyat untuk menilai kembali, menetapkan target-target baru, milestones baru, langkah-langkah baru atau sekedar perbaikan cara-cara, dan siapa tahu memilih eksekutor baru?
Oh iya, bicara soal gagasan, beta jadi ingat, sekitar 2007 lampau hadir di dalam acara launching buku karya Indonesianis Max Lane. Bangsa Yang Belum Selesai judulnya. Itu buku tentang ekonomi dan politik Indonesia di masa sebelum dan sesudah Orde Baru.
Ada satu pernyataan Max Lane yang masih beta ingat, yaitu ketika moderator, saat itu Yudi Latief kalau sonde salah, memberi kesempatan closing statement. Max Lane bilang, Indonesia hanya akan menjadi bangsa yang selesai jika warisan revolusi kemerdekaan Agustus ’45 dihidupkan kembali. Ada tiga warisan, salah satunya adalah gagasan-gagasan besar tentang Indonesia, tepatnya pertarungan gagasan secara terbuka antara kekuatan politik tentang cita-cita ke-Indonesia-an dan jalan mencapainya. Dua warisan revolusi Agustus lainnya, jika sonde salah ingat, adalah ideologi kerakyatan dan metode perjuangan radikal.
Kata Max Lane, partai-partai politik zaman dulu mengadakan rapat-rapat umum (vergadering) bukan sekedar gagah-gagahan unjuk kekuatan pendukung melainkan untuk mempertarungkan gagasan secara terbuka di hadapan rakyat. Inilah yang hingga masa launching buku itu, 2007, belum tampak. Syukurlah, pada Pilpres lampau, pertarungan Pak Jokowi vs Pak Probowo adalah pertarungan gagasan. Juga tampaknya, dalam kualitas di bawah itu, pada pertarungan Agus-Ahok-Anis pada Pemilukada DKI 2017 ini.
Meski pertarungan gagasan di dalam kontestasi politik perlahan mulai menemukan bentuknya lagi, ada hal yang menurut beta masih kurang, belum sekeren pertarungan gagasan di masa lampau. Dahulu, semua aliran gagasan bebas bertarung, antara yang progresif sosialis, liberal kapitalis, fundamentalis konservatif, bahkan mungkin hingga yang mistis. Tetapi kini para pihak yang bertarung sebenarnya satu padepokan, berasal dari kalangan liberal kapitalis. Semuanya mengimani demokrasi liberal prosedural dan ekonomi pasar bebas. Karena itu, jangan heran jika perbedaan dan perdebatan mereka semata-mata pada hal yang teknis sifatnya.
Tentang hal ini, mereka yang belajar sosiologi Negara pasti kenal pernyataan Ralf Miliband, mahaguru kubu instrumentalist.
“… the politics of advanced capitalism have been about different conceptions of how to run the same economic and social system, and not about radically different social systems.
Ralf Miliband, The State in Capitalist Society. 72-74
…
Bourgeois politicians and governments view the system in as most closely congruent with ‘human nature’, as uniquely capable of combining efficiency, welfare and freedom, as the best means of releasing human initiative and energy in socially beneficent directions, and as providing the necessary and only possible basis for a satisfactory social order.
…
This is what makes it possible for politicians who are, in this fundamental respect, extreme doctrinaires, to claim that their view is an essentially empirical, undogmatic, pragmatic, practical approach to affairs.”
Intinya, kata Miliband, “Jangan mimpi deh, para politisi borju itu bakal berdebat dan berbeda pendapat soal strategis seperti haluan ekonomi, apakah mau ekonomi pasar atau ekonomi gotong royong. Nggak akan pernah. Paling banter mereka cakar-cakaran soal bagaimana cara paling lembut untuk menggusur rakyat; cara bikin orang tetap senyum meski kere; cara bikin birokrat jadi tampak sumringah seperti eneng-eneng teller bank; dan lain-lain hal yang semata kulit sifatnya.”