
Suatu ketika, istri saya menelepon, putra kami tidak masuk sekolah. Sekolah diliburkan beberapa hari karena sejumlah murid terkena—kalau tak salah ingat—cacar. Saya tertawa mendengarnya, dan merasa orang-orang Selandia Baru terlalu paranoid. Bagaimana bisa hanya karena beberapa siswa kena “penyakit remeh,” satu sekolah harus diliburkan beberapa hari?
Hari ini baru saya tahu, ternyata sejumlah pemerintahan memang punya kebijakan school exclusion untuk cegah penularan penyakit. Kebijakan itu mulai dari eksklusi khusus kepada anak yang menderita hingga penutupan sementara satu sekolah jika ada indikasi wabah.
Kementerian Kesehatan Selandia Baru, misalnya, mengeluarkan daftar rinci penyakit menular dan panduan kapan anak yang terjangkit harus absen dari sekolah (Kementerian Kesehatan Selandia Baru, “School exclusion“).
Pada akhir Februari lalu, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mengumumkan kebijakan meliburkan sekolah selama sebulan untuk mencegah penyebaran coronavirus (New York Times, “Japan Shocks Parents by ...”). Pemerintah Amerika Serikat juga menutup sementara dua sekolah di Oregon dan Washington setelah ditemukan satu kasus penularan coronavirus di masing-masing sekolah (Washington Post, “Coronavirus shuts down two public schools …“).
Dengan diitemukannya dua pasien terjangkit virus corona di Depok, Indonesia positif masuk ke dalam hari-hari waspada corona (Kompas, “Ini Pengumuman Lengkap Jokowi...”). Untuk itu pemerintah perlu segera menyusun, mensosialisasikan dan menerapkan SOP pencegahan penyebaran virus corona di sekolah-sekolah.
Yang penting dimasukkan ke dalam langkah-langkah pencegahan ini adalah tindakan meliburkan sekolah, deteksi harian, dan pendidikan terhadap orang tua.
Pemerintah perlu mengadakan dan mendistribusikan peralatan deteksi penderita coronavirus di setiap sekolah, lengkap dengan tenaga medis atau paramedisnya. Jika ada kelangkaan tenaga, perekrutan tenaga kontrak perlu segera dilakukan.
Mengalokasikan anggaran untuk ini jauh lebih bermanfaat daripada menggelontorkan anggaran untuk pencitraan promosi pariwisata. Lagipula promosi pariwisata hanya bisa efektif jika disertai berita yang menunjukkan langkah sigap pemerintah mencegah penyebaran virus corona.
Harus segera disusun dan disosialisasikan petunjuk pelaksanaan rinci tentang syarat-syarat siswa terindikasi terjangkit corona virus dieksklusi, atau satu rombongan belajar diliburkan, atau satu sekolah ditutup sementara; siapa otoritas yang berhak mengeluarkan keputusan tersebut; apa yang dilakukan orang tua dan siswa selama eksklusi atau penutupan sementara sekolah, dan lain-lain hal teknis.
Bahkan penting pula Kementerian Pak Nadiem bekerja sama dengan provider pendidikan jarak jauh, menggratiskan akses paket belajar jarak jauh, seperti Ruang Guru, terhadap siswa yang terkena ekslusi atau yang sekolahnya ditutup sementara.
Melalui pihak sekolah, pemerintah menyelenggarakan pendidikan kepada para orang tua agar bisa mengenali gejala coronavirus dan mengetahui cara-cara mencegah anak terjangkit dari pertemanan di lingkungan rumah atau di sekolah.
Para orang tua juga perlu diinformasikan silabus pengajaran agar bisa menggantikan peran guru saat sekolah ditutup sementara atau saat anak absen sebab menderita sakit yang diiindikasikan coronavirus.
Hal-hal ini mendesak dilakukan. Jangan menungggu ratusan korban terdeteksi baru tergopoh-pogoh bikin kebijakan tanggap darurat.
Yang tidak kalah pentingnya, para pembesar negeri harus mengubah mental mereka. Mental menggampangkan persoalan, mental “cuci tangan” dan mental beretorika untuk menenangkan publik harus diganti dengan mental kerja nyata dan serius.
Pernyataan-pernyataan menggampangkan seperti “kalau imunitas baik, tubuh kebal” yang dilontarkan Menkes Terawan (Kompas, “Menkes: Kalau Immunitas ...” ) seharusnya tidak ada lagi di hari-hari ke depan.
Bagaimana bisa imunitas baik jika untuk susu anak saja ada rakyat yang terpaksa mencuri? Bagaimana imunitas baik jika kurang gizi dan kurang pangan masih menghantui sejumlah cukup besar rakyat negeri ini? Bagaimana mau imunitas baik jika kelas pekerja tidak punya kesempatan berolahraga sebab demi bisa makan orang harus bekerja lebih dari jam kerja normal?
Para pembesar negeri harus paham, di tengah meluasnya ketidakpercayaan publik, pernyataan-pernyataan pejabat, sekalipun niatnya untuk bikin adem, justru kontraproduktif , meluaskan sinisme, kecurigaan, dan rasa jengkel masyarakat. Karena itu utamakan aksi daripada bikin komentar macam-macam di depan buruh media massa.
Para pembesar negeri yang tidak bisa lagi diubah mentalnya perlu buru-buru diberhentikan, diganti dengan orang-orang yang lebih paham tugas dan punya sense of crisis.***
Published sebelumnya di Kompasiana.