Perubahan itu pasti. Tetapi perubahan negatif pada hal-hal baik patut ditangisi. Itu juga yang dirasakan Oxford, tempat Suu Kyi menamatkan studi. Kamis lalu, Universitas ternama ini menurunkan lukisan Suu Kyi dari pintu masuk utama.
Aung San Suu Kyi pernah menjadi tokoh demokrasi dan kemanusiaan kelas dunia. Perjuangan dan penderitaan yang dialaminya bersama National League for Democracy saat melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Junta Militer Myanmar sungguh inspiratif. Siapakah pemilik nurani mulia dan nalar waras yang tak memujanya? Sungguh pantas pada 1991 silam, nobel perdamaian dianugerahkan padanya.
Setelah ditahan selama 21 tahun (15 tahun berupa tahanan rumah) oleh Junta Militer Myanmar (yang kekejamannya mirip militer Orde Baru itu) Daw (bibi, panggilan kehormatan untuk perempuan tua terhormat) Suu Kyi pada 2010 akhirnya meraih meraih kemenangan kecil dengan pembebasan dirinya. Pada 2015 Bibi Suu Kyi meraih kemenangan yang lebih besar. Partainya, NLD memenangkan Pemilu; asisten kepercayaannya, Htin Kyaw jadi presiden; dan Bibi Suu Kyi sendiri menjadi State Counsellor (Jabatan setara Perdana Menteri yang diciptakan khusus untuknya) dan menteri dari 5 kementerian. Dunia bersorak-sorai. Selamat datang demokrasi di Myanmar, semoga jadi bidan kelahiran kemanusiaan dan keadilan.
Setahun berselang, Myanmar kembali diterjang bencana politik kemanusiaan. Korbannya bukan lagi Bibi Suu Kyi dan para pejuang demokrasi Myanmar. Adalah sejutaan penduduk Negara Bagian Rakhine, terutama dari etnis minoritas Rohingya yang kini menelan pil pahit kekejaman militer. Mereka korban pertikaian antara pemerintah Myanmar (Negara dan militernya) dengan para pemberontak Arakan Rohingya Salvation Army, ARSA.
ARSA dipimpin Attaullah Abu Ammar Jununi, seorang turunan etnis Rohingya yang lahir di Pakistan dan dibesarkan di Arab Saudi. Dalam versi pemerintah Myanmar, ARSA adalah kelompok teroris yang hendak mendirikan Negara berbasis agama. Yaah, jenis yang lebih politis dan ideologis dari kelompok yang akhir-akhir ini menguat di Indonesia dan mendapat julukan kaum bumi datar atau sumbu pendek. Tetapi pihak ARSA membantah hubungan mereka dengan terorisme Timur Tengah dan menyatakan semata-mata berjuang demi pengakuan Rohingnya sebagai sebuah etnis.
Serangan ARSA ke sejumlah pos polisi Myanmar pada Agustus 2017 segera berbalas tindakan militer Myanmar. Kampanye untuk menumpas pemberontakan ARSA ternyata merembet menjadi terror terhadap penduduk Rakhine dari etnis Rohingnya. Rumah mereka dibakar, orang-orang dianiaya. Demi keamanan diri, 300an ribu orang Rohingnya mengungsi ke Negara-negara tetangga di Asia Tenggara.
Jangan kuatir, ada Aung San Suu Kyi di sana yang akan segera bertindak menghentikan tindakan represif membabibuta militer. Demikian harapan penduduk dunia. Dunia menunggu, Bibi Suu Kyi diam. Dunia mendesak dan mengecam, Bibi Suu Kyi akhirnya angkat bicara. Tetapi dunia harus kecewa. Bibi Suu Kyi tampil laksana politisi Senayan dan Istana. Jurus ngeles dan menyerang balik yang ia pertontonkan. “Bencana kemanusiaan di Myanmar itu tidak ada. Itu hanya dibesar-besarkan, sekedar hoax untuk menyudutkan pemerintah Myanmar. Negara hanya sedang mengambil tindakan yang perlu untuk memberantas terorisme.” Demikian kira-kira pokok pembelaan Suu Kyi atas tindakan militer negaranya.
Kita tentu paham bahwa Negara berhak dan wajib mengambil sikap terhadap pemberontakan. Tetapi ketika tindakan itu menyebabkan ratusan ribu penduduk etnis minoritas terteror, dibakar rumahnya, dan terpaksa harus mengungsi, tentulah persoalan sudah bergeser dari persoalan keamanan Negara menjadi persoalan kemanusiaan.
Meski banyak seliweran foto di media sosial adalah hoax (seperti yang disebarkan elit PKS Tifatul Sembiring), tetapi tidak dapat dipungkiri juga banyak juga foto nyata dan benar dari rumah-rumah orang Rohingya yang dibakar. Bukti terkuat dari bencana kemanusiaan yang sama sekali tidak dapat dipungkiri adalah 300an ribu penduduk etnis Rohingya mengungsi ke Negara-negara tetangga.
Sebagai bekas pejuang kemanusiaan, pahlawan HAM dan demokrasi, Bibi Suu Kyi tentu paham benar, penyebab utama ratusan ribu orang mengungsi adalah ketidakmampuan Negara memberikan rasa aman. Tindakan Negara (militer) dengan dalih memberantas pemberontakan nyata-nyata telah menyebabkan 300an ribu penduduk (sebagian besar tak bersalah) merasa nyawa dan kemanusiaannya terancam. PBB –lembaga yang menjadi tempat Suu Kyi mengadu selama ditindas Pemerintahan Junta Militer Myanmar—telah menyatakan tindakan Militer Myanmar terhadap etnis minoritas Rohingya berpotensi mengarah pada pembersihan etnis. Sebaliknya Suu Kyi justru menuduh bekas pembela dan tempatnya berkeluh kesah dahulu sebagai termakan hoax. Bibi Suu Kyi bahkan tega bersilat lidah, “kami akan mencari tahu apa sebab mereka mengungsi.” Are you kidding us, Bibi?
Dunia kecewa. Berakhir sudah masa bulan madu Suu Kyi dengan para pendamba kemanusiaan sedunia. Orang-orang melantunkan requiem untuk nurani dan idealisme Suu Kyi.
Banyak Bibi Suu Kyi di Indonesia
Ada banyak duplikat Suu Kyi di Indonesia, yang lahir terutama pada Pilpres 2014 lalu. Kita bisa melihat banyak tokoh-tokoh pemuda dan intelektual pembela HAM dan Demokrasi yang kini terbelah ke dalam dua kutub politik utama: kutub Hambalang (Prabowo) dan Kutub Istana (Jokowi).
Berpolitik praktis dan berposisi pada salah satu kubu tentu tidak salah, bahkan wajib hukumnya. Hanya dengan kekuasaan di tangan, gagasan-gagasan kerakyatan dan demokrasi di kepala para pejuang HAM dan demokrasi dapat diwujudkan. Ketika kekuatan prodemokrasi kerakyatan tidak memiliki lokomotif dan gerbong sendiri oleh diskriminatif dan transaksionalnya hukum pemilu kita; bersekutu dengan kubu-kubu yang bertarung adalah jalan yang masuk akal. Harapannya dengan itu program-program kerakyatan dan demokratisasi bisa dititipkan, dan kubu-kubu itu bisa dibentengi dari pengaruh jahat kaum reaksioner kanan militer dan fundamentalis agama.
Persoalan muncul ketika oleh karena berkubu, para mantan pejuang HAM dan demokrasi menjadi membabibuta membela sekutu masing-masing. Para mantan pejuang HAM dan demokrasi di kubu Jokowi bukan sekedar menutup mata, tetapi tampil sebagai pembela nomor satu kebijakan-kebijakan Jokowi, seolah-olah tak ada sedikitpun cacat kerakyatan dan demokrasi yang perlu dikritisi dari kebijakan-kebijakan itu. Demikian pula sebaliknya mereka yang berada di kubu Prabowo, secara membabi-buta menembakan peluru pada pemerintahan Jokowi dan sebaliknya tampil sebagai pelindung atas dosa-dosa masa lalu Prabowo.
Para mantan pejuang HAM dan demokrasi yang pernah kita kagumi itu telah mendegradasikan dirinya menjadi sekelas buzzer, menjadi mesin tanpa nalar, sekedar pengeras suara dari apa yang dikatakan tuan masing-masing.
Ah, Bibi Suu Kyi, meski menghujatmu, kami adalah duplikasi sempurna dirimu. Masihkah ada waktu bagi kami untuk pulih dari kekhilafan ini?
Also published in Kompasiana.