Analogi “Thanos Infinity War” dalam Pidato Jokowi

dokumentasi pribadi

Berpidato di hadapan para pemimpin dunia dalam World Economic Forum (WEF) 2018 di Hanoi, Vietnam, Rabu (12/9/2018), Presiden Jokowi menggunakan perumpamaan yang sangat milenial. Ia mengambilnya dari film “Avengers:  Infinity War” atau komik Marvel.

Banyak yang menyangka Presiden sedang menyerang Donald Trump melalui perang dagangnya. Trump (Amerika Serikat) ingin menang sendiri. Melalui kebijakan proteksionis, Donald Trump berusaha mengembalikan kejayaan ekonomi Amerika Serikat dengan mengorbankan kestabilan ekonomi dunia.

Namun presiden kemudian menjelaskan, Thanos bukan monopoli Amerika Serikat. Thanos ada dalam diri setiap orang dalam bentuk paham atau gagasan bahwa kemenangan hanya bisa diraih dengan mengalahkan yang lain.

Ini adalah prinsip kompetisi yang menjadi semangat dasar kapitalisme. Yang satu menang berarti yang lain kalah.

Dalam kapitalisme, ke dalam negeri tugas negara hanya menyediakan ruang pertarungan terbuka bagi aktor-aktor ekonomi untuk mengembangkan segala daya yang dimiliki untuk menang dalam persaingan. Logikanya jika tiap-tiap orang berusaha semaksimal mungkin untuk keluar sebagai pemenang, dan mengalahkan yang lain, total output masyarakat akan meningkat.

Sementara ke luar negeri, negara bertindak sebagai perpanjangan tangan aktor-aktor ekonomi dominan di negerinya untuk bersaing melawan negara-negara lain  demi menguasai sebesar-besarnya sumber daya ekonomi dunia: bahan baku, energi, modal, pasar, ilmu pengetahuan, dan tenaga kerja.

Konsekuensi kapitalisme adalah ada winners dan lebih banyak lagi losers. Para pemenang akan terus bertambah kuat dan terus saja menjadi pemenang. Kaum yang kalah akan kian tersingkir dari persaingan dan jumlahnya terus bertambah banyak, menghasilkan struktur piramida masyarakat yang kian lancip.

Jokowi ingin mengganti itu, mengganti prinsip persaingan, prinsip menang-kalah, mental dasar Thanos itu dengan semangat kolaborasi, semangat gotong-royong, kemitraan.

Inilah semangat sosialisme genuine yang coba dikembalikan oleh negara-negara di Amerika Latin yang menyebutnya sebagai Sosialisme abad 21. Ini juga semangat ekonomi Pancasila yang Soekarno sebut sebagai sosialisme Indonesia.

Prinsip ini berbeda dibandingkan sosialisme Uni Soviet era Stalin yang didasarkan pada perencanaan terpusat oleh negara. Perencanaan terpusat oleh negara hanya akan menghasilkan kapitalisme baru, kapitalisme negara.

Dalam ekonomi gotong royong tiap-tiap individu didorong untuk berpartisipasi, untuk bermitra.  Hal inilah yang akan dilanjutkan dalam Nawacita II, yang oleh Ma’ruf Amin disebut arus baru ekonomi Indonesia, ekonomi keumatan yang semangat dasarnnya adalah kemitraan antara yang kuat (pengusaha-pengusaha besar) dan yang lemah (ekonomi kolektif rakyat: pesantren, koperasi-koperasi, kelompok-kelompok usaha binaan gereja).

Saya ingat, pada pemilu 2014, ketua jurusan ilmu politik sebuah kampus di Kupang minta saya bersama seorang sosiolog Univ. Birmingham dan seorang direktur LSM bicara tentang perbedaan platform Jokowi dan Prabowo. Seorang penanya menelepon, menanyakan pendapat kami soal kabar jika gagasan-gagasan Jokowi itu sosialis.

Saya jawab, pada dasarnya baik gagasan-gagasan Prabowo pun Jokowi menentang kapitalisme neoliberal. Ada jejak sosialisme pada gagasan kedua tokoh visioner ini. Yang berbeda adalah pada Prabowo kita melihat kecenderungan kuat ekonomi perencanaan terpusat yang dipakai Uni Soviet dan China era Mao. Pada Jokowi yang lebih dominan adalah gagasan partisipasi komunitas-komunitas rakyat dan koperasi seperti sosialisme abad 21 Amerika Latin.

Diferensiasi gagasan ekonomi kerakyatan dua tokoh ini masih berlaku hingga kini. Dalam gagasan ekonomi konstitusional Prabowo yang berlandaskan Pasal 33, peran sentral perencanaan negara masih sangat kuat. Demikian pula gagasan ekonomi gotong royong Jokowi kian kuat aroma partisipasi komunitasnya, terutama oleh apa yang Ma’ruf Amin katakan sebagai ekonomi keumatan yang berbasis kemitraan vertikal pengusaha besar dan usaha kolektif rakyat.

Bahwa hingga kini wujud dari ekonomi gotong royong itu belum sungguh jadi wajah utama perekonomian Indonesia, kompleks sebabnya. Salah satunya adalah sempitnya ruang fiskal pemerintah yang hanya menyediakan pilihan-pilihan kebijakan yang terbatas. Namun bertumbuhnya BUMDes bisa saja salah satu indikator kita sedang mengarah ke sana.

Mungkinkah ada peran Erick Thohir?

Gagasan ekonomi Pancasila alias ekonomi gotong royong alias sosialisme Indoonesia tentu merupakan gagasan lama, gagasan yang Jokowi ambil dari Soekarno. Namun menggunakan Thanos dalam infinity War sebagai perumpamaan untuk menyampaikan hakikat kegagalan kapitalisme adalah sungguh kreatif, benar-benar sesuatu yang baru.

Gara-gara perumpamaan Thanos itu, pidato Jokowi–yang sebenarnya sarat muatan ideologis–jadi terasa cerah ceria, khas milenial.

Tidak salah menduga ada peran Erick Thohir dan kaum muda lain dalam Tim Kampanye Nasional Jokowi di balik pidato ini. Jika toh bukan Erick Thohir dan rombongannya yang menyumbangkan perumpamaan ini, bisa saja para peracik pidato itu dipengaruhi semangat milenial yang dibawa masuk Erick Thohir ke lingkaran Joko Widodo.

Ini kejutan yang sama seperti konsep Presiden muncul dalam upacara pembukaan Asian Games mengendarai motor. Spontan. Anti-protokoler baku. Anti-kelaziman mapan. Segar, penuh simbol yang akrab bagi kalangan milenial.

Ya, saya duga demikian. Bergabungnya orang-orang kreatif seperti Erick Thohir ke dalam lingkaran istana membawa semangat baru. Memang bukan soal konten, melainkan soal kemasan, dan itu penting sebab seringkali konten hanya bisa diterima jika dikemas menarik.

Sumber:

CNBCIndonesia.com (12/09/2018) “Jokowi Sebut Ada ‘Thanos’ yang Mau Hancurkan Ekonomi Global!”


The article was also published on Kompasiana.



You cannot copy content of this page.

If you need copy of the content, please contact me at gegehormat@gmail.com.